"Halo?"
"Apa kau sudah tiba di Seoul?"
Seulgi memainkan sudut bibirnya ke kanan kiri. "Ya, aku sudah sampai, Bi."
"Syukurlah. Cepat cari tempat tinggal yang aman untukmu, jaga diri baik-baik di sana."
"Eem, aku tahu. Bibi juga ... Jaga diri baik-baik di sana."
Seulgi menutup telepon dari bibinya. Setelah itu, melanjutkan langkahnya. Ia melangkah di tepian jalan sambil menggendong tas ransel di bahunya. Jalanan besar itu tampak tenang tanpa adanya pengendara bermotor ataupun mobil yang lalu-lalang. Cahaya kuning tiang lampu menyinari rambut hitam gadis itu. Ia memejamkan mata, merasakan angin malam berhembus menyapu rambut panjangnya.
Gadis berusia dua puluh lima tahun itu dipindah tugaskan ke kantor polisi Seoul. Benar, Seulgi berprofesi sebagai detektif kepolisian di divisi kekerasan, yang menyelidiki segala kasus yang berhubungan dengan kekerasan.
Seulgi melirik jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannya. "Aneh, padahal baru jam sembilan. Tapi kenapa jalanan sebesar ini sepi?"
Seulgi celingak-celinguk ke sana kemari, memeriksa apakah jalanan ini benar-benar sepi tanpa adanya satu orang pejalan kaki selain dirinya. Tampak di kejauhan, ia melihat sepasang kekasih seperti sedang bertengkar hebat di pojokan jalan. Melihat hal semacam itu, membuat amarahnya naik ke ubun-ubun.
"Hei, kalian! Kalau mau bertengkar jangan di sini, selesaikan lah dengan damai di rumah." Seulgi meneriaki sepasang kekasih itu.
Seulgi yang notabenenya gadis pemberani lantas menghampiri dua sejoli itu. Baru beberapa langkah, ia berhenti. Ia diam membisu menatap lurus ke depan. Rupanya yang dilihatnya tadi bukanlah sepasang kekasih bertengkar, melainkan seorang pria berjaket hitam dengan wajah ditutupi masker sedang mencekik leher si gadis hingga tewas.
Tersadar dari lamunan, Seulgi langsung mengambil pistol di saku belakang celananya dan menodongkannya. Perlahan, ia mengambil langkah mendekati korban. "Aku detektif, sekarang kau tidak bisa kabur."
Bukannya mengangkat tangan, pria itu malah memukul tangan Seulgi, otomatis pistol di genggamannya terjatuh. Kemudian, pria tersebut hendak meraih leher Seulgi. Untung saja gadis itu memelintirkan tangan pria itu. Ia menggunakan jurus taekwondo untuk membanting tubuh pria itu ke aspal.
Helaan nafas panjang terdengar keluar dari mulut Seulgi. "Menyerahlah, tidak ada gunanya lagi melawan."
Gadis itu mengeluarkan sepasang borgol di sakunya. Belum juga memasangkan benda tersebut, pria itu justru diam-diam mengambil batu balok dan melemparnya ke kepala Seulgi.
"Akh! Kau benar-benar tidak ada takutnya, ya?" Seulgi tersungkur mundur sembari memegangi dahinya.
Pria itu mengambil kesempatan selagi lawannya terluka. Leher Seulgi di raih dan dicengkeram kuat. Cekikan itu membuatnya teringat akan satu hal. Dulu, saat Seulgi masih duduk di bangku SMP, almarhum ibu dan ayahnya sering kali bertengkar di depannya. Ayahnya adalah seorang pecandu alkohol, setiap pulang ke rumah pasti selalu marah-marah dalam keadaan mabuk. Kekerasan dalam rumah tangga pun kerap kali terjadi, ibunya sering dicekik dan dimaki-maki tiap kali ayahnya tidak diberi uang.
Namun, semua itu berlalu seiring berjalannya waktu. Begitu Seulgi duduk di bangku SMA, ayahnya mengalami kecelakaan mobil akibat menyetir dalam keadaan mabuk. Ayahnya meninggal dunia saat itu juga. Dua tahun kemudian, ibunya yang meninggal karena serangan jantung. Seulgi tidak sendirian, bibinya mengajaknya tinggal bersama.
Seulgi tidak mau seperti ibunya yang hanya pasrah mendapatkan perlakuan kasar dari sang ayah. Gadis itu mendorong tangan pria itu. Naasnya, cengkraman si pelaku terlalu kuat, Seulgi bisa merasakan ada tonjolan urat di punggung tangannya.
