webnovel

Prolog: Resik

Suara canda terdengar, bersamaan dengan suara kelakar yang lain. Musik masih menyala di ruangan tersebut, menggema. Meninggalkan beberapa sampah kardus dan juga sampah-sampah bekas acara. Gedung yang memang digunakan untuk acara besar di sebuah universitas M di kota M adalah tempat yang paling ramai. Wajar saja sih, baru saja terselenggara acara penutupan dari pameran seni skala Nasional di sini. Maka, para panitia yang terdiri dari eksekutif mahasiswa (EM) Universitas ini sedang sibuk-sibuknya bersih-bersih.

Oh, selain bersih-bersih, mereka juga sedang mengadakan meeting dengan representatif Universitas B. Olimpiade yang digagas bersama mau diselenggarakan bulan depan! Jadi hnnngh, acara hari ini padat … super padat …

Kalau para petinggi EM-nya sih fokus pada Olimpiade gabungan ini. Well, mereka mengeluarkan uang cukup banyak di sini dan of course menginginkan balik modal. Rapat ini membahas bagaimana cara modal segituuu bisa kembali. Meski sebenarnya Universitas B (pemilik donatur terbanyak dalam acara ini) nggak begitu memikirkan hal ini.

Heh, doorprize dari Universitas B nggak main-main, kalian tahu? Gila nggak sih, mereka bisa mendapatkan orang yang sudi mendonasikan cuan untuk membiayai orang beruntung terbang wisata ke Amerika dengan cuma-cuma? Mana nggak cuma satu, ada lima manusia! Ya kan? Gila. Sekarang saja banyak anggota EM Universitas M sedang memperbincangkan hal itu. Karena … pemilik donatur doorprize ih wow tersebut … datang ke acara penutupan mereka dan terlihat di ruangan rapat.

“Sempat lihat wajahnya di ruangan rapat?”

“Aku lihat, aku lihat!”

“Ciuuus? Dia gimana? Kyaa~”

“Gans banget. Kyaaa~ Kyaaaa~”

Yak. Kira-kira gosipnya begitu.

Sedangkan seorang lelaki berhelaian hitam yang sedikit gelombang, tak mendengarkan gosip. Memancarkan aura positif dia bersemangat sekali membantu mengumpulkan sampah, mengangkat polybag kapasitas 25 kg berisi sampah. Membawanya keluar. Berkeringat, ia mengelap bulir-bulir hasil sekresi itu dengan lengannya. Namanya Cakrawala Pangestu. Salah satu anggota EM, bagian humas. Yang sekarang sedang membantu teman-temannya bersih-bersih.

“Tenagamu kayak kuda, Cak,” ketua pelaksana acara tertawa, berkelakar. Sedangkan yang dikelakar hanya tertawa kecil, kalem sekali.

Hingga kemudian seorang perempuan mendekati dirinya, tersenyum. Perempuan itu sekertaris ketua EM. Kakak tingkatnya yang beda setahun. “Cakra, bisa minta tolong antarkan anak perwakilan dari universitas depan ke ruangan rapat? Kita mau ada diskusi sebentar dan keberadaan Jay lumayan penting untuk project ini …” Tanya perempuan berambut panjang itu, sambil tersenyum. “Sekalian tolong bawain oleh-oleh sisa konsumsi sama kalender tadi ya?”

“Baik, kak,” Cakra mengangguk manut, kemudian pamit pada ketupel (ketua pelaksana)-nya. Langsung melangkah menuju bagian konsumsi, tak lupa membawa oleh-oleh yang dimaksud. Kemudian lelaki itu mengingat-ngingat. Sepertinya tidak terlalu asing. Memori si manik cokelat itu masih mampu mengingat ciri-ciri si perwakilan yang dimaksud. Rambutnya coklat agak pirang sepertinya. Mungkin disemir? Entahlah … yang jelas, karena dia sangat mencolok, Cakra jadi mengingat lelaki itu.

Kaki Cakra melangkah, keluar dari gedung acara. Mencari-cari si perwakilan tadi. Padahal, si humas itu yakin bahwa Jay, masih ngobrol dengan wakil ketua EM-nya saat ia tengah mengambil kotak konsumsi. Tapi sekarang lelaki itu tak ada. Hilang.

Cakra diam sejenak. Maniknya mengedar. Mencari lelaki berciri-ciri seperti dalam otaknya, berkeliling di sekitar gedung. Tidak ada. Ia masuk lagi, bertanya sana-sini. Tapi tetap tidak ada. Sudah pulang, kah? Masa sudah pulang? Entah apa yang merasukinya, kaki Cakra akhirnya menuntun. Menuju ke dekat gerbang keluar, di sana terdapat sebuah lorong yang dekat pos satpam, menuju gedung milik sastra.

