webnovel

Bab 7

Rindi menghapus air matanya yang terus saja meleleh. Dia tidak tahu apa yang dia lakukan ini benar atau salah. Tapi bagaimana pun juga semuanya sudah terjadi, Rindi jelas tidak mungkin memikirkan perasaannya sendiri tanpa memikirkan orang lain.

Flashback

Di ruang makan rumah Stefano Chan, Rindi hanya menundukkan kepalanya malu. Ibu Fano bahkan sampai sedikit menundukkan kepalanya untuk melihat wajah Rindi.

"Dia cantik, wajahnya manis sekali. Dari mana asalmu nak?" tanya Ibu Fano yang terus saja tersenyum pada Rindi.

Rindi mengangkat kepalanya sedikit kemudian ikut tersenyum. Ibu Fano juga sangat cantik, pasti kulit putih susu Fano menurun dari Ibunya. Sedangkan Ayah Fano tidak banyak bicara dan hanya sekilas saja memandang wajah Rindi.

"Dia dari Indonesia, Eomma. Jangan menandanginya seperti itu, bisa-bisa wajahnya berlubang nanti," ujar Fano mewakili Rindi menjawab pertanyaan Ibunya.

Ibu Fano tertawa kecil kemudian menganggukkan kepalanya mengiyakan ucapan Fano. Tawanya berhenti saat Ayah Fano berdehem sedikit keras, tubuh Rindi pun tiba-tiba menegang karena terkejut dan takut.

"Jadi kenapa Kau tiba-tiba pulang kesini, Chan?" tanyanya datar persis sekali dengan gaya bicara Stefano yang selalu Ayahnya panggil Chan.

Semuanya terdiam termasuk Fano yang seperti sedang menata perkataannya dalam otak. Stefano kemudian menarik napas pendek dan memegang tangan Rindi tiba-tiba. Rindi membulatkan matanya dan memandang Stefano dengan wajah terkejut sekarang.

"Aku akan menikah dengannya, Eomma Appa," ucap Stefano mantap tanpa terbata-bata menyiratkan kalau dirinya sudah sangat yakin menikah sekarang.

Ibu Fano membuka mulutnya terkejut, begitu juga Ayah Fano. Ayah Fano sama sekali tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya, tapi Ayah Fano juga tidak bisa menutupi ekspresi wajahnya yang merasa senang. Ibu Fano berdiri dari duduknya kemudian menghampiri Rindi. Dia kemudian memegang tangan Rindi lembut, bibirnya tersenyum memandang Rindi yang masih tidak bisa mencerna apa yang Stefano katakan barusan.

"Selamat datang di keluarga kami, dan terima kasih sayang," ucap Ibu Stefano. Rindi memaksakan diri tersenyum dan hanya menganggukkan kepalanya mengiyakan ucapan Ibu Fano. Rindi beralih memandang Fano seakan meminta penjelasan sekarang.

***

Rindi duduk bersebelahan dengan Fano yang sedari tadi hanya diam saja. Mereka sedang duduk di kursi taman yang memiliki lampu sedikit remang-remang. Rindi memainkan kakinya lalu melirik Fano sekilas, dia kemudian membuang muka lagi saat menyadari Fano juga meliriknya. Beberapa detik kemudian Fano berdehem, dan membuat Rindi menoleh kearahnya.

"Maaf, Aku mengatakan akan menikahimu tanpa ada berdiskusi dulu denganmu. Aku tidak punya pilihan lain, dan ini."

Stefano menyodorkan kertas bertuliskan tinta hitam pada Rindi. Kening Rindi mengkerut bingung, kapan Stefano membawa kertas ini. Kenapa Rindi tidak melihat kertas itu. Rindi mengambil kertas itu kemudian membacanya dengan seksama, Rindi semakin tidak mengerti dengan apa yang dia baca. Rindi menatap Fano meminta penjelasan.

"Mari kita menikah, tapi dengan kontrak itu. Aku janji tidak akan menyentuh atau merugikanmu, Rindi_ya. Bantu Aku sekali ini untuk menyelesaikan semua keributan dan skandal yang tidak sengaja kita buat," ucap Stefano dengan nada datar sambil memandang Rindi.

Isi kepala Rindi sekarang sedang penuh, dia sulit mencerna semuanya dalam satu waktu ini. Rindi bingung, dia linglung dan hanya bisa membuang pandangannya ke kanan dan ke kiri. Sedangkan Fano sedang menunggu jawaban dari Rindi sekarang.

"Rin? Apakah kau menolak? Baiklah kalau Kau menolak, Aku tidak bisa memaksa," sambung Stefano lagi.

Rindi menoleh pada Fano yang sudah mengambil kertas itu dari tangannya. Rindi kembali merebut kertas itu lalu menganggukkan kepalnya, tangannya terulur meminta pulpen pada Fano. Dia setuju dengan ajakan Fano untuk menikah, dia juga harus ikut andil dalam menyelesaikan masalah ini.

