Waktu terus berlalu. Mereka kini masih setia menunggu seseorang bangun dari tidur panjangnya yang kini masih terbaring manis diranjang rumah sakit. Yah, Avan belum sadarkan diri setelah 1 bulan lamanya. Tetapi TG8 tak pernah putus asa untuk menjaga Avan dan berbagi cerita. Walau mereka tau Avan tak akan merespon ucapan mereka, tetapi mereka yakin Avan pasti mendengarkan cerita mereka.
"Van, 1 bulan. 1 bulan loe bikin kita nangis gak jelas dan 1 bulan loe tidur terus. Apa loe gak capek? apa loe gak kangen sama kita? apa loe-" ucapan gadis berpipi chubby ini terhenti. Ia menangis tak kuasa melihat sahabatnya ini terbaring disana. Dan keadaan lelaki ini semakin lama semakin menurun. Bahkan tubuhnya pun mulai terlihat kurus.
"Andai waktu berputar kembali. Gue pasti gak bakalan ajak loe gabung sama TG8. Andai waktu itu loe gak ikut pertempuran itu, pasti semua gak akan kayak gini, Van" Ucap Stev yang berdiri disamping kasur Avan.
"Van, kapan kita bisa balap sepeda bareng lagi? kapan kita bisa main kartu lagi? kapan Van kapan? kalau loe kayak gini terus hidup gue hampa Van. Cuma loe yang paling asik di geng." ucap G.B sedih.
"Gue mohon bangun. Kita semua kangen sama loe yang rese, suka menantang kita dan loe yang berani. Kita kangen Avan yang kayak gitu, bukan yang sekarang. Loe gak keren Van kalau tidur terus" Gumam Naira sambil menahan air matanya. Dirinya yang cuek kini menjadi sering memasang wajah sedih. Bagaimana tidak? Avan sudah ia anggap sebagai adiknya. Pasti ia akan sangat merasa sedih saat lelaki itu lemah seperti itu.
"Van. Loe inget gak? pas loe gak gue izinin gabung sama TG8? gue marah banget saat itu. Dan loe tau kenapa Van? Karena gue gak suka cara loe bicara. Terlalu kasar dan spontan. Tapi semakin kesini gue sadar bahwa loe itu keren. Bahkan waktu itu gue sempat nyesel gak izinin loe gabung sama The Grazon 8. Dan berkat Stev yang maksa loe buat gabung sama kita, gue gak nyesel lagi. Kalau seandainya loe bangun gue serahin jabatan gue sama loe. Loe boleh kok jadi leader TG8. " ucap Jeffrey yakin dan sangat yakin. Kelima sahabatnya menatap dirinya tak percaya. Sebegitu sayangkah seorang Jeffrey kepada anak kelas 5 SD itu sampai-sampai dirinya menyerahkan jabatan sebagai leader diTG8? Apa yang dipikirkan lelaki berkulit putih ini ? Entahlah.Hanya dirinya dan Tuhan yang tau.
"Gue salut bro sama loe. Sampai Leader gue serahin jabatannya sama loe. Gue udah anggap loe sebagai adik dan keluarga gue sendiri. Bahkan dulu gue pengen banget kalo loe jadi adik angkat gue. Tapi itu semua mustahil karena gue yakin loe gak mau hehe. Iya kan? Bangun, Van.. Gue kangen sama loe. Gue kangen main PS sama loe. " ucap Zee tanpa mengeluarkan air matanya. Sudah cukup sebulan ini ia menangis tak karuan.
CLEEKK!
Tiba-tiba ada yang membuka pintu ruang rawat Avan. Dilihatnya seorang lelaki paruh baya dan seorang wanita. Mereka menghampiri TG8. Siapalagi jika bukan kedua orang tua Avan. Disinar matanya terlihat kesedihan yang mendalam saat melihat kembali anak mereka masih terbaring disana.
"Nak, Avan akan kita pindahkan ke Singapura. Mungkin disana ia bisa menjalani perawatan lebih." ucap papa