Tapi hey!

Cakra menemukannya. Seorang lelaki perwakilan universitas depan. Membuat Cakra segera membuat seukir senyum, hendak menyapa. “Maaf, permi—“

“Jiancok! Siapa sih yang gembok mobil gua?! Berani amat nih si bangsat!”

Membuat manik coklat itu membola. Dia terkejut setengah mati. Apa-apaan … ini orang kotor sekali ucapannya!

Sementara itu, Wijaya bersungut. Bagaimana tidak? Suasana hatinya sudah membaik tadi, memikirkan bahwa dirinya akan pulang kerumah setelah acara—karena dia berhasil membujuk ketuanya untuk rapat tanpa dia. Artinya dia bisa tidur di kamarnya yang at least dengan tenang karena tidak ada tangan nakal yang merabai batangnya sembarangan.

Tapi yang ia dapatkan sekarang?

Ban mobilnya dikunci!

Digembok oleh entah-siapa-yang-jelas-bajingan.

Aargh! Sial! Wijaya jadi badmood lagi.

“Kekunci ya, mas?” hingga seorang lelaki tiba-tiba berada disampingnya, melihat ban mobilnya sambil menenteng sebuah tas untuk oleh-oleh. Wijaya mendengus sebal. 'Ya iyalah kekunci!' Namun tak diutarakan, cukup dalam hati. “Kita ke satpam aja ya? Soalnya masnya sih ... parkir sembarangan.”

Manik kelam itu mengernyit. Dia merasa disalahkan oleh manusia yang dia tak kenal siapa. Huh? Apa nih cunguk mau sok-sokan? Atau playing victim sebelum nge-blackmail dia? Siapa sih ni orang?

Pasti mau meras ...

Wijaya menatap lelaki tak dikenal di sampingnya dengan pandangan tak suka. Berusaha menahan lidahnya yang siap melempar kata pedas, akhirnya dia membalas ucapan lelaki berambut gelombang itu dengan, “Ngapain emangnya? Salah gua parkir di sini?” nadanya tak bersahabat. Kentara sekali.

Namun sepertinya, lelaki berbilah coklat madu itu hanya menatapnya sebelum tertawa kecil. “Iya mas … masnya salah. Lihat tanda itu,” Cakra menunjuk rambu-rambu lalu lintas. Ada P disetrip dan di bawahnya ada tulisan ‘di sepanjang jalan ini’. Wijaya membelalak melihatnya. Dia berkedip dengan cepat, berusaha membaca lagi. Sumpah sebelum parkir dia tak melihat ada rambut itu!

“Jadi ceritanya ... mas parkir sembarangan. Sudah aturan di universitas ini, untuk menggembok kendaraan yang ‘nakal’. Makanya mari kita ke satpam, terus minta maaf,” lelaki itu menjelaskan dengan sabar. Lalu menatap Wijaya.

Yang bersangkutan akhirnya mengangguk. Mengikuti langkah orang didepannya yang menuju sebuah kantor satpam yang tak jauh dari situ. Dan disana, Wijaya langsung saja kena semprot bapak satpam yang sudah tua. Tepat ketika si panitia kampus ini menjelaskan yang terjadi. Dan terjadilah negosiasi rumit bin panjang. Dimana Cakra berusaha membela si lelaki tamu ini. Menjelaskan bahwa Wijaya bukan mahasiswa di sini. Jadi tidak tahu tentang peraturan parkir.

Sedangkan yang punya mobil, malah duduk berleha-leha. Memandangi kedua orang didepannya yang tengah beradu argumen. Meskipun si lelaki berhelaian hitam sebayanya itu tampak kalem, mengutarakan alasan dengan tenang. Sebenarnya Wijaya ingin-ingin saja langsung melemparkan uang ke meja. Menyogok si bapak satpam. Tapi ia masih ingin melihat ini lebih jauh lagi. Hingga beberapa menit berlalu, si satpam mengalah. Menghela napas panjang, memberikan kunci untuk membuka gembok. Cakra tersenyum senang, berterima kasih banyak-banyak.

“Ayo, eh … siapa namamu?” Cakra bertanya, tersenyum sambil melangkahkan kakinya menuju mobil mewah.

“... Haris Wijaya. Biasa dipanggil Jay,” dibalas singkat oleh si manik hitam. Dia memandang Cakra menelisik kemudian, “by the way, siapa namamu?”

“Cakra,” sembari tangannya membuka kunci gembok mobil, Cakra menjawab. “Cakrawala Pangestu,”

Cakrawala Pangestu, huh?