"Le ...." Seulgi memukuli tangan yang mencekiknya. Seiring tubuhnya turun ke bawah aspal, pria itu masih terus menekan jemarinya di leher Seulgi. Gadis itu menyelipkan satu kaki, lalu menendang alat kelamin pria tersebut untuk melepaskan diri.
Akibat hantaman batu balok tadi, pandangan Seulgi seketika samar. Sekuat tenaga ia merangkak mendekati korban, sekaligus memeriksa kondisinya. Wajah korban sudah tampak pucat dengan luka cekikan di leher. Selain itu, tidak ada luka lain di sekujur tubuhnya.
Seulgi melirik tajam ke arah pria itu. "Dasar brengsek."
Kata-kata Seulgi barusan terdengar oleh pria itu. Kemudian, pria itu menyambar leher Seulgi dari belakang, menarik rahang bawah gadis itu.
"Mati kau!"
Seulgi memejamkan matanya pelan. Cukup lama kedua matanya itu terpejam, ia akhirnya ayup-sayup, terdengar suara sirine polisi. Tak hanya itu, bahkan ia mendengar suara seorang pria memanggil-manggilnya. Ia pun segera membuka mata. Pandangannya langsung disambut oleh wajah tampan pria tadi.
"Nona, apa kau baik-baik saja?" tanya pria itu.
"Siapa kau?" Seulgi balik bertanya.
Pria itu tak menjawab. Namun, mengeluarkan nametag miliknya dan menunjukkannya pada Seulgi. "Kwon Mingyu. Detektif dari divisi kekerasan."
"Oh."
Para petugas kepolisian mengamankan TKP, tak lupa memberi garis polisi. Sementara Seulgi, sedang duduk di kursi yang disediakan oleh paramedis, mereka juga memberi selimut tebal pada gadis itu. Kedua tangan Seulgi mengepal erat selimut di tubuhnya, kejadian tadi masih terlintas di pikirannya, terutama ketika si pelaku mencekiknya.
Saat Seulgi tersadar, ia sudah tidak lagi melihat pelakunya. Meski begitu, jasad korban masih berada di tempat.
"Ini untukmu, kau pasti sangat ketakutan, ya?" tanya Mingyu. Pria itu menyodorkan sebotol air mineral.
Seulgi mengambil sebotol air mineral di tangan Mingyu, lalu ia menatap sejenak pria itu. "Apa kau menangkap pelakunya?"
"Tidak. Saat aku datang, pelakunya pergi. Tapi jangan khawatir, petugas polisi sedang mencarinya."
"Omong-omong, aku juga detektif." Seulgi menceritakan kenapa dirinya bisa berada di Seoul.
Mingyu menjentikkan jarinya. "Bagus. Kau datang di saat yang tepat."
"Kenapa?"
"Ayo, kita bekerja sama. Sekarang, kita adalah rekan tim. Mohon bantuannya, Detektif Han." Senyum di wajah Mingyu merekah. Ketika menemukan Seulgi tergeletak di aspal, Mingyu menggeledah tas ransel milik gadis itu dan ia menemukan nametag beserta kartu identitasnya.
Tiba-tiba Mingyu teringat sesuatu. "Apa kau sempat melihat wajah pelakunya?"
"Pelakunya pakai masker. Tapi ... Aku tahu perawakan tubuhnya."
"Seperti apa?"
"Aku tidak mau memberitahu. Ini kasusku, jadi, akan aku selesaikan sendiri."
Seulgi beranjak dari tempat duduknya, melepas selimut tebal tadi dan meraih tas ranselnya. Mingyu menarik pergelangan tangan Seulgi, meletakan plaster di telapaknya. Lagi-lagi pria itu tersenyum, kali ini senyumannya berbeda, seperti mengharapkan sesuatu.
Paramedis membawa masuk jasad korban ke dalam mobil ambulance. Pandangan Seulgi dan Mingyu kini tertuju pada korban. Seulgi masih tidak percaya bahwa dirinya adalah saksi pertama yang melihat kejadian itu. Memikirkan perasaan keluarga korban, membuat gadis itu ingin melibatkan seseorang untuk membantunya.
Seulgi beralih menatap Mingyu. "Apa tawaranmu masih berlaku?"
"Tentu saja. Apa kau berubah pikiran sekarang?"
Gadis itu mengedus kasar. "Jangan banyak tanya, jawab saja ya atau tidak."
"Tenang saja, tanpa aku menjawab pun. Aku akan membantumu, sampai kasus ini tuntas."