Flashback off

Pintu kamar Rindi di ketuk dari luar, dengan cepat Rindi menghapus air matanya dan berjalan menuju kaca. Dia memandang dirinya sendiri di cermin besar itu, wajahnya sembab karena sedari tadi dia memang menangis. Dia menarik napas beberapa kali mengatur perasaannya dan membuka pintu kamar asramanya pelan.

Stefano sudah berdiri di depan kamarnya dengan mengenakan celana hitam dan baju koko putih. Rindi yang melihat laki-laki itu dari belakang terdiam.

"Laki-laki ini akan segera menjadi suamiku," ujarnya dalam hati.

Menyadari pintu kamar asrama Rindi sudah terbuka, Fano membalikkan badan dan melihat Rindi sedang memandangi dirinya dengan mata sembab dan wajah merah.

" Kau sakit? Atau Kau..."

Fano tidak melanjutkan perkataannya dan hanya mengehela napas pendek sekarang.

"Kita batalkan saja," tukas Fano lalu berbalik dan akan beranjak pergi tapi tangannya di cekal oleh Rindi. Fano kembali berbalik memandang Rindi sekarang

"Jangan di batalkan, Aku pakai hijabku dulu baru kita berangkat," lirih Rindi menahan tangisnya.

Mereka mengadakan pernikahan sederhana di Itaewon grand mosque. Di situ hanya ada Ustad pengurus masjid, Rindi, Stefano dan Jay sebagai perwakilan kedua orang tua Fano. Setelah acara selesai, Jay tersenyum dan menjabat tangan Fano. Jay juga memeluk Fano dengan hangat.

"Jaga perempuan Indonesiaku ya, Kau pasti tahu kalau kami sudah dekat dan justru Kau yang mengambilnya," bisik Jay tepat di telinga Fano.

Fano tertawa kecil lalu menepuk pundak Jay pelan. Setelah itu Jay menjabat tangan Rindi, dan tersenyum. Jay mencubit pipi Rindi yang sedikit cubby pelan.

"Kau berhasil memenangkan hatinya, dan Kau cantik mengenakan ini," ucap Jay.

Rindi tersenyum tipis dan mengucapkan terimakasih. Mereka kemudian berfoto bersama. Sebelum benar-benar pulang, Fano di panggil ustad pengurus masjid.

"Ingat, menikahinya berarti bertanggung jawab segala hal darinya. Surganya ada di dirimu sekarang, maka pelajarilah caranya mendapatkan surga itu bersama Rindi."

Fano sama sekali tidak memahami apa yang ustad itu bicarakan. Tapi tetap saja Fano mengiyakan dengan anggukan kepala oleh Fano.

***

Rindi tertidur di dalam mobil Stefano yang membawanya ke pulau tempat tinggal orang tua Fano. Sebentar Stefano melirik Rindi, lalu kemudian dia tersenyum tipis. Alarm ponsel Rindi membuat Stefano sedikit terjingkat kaget, dia menoleh lagi pada Rindi yang sudah mengeliat akan bangun.

"Hebat sekali gadis ini, dengar alarm sedikit langsung bangun," batin Stefano kagum sekaligus heran.

Rindi mengucek matanya pelan lalu memandang Stefano yang kembali pura-pura fokus mengemudi.

"Maaf, Aku tertidur. Apa di daerah sini ada masjid, Chan?" tanya Rindi parau.

Fano mengerutkan keningnya bingung, kenapa Rindi jadi memanggilnya Chan seperti ayahnya. Dan kenapa harus cari masjid di daerah sini? Bukankah bisa nanti saja kalau sudah sampai rumah untuk melakukan ibadah.

"Mulai sekarang Aku panggil Kamu, Chan saja boleh? Dan ini sudah waktunya melakukan ibadah, dan itu tidak boleh di tunda. Bisa kita berhenti mencari masjid dulu? Aku bisa cari lewat aplikasi ini," ucap Rindi lagi menjelaskan dan kemudian.

Fano masih saja mengerutkan keningnya bingung, tapi kepalanya mengangguk mengiyakan saja. Maklum saja ini hari pertama dia mengikuti apa yang di yakini, Rindi sang istri. Setelah beberapa menit mencari, akhirnya mereka berdua berhenti di salah satu masjid yang cukup jauh dari arah rumah orang tua Stefano.

Rindi sedang berdiri di depan area sholat laki-laki. Dia menunggu Fano, laki-laki dingin itu pasti sedang kebingungan di dalam. Tidak beberapa lama, Fano keluar dengan masih mengenakan peci yang entah dari mana dia dapat. Rindi memandangi Fano dengan ekspresi bingung, tapi juga terpesona. Stefano sampai merasa malu sendiri karena dipandangi perempuan yang sudah menjadi istrinya ini.

"Jangan memandangiku seperti itu terus nanti wajahku luntur," tukas Stefano lalu ngeloyor pergi meninggalkan Rindi yang masih mematung di situ.

***