“Nah, sudah bisa dibuka, nih. Jadi Wijaya bisa pulang,” Cakra tersenyum, mengelap keringatnya. Kemudian ia teringat sesuatu, hendak mengambil oleh-oleh yang sudah diamanati padanya. Sebelum—

“Thanks ya udah bantuin,” sebelum Wijaya mengulurkan 5 lembar uang dengan nilai tertinggi. Membuat Cakra melongo. “Nih, dari gue. Buat beli permen,” katanya santai kemudian.

Sontak membuat si manik cokelat terkejut, menolak sodoran uang dari sang Wijaya. “Tidak, tidak perlu Wijaya. Aku tidak butuh.”

“Haha...” malah dijawab dengan suara tawa meremehkan, Wijaya mengeluarkan isi dompetnya lagi. Mengambil 5 lembar lagi. “Tau banget lu cara minta duit,” desisnya sambil memasang tampang cepet-terima-gua-mo-balik.

Yang membuat telinga lelaki didepannya memanas. HA?! “Sudah kubilang. Aku. Tidak. Butuh!” dengan nada suara yang sedikit naik, Cakra merasa harga dirinya terusik.

Dan dibalas dengan seringai Wijaya. Menambah 10 lembar lagi. Lalu, menarik salah satu tangan Cakra. Memberikan 20 lembar uang merah-merah itu. “Nih, masa ga cukup sih?”

Hilang. Hilang sudah batas kesabaran Cakra. Hingga— PLAAKK! Tangan Cakra menampar pipi lelaki kurang-ajar-tidak-tahu-diri didepannya dengan uang yang baru saja diberi. Tamparan itu mendarat dengan mulus, dan keras tentu saja.

“Ra butuh duitmu aku! Bajingan kowe! (Aku nggak butuh uangmu! Bajingan!)” cecar Cakra kemudian, membuat manik Jay yang membelalak, memandang wajah itu memerah. Menahan marah. Dan juga mata Cakra yang berkilat, seperti hendak mengajak Wijaya beradu pukul.

Tapi jelas. Cakra merasa harga dirinya terinjak. Yang kemudian tas jinjing itu ia dorongkan pada dada Wijaya dengan keras. “Nih! Souvenir dari kami. Terima kasih banyak atas semua bantuan anda,”

Kemudian dia melenggang pergi, lelaki bernama Cakrawala Pangestu itu.

Meninggalkan Wijaya yang terhenyak di tempatnya, memandangi punggung menjauh di sana penuh makna.

Sebelum dia menyeringai tipis, heh, ada yang menolak duit nya huh? Menarik.

[]

corner resik:

Cakra kembali ke tempat teman-temannya berbenah dengan muka ditekuk, pipi menggelembung dan langkah terhentak. Banyak orang sampai terdiam dan memandang Cakra lekat begitu mendapati si rema hitam bersikap demikian. Pasalnya, sangat jarang sekali seorang Cakrawala Pangestu marah sampai bersungut-sungut demikian.

Kasak-kusuk langsung terjadi. Beberapa gadis langsung mengambil pojok julid sedang pejantan-pejantan hanya melihat Cakra dari jauh sambil berdialog dengan tatapan mata satu sama lain. Agaknya perbincangan batin mereka demikian,

'Cakra marah tuh ...'

'Iya njir. Siapa yang bikin dia ngamocc? Sini aku patocc-nya orang itu!'

'Tadi dia sama Wijaya. Berani kamu ngadepin kaum elit univ depan?'

'Nggak jadi. Mundur alon-alon bos!'

Cakra tak tahu tentu saja. Dia hanya kembali melakukan tugasnya, bersih-bersih dengan muka penuh kekesalan. Dia sibuk sendiri sampai seorang perempuan ayu menepuk bahunya dan bertanya, "Cak, Wijaya sudah dianter ke ruang rapat? Kok nggak dateng-dateng ya ..."

Di sini, si rambut ikal terdiam. Matanya mengerjap dengan cepat sebelum tiba-tiba kulit tan di wajahnya jadi putih—dia memucat maksudnya. Buru-buru Cakra membungkuk bolak-balik ke arah sekertaris EM di hadapannya, meminta maaf. Tampak keterkejutan di muka kakak tingkatnya itu, dia seperti kesal karena Cakra tak melakukan tugasnya dengan benar. Meski pemilik wajah ayu itu berusaha tampak tak masalah, si ikal tak bisa mengelak dari rasa tak enak hatinya.

Gustiiiii Wijaya itu hiiiiih.

Udah bikin dia hiiih tadi, merendahkannya sampai segitunya ... sekarang bikin namanya tercoreng di depan kating.

Hiiiih. Hiiiih.