webnovel

Bab 6

Beberapa hari berlalu berita tentang kencan Stefano Chan dengan perempuan tidak di kenal semakin panas. Bahkan banyak pemberitaan yang di lebih-lebihkan sekarang. Agensi tempat dimana Stefano bekerja pun mulai mengeluarkan protes sekarang. Mereka takut ini akan berdampak pada lagu baru Jason yang di produseri oleh Stefano.

Stefano sendiri sering menyendiri sekarang, dia selalu mengunci diri di dalam ruang kerjanya. Walaupun para sahabatnya ada di studionya, tetap saja Stefano tidak keluar dari dalam ruang kerjanya.

"Mau sampai kapan dia seperti itu, Hyung?" tanya Jang Ki Chan lalu memasukkan potongan ayam ke mulutnya.

Jay yang merasa Jang Ki sedang berbicara dengannya mengedikkan bahu tidak tahu.

Victor memandang ke arah pintu ruang kerja Stefano kemudian dia menghela napas pendek.

"Rindi juga sama dengan, Fano Hyung. Sekarang gadis itu banyak menyendiri, beruntungnya tidak ada yang tahu kalau yang di beritakan itu Rindi. Kalau sampai tahu entah bagaimana respon orang lain pada Rindi," terang Victor.

Jay, Jang Ki, Jason dan Namsuya pun memandang Victor lalu ikut menghela napas berat. Mereka juga seharusnya memikirkan dampak negatif semua ini pada Rindi. Saat mereka sedang sibuk dengan pikiran masing-masing, Jipyong masuk bersama CEO agensi.

Mereka semua lalu berdiri dan membungkukkan badan menyapa Bang Hyuksi

"Hei santai saja, duduklah kalian! Dimana Stefano?" tanya Bang Hyuksi sambil mengedarkan pandangannya mencari Stefano.

Tangan mereka lalu bersamaan menunjuk ruang kerja milik Stefano.

"Sedang membuat lagu?" tanya Bang Hyuksi lagi.

Mereka lalu bersamaan mengedikkan bahu tidak tahu. Jipyong mengerutkan kening tidak percaya melihat mereka sangat kompak sekarang.

"Kalian ini kompak sekali," ujar Bang Hyuksi sambil mengulum senyumnya.

Mantan CEO bagi Jay, Jang Ki, Jason dan Namsuya itu pun berjalan menuju ruang kerja Stefano. Dia pun mengetuk pintu pelan sambil memanggil nama Fano. Di luar dugaan mereka semua, Stefano membuka pintu dan menyuruh Bang Hyuksi untuk masuk. Mereka sekarang sedang berdua saja di dalam ruang kerja. Sedangkan teman-teman Stefano sekarang saling pandang dengan ekspresi bingung sekarang.

***

Rindi sedang membersihkan kamar asramanya, kebetulan hari ini dia libur. Rindi menghidupkan musik dari ponselnya, di memutar beberapa lagu Indonesia yang dia sukai. Dia bahkan ikut melantunkan lirik yang dia tahu, lalu tiba-tiba saja dia teringat pada Stefano. Rindi terdiam dan kemudian duduk di atas ranjang. Tangannya meraih ponsel dan mengetik nomor Stefano Chan yang secara tidak sengaja dia hapal. Dia sudah akan menekan dial, namun ternyata panggilan masuk lebih dulu datang. Dengan cepar Rindi mengangkat panggilan itu.

"Halo," ucap Rindi pelan.

"Kau di asrama? Bisa kita bertemu sebentar?" tanya seseorang di seberang sana.

"Iya Aku ada di dalam asrama, Kau dimana?" tanya Rindi balik.

Setelah mendengarkan jawaban dari seberang sana. Rindi kemudian mematikan sambungan telepon itu. Rindi memasukkan ponselnya kedalam saku lalu kemudian beranjak pergi meninggalkan kamarnya.

Rindi dan Stefano sedang berjalan ke Terminal Kapal Feri Jangsado dan naik feri ke pulau Jangsado. Stefano mengajak Rindi untuk menemui kedua orang tuanya, tapi sepanjang perjalanan laki-laki itu hanya diam saja tidak ada mengeluarkan sepatah kata pun. Rindi melirik Stefano yang berjalan di sampingnya. Merasa di lirik Stefano menoleh pada Rindi.

"Kenapa?" singkat Fano.

Rindi menatap Stefano kemudian menggelengkan kepalanya pelan.

"Orang tuaku memang tidak mau tinggal di kota, maaf membawamu sampai sejauh ini," ujar Fano lagi.

Rindi masih memandang Stefano lalu kemudian tersenyum tipis dan menganggukan kepalanya. Rindi sendiri sebenarnya tidak tahu kenapa dia di ajak menemui orang tua Fano sekarang. Terlepas dari itu semua rasa bersalah yang menyelimuti dirinya, membuat Rindi menuruti saja apa yang Stefano Chan mau.

***

Rindi memandang langit-langit kamar yang dia tempati sekarang. Malam ini dia terpaksa bermalam di rumah orang tua Stefano. Rumah yang kuno tapi masih bagus dan terawat, Rindi sedang memikirkan apa yang Fano katakan tadi saat mereka berdua bertemu kedua orang tua Stefano. Rindi kemudian bangun dari rebahannya dan mengerutkan keningnya sekarang.

"Dia sedang mengigau atau bagaimana sih, bisa-bisanya dia bilang seperti itu," ujar Rindi menggunakan Bahasa Indonesia. Belum juga selesai berpikir tentang apa yang Stefano katakan, pintu kamar yang Rindi tempati di ketuk seseorang dari luar. Perlahan Rindi membuka pintu dan langsung mundur selangkah melihat Ibu Stefano datang membawa sepiring buah-buahan yang sudah di potong-potong.

"Aku tidak tahu Kau menyukai buah apa nak, tapi ini buah umum yang selalu orang makan," ujar Ibu Stefano sambil menyodorkan piring itu pada Rindi. Dengan sopan Rindi menerima piring itu lalu tersenyum.

"Aku menyukai segala jenis buah, Bu eh Tante," sahut Rindi bingung akan memanggil Ibu Stefano dengan panggilan apa. Ibu Stefano tersenyum kemudian memegang tangan Rindi pelan.

"Terima kasih mau menerima Chan dengan segala kekurangannya, dia memang laki-laki yang dingin dan irit bicara. Tapi sebenarnya hatinya sangat lembut dan sangat peduli pada orang lain," terang Ibu Stefano.

Rindi hanya diam saja dan menganggukkan kepalanya, dia masih saja bingung dengan yang terjadi sekarang ini. Tujuannya ke Korea bukan untuk seperti ini, dia ingin mengejar mimpinya menjadi penerjemah yang terkenal dan ahli. Tapi kenapa justru sekarang menjadi serumit ini sekarang.

Pagi harinya Rindi mondar-mandir di dalam kamarnya, biasanya jam segini dia akan pergi melakukan ibadah terlebih dulu. Tapi Rindi di buat bingung karena dia merasa rikuh untuk melakukan ibadahnya di tempat asing. Dia takut kedua orang tua Stefano Chan bingung dan berpikiran yang tidak-tidak padanya.

"Kenapa Aku jadi peduli penilaian mereka, Rindi ayolah!" gerutu Rindi bermonolog masih saja mondar mandir.

Kegiatan itu berhenti saat pintu kamarnya di ketuk dari luar, dengan cepat Rindi membuka pintu. Stefano terkejut kenapa bisa gadis di depannya ini cepat sekali membuka pintu.

"Seperti dugaanku, Kau sudah bangun. Lakukan saja ibadahmu, orang tuaku sudah tahu kita berbeda keyakinan," terang Stefano tanpa Rindi minta.

Dengan patuh Rindi menganggukkan kepalanya dan mengikuti Stefano keluar kamar sekarang.

Setelah selesai dengan urusannya, Rindi kemudian menuju dapur dimana ada Fano yang sedang memasak. Kening Rindi mengkerut saat melihat isi belanjaan Fano beberapa sayuran dan ada tahu di situ, ada pisau baru, piring baru dan gelas baru. Bahkan wajan yang Fanoi gunakan juga baru.

"Kenapa belanja barang baru lagi?" tanya Rindi masih dengan kening mengkerut bingung.

Stefano yang sedang sibuk memasak lalu menoleh sekilas lalu kembali sibuk memasak.

"Hanya saja ingin membeli barang baru, kita sarapan bersama Eomma dan Appa dulu. Baru nanti kita kembali ke Seoul, Aku memasak makanan yang bisa Kau makan," ujar Stefano kemudian.

Dengan sedikit ekspresi terkejut, senang dan juga kagum. Rindi menganggukan kepalanya mengiyakan ucapan Stefano patuh.

***

Suasana Itaewon grand mosque terlihat tenang seperti biasanya. Di situ sedang ada Stefano, seorang ustad pengurus masjid dan juga Rindi yang mengenakan baju muslimah yang dia dapat dari Bibinya di Indonesia.

"Apa Kau yakin menikah dengan gadis ini? Dia berkeyakinan beda denganmu, di keyakinan kami dilarang menikah berbeda keyakinan. Tapi jangan sampai hal itu yang mendorongmu mengikuti keyakinannya," ucap ustad itu sekaligus pengurus di Itaewon Grand Mosque.

Stefano diam sejenak lalu memandang Rindi sekilas, kepalanya kemudian mengangguk mantap.

"Menikahinya berarti Kau bertanggung jawab dengan semua yang dia lakukan, bukan hanya secara materi tapi segalanya," lanjut ustad itu lagi.

Lagi-lagi Fano mengangguk dengan mantap dan tidak ragu-ragu. Sedangkan Rindi sedari tadi hanya diam, dia tidak berani memandang Stefano ataupun ustad itu.

"Dan Kau Rindi, Korea Selatan berbeda dengan Indonesia. Jauh sangat jauh berbeda, dengan menjadi istri Stefano. Kau bukan hanya harus menjadi istri yang baik, istri solehah, dan menurutinya. Tapi Kau juga harus membimbingnya dengan sabar, dia bersedia menjadi mualaf berarti kewajibanmu menjadikannya mualaf yang sesungguhnya," pesan ustad itu pada Rindi juga.

Rindi mengangguk pelan, dia sedang menahan air matanya supaya tidak turun sekarang ini. Dia tidak pernah menyangka semuanya akan berakhir seperti ini, dan semoga pilihannya tidak salah.

***