webnovel

Prolog: Gladi

"Jaaay~ aaah~"

Dalam kamar yang gelap dan hanya terpaparkan berkas-berkas cahaya rembulan, suara lenguh demi lenguhan mengisi ruangan besar nan mewah yang memiliki kasur king size di tengah. Dua orang lelaki tengah senam bersama di atas kasur. Kegiatan mereka begitu intens, satu nama selalu diteriakkan; ah pemilik rema hitam di sana begitu vokal. Sementara yang lain tak mengeluarkan sedikit pun suara dan hanya fokus berolah raga.

Kendati benaknya juga melambung tinggi oleh kenikmatan, dia hanya mengernyit, mendesis sedikit dan sunggingkan senyuman miring.

Tak sekali pun nama teman olah raganya terucap dari bibir tipis itu.

“J-jaaay~ l-love youuu~ aaahhh~” lelaki ramping di atasnya mencicit. Posisi olah raga mereka kini seperti berkuda, lelaki yang dipanggil 'Jay' itu suka rela mendedikasikan dirinya jadi 'kuda' dan iya, sosok di atasnya tengah menungganginya kini. “Aaaah! Jay! Love you! L--enggh~” pemuda berambut lepek karena keringat itu berseru lagi. Entah untuk keberapa kalinya dalam malam ini dia mencerocoskan cinta, Jay tak ingat. Jay terlalu ogah memakai kapsitas otaknya untuk sesuatu hal yang 'bullshit', cinta misalnya.

Ha ha. Yang orang-orang cintai selama ini duitnya, bukan dia. So? Buat apa Jay memikirkan lebih, kan?

Tanpa memikirkan lebih lanjut, Jay terus menggerakkan badannya, mencari keringat. Dia bisa merasakan bulir-bulir lengket mengaliri punggungnya yang masih terbungkus kaos hitam ketat. Dia gerah sekali, padahal AC sengaja ia nyalakan dengan suhu terendah. Hah. Mood Jay tiba-tiba drop. Ia merubah posisi olah raga mereka kini.

Jay setengah duduk dan temannya kayang. Ah. Jay memegangi pinggangnya tenang saja.

Namun sepertinya posisi senam kasur yang baru membuat rekan Jay makin termakan ekstasi. Seiring gerakan Jay yang makin bertenaga, bibir manusia di depannya makin menyerukan kalimat cinta tak karuan, "Jaaay~ I loveeeehhh youuuuuh~ I LOVE YOOOOUUUUH~" sebelum tiba-tiba sosis ajaib rekan Jay memuncratkan susu.

Cairan putih melesat kemana-mana.

“Kerja bagus, beb,” adalah apa yang Jay ucapkan sembari mendorong temannya yang tampak kepayahan ke atas tempat tidur, membuat dia terjerembab ke atas tumpukan bantal. “Lebih bagus lagi kalau lu nggak berisik. Gua naikin jadi 50000/menit kalau lu bisa diem lain kali," komentar pemuda berhidung mancung itu sembari merubah posisi. Dia kini duduk di pinggir kasur sambil meregangkan kepala dan menekan tombol lemari es yang terletak di dalam nakas.

Pemuda bermanik coklat menyala yang masih melesak di atas kasur cemberut. Dia berikan pandangan kesal ke arah lelaki sepantarannya di sana yang sedang asyik menenggak 'bintang'. "Lu bilang gitu gua berasa jadi gigolo, Wijaya," komentarnya sambil menggulungkan selimut ke badannya.

"Gua bukan gigolo," katanya lagi seraya merangkak seperti ulat (karena dia kini bak kepomponh) di atas kasur, memperpendek jarak antara mereka. Berikutnya, tanpa indahkan jika lelaki itu sedikit berjengkit, ia merebahkan kepalanya di atas paha kokoh kawan bermainnya. Mata indahnya bersinar, blink blink blink, merajuk. "Gua kan cuma cinta lu doang, Wijaya," ujarnya seraya menjulurkan tangan, memainkan rema di sisi kepala lelaki itu.

Keduanya terdiam. Dua bilah kontras saling bertatap.

Sebelum akhirnya, pemuda berema coklat kemerahan itu terbahak dan mencubit hidung pesek pemuda di bawahnya gemas. Tapi mungkin saking gemasnya, dia sampai memilin tuh hidung dan membuat si empunya mengerang 'aw aw aw' lalu otomatis berjingkat jaga jarak sebelum menggelundung ke sisi lain kasur. "Sakit bego!" dia menyenggrang dan melihat Wijaya kesal dari balik selimut.

Menyeringai, Jay terkekeh. Dia berdiri sembari mengambil vape di meja dekat mereka, menyalakan benda itu dan menghembuskan asap ke atas. Matanya yang gelap memandang langit-langit hotel yang temaram. "Lu jangan berharap lebih, Sen," ujar lelaki bertahi lalat di dagu itu dingin. Dia hirup asap pada rokok elektrik di tangannya dan menghembuskannya lagi. Cemoohan meluncur dari bibirnya siring manik tajam melirik ke arah pemuda kepompong di seberang sana, “Lu cuma gigolo gua. Nggak lebih.”

Berikutnya, tanpa berkata apa-apa lagi, Wijaya berdiri dari posisinya. Tangannya mengambil kontak mobil, ponsel dan dompet yang saling tindih di atas meja, membukanya untuk ambil uang denda asap rokok dan tips. Dia letakkan uang itu di samping ponsel si rekan yang menemani dia olah raga malam ini.

"Btw," gumam Wijaya selagi tangannya bergerak meraih kemeja yang teronggok di dudukan kursi. Ia mengenakan pakaiannya di atas kaos ketat dan membenarkan celana. "Gua sibuk urusan EM beberapa minggu ke depan. Mungkin kita skidi-skidi kalau sudah agak longgar."

"Cie yang baru semester 2 udah dikejar-kejar EM~" siulan meluncur dari bibir seksi pemuda yang tengah bergelung di dalam selimut di sana. "Beda emang lah ya kalau lahir sebagai Antaresa~" pemuda itu terkikih kecil, suara lembutnya mengalun seperti melodi indah di ruangan itu. Namun jujur, apa yang dia ucapkan membuat Jay terdiam. Dia melirik tajam temannya itu tajam. Kekesalan mengarak di caranya memandang.

"Eh? Kenapa?"

"Kalian semua sama saja," balas Wijaya singkat sambil memutar mata.

"Hei! Beda ya! Gua beneran cinta lu ei!" protes lelaki telanjang itu sambil keluar dari buntelan selimut. Wijaya hanya memutar mata mendengar klaim menggelikan itu, lalu tanpa membalas, ia balik badan dan berjalan ke arah pintu.

Di depan pintu Wijaya teringat sesuatu, dia berkata, “buat duitnya, kalau kurang pm gua. Jangan telepon. Apa yang lu mau bakal gua kasih tapi … jangan sok dekat sama gua di kampus. Oke?” sambil membuka daun mahogany itu dan menghilang di baliknya.

Bergerak ke parkiran mobil sambil terus menghirup vape di tangan, lelaki berbalut kemeja putih dengan macan melingkar di kerahnya sesekali memandang langit ⅓ malam dalam diam. Lorong yang dia lalui langsung menghadap ke kolam renang luas bersorotkan lampu kuning indah. Pepohonan apik tertata rapi berderet di sekeliling. Mereka berdiri, setia payungi air tenang di kolam.

… setia.

Heh, apa itu definisi setia?

Memejamkan matanya, lelaki ini mengambil ponsel manggis keroak dari dalam saku dan membaca pesan. Kotak masuk aplikasi hijau bulatnya—whutsup—banyak sekali. Rata-rata menanyakan dia dimana, malam ini melakukan apa … ck. Membosankan. Mereka seperti semut saja merebutkan tytydnya. Hah, semua ini karena Wijaya tak mau membelikan tas branded, jalan-jalan keluar negeri atau memberikan uang tunai pada mereka yang belum mengangkang. Jadi yah ... dia bisa melihat hari ini pun jalang-jalangnya berebut untuk menjadi teman tidur sebelum memeras dompetnya. Ha ha ha.

Menggulir pesan, dia membuka grup organisasi kampus. Alis tebalnya tertaut membaca satu pesan, dari pak ketua EM: 'Jay, lu besok ikut gua ke kampus depan ya? Besok ada penutupan acara mereka dan kita mau rapat buat bicarain project kerja sama yang lu bakal berpartisipasi di dalamnya. Lu musti dateng ya. Kita butuh lu. Woke?' Pesan ini membuat Wijaya mengangkat dua alisnya. Dia berdecak sekali lagi.

Menghiraukan chat ini, lelaki bertahi lalat di dagu ini akhirnya terus bergerak ke parkiran. Dia dekati Audi cakep yang terparkir di bawah lengkungan daun pohon yang saling terjalin dan masuk ke dalamnya. Melesakkan punggung, Jay mencoba tidur. Bentar saja, tidur di mobil, baru dia akan menjalani harinya yang membosankan seperti biasa.

Kata ketua EM nya terbayang sejenak, "kita butuh lu.”

Wijaya mendengus kasar. “Butuh gua, apa duit gua?” gerutunya sebelum menurunkan sandaran jok. Dia tertawa kecil kemudian, "semua orang sama saja," gumaman itu terlepas seiring kelopak mata bergerak menutup, meninggalkan dunia yang penuh penjilat dan kemuka duaan.

[]

Next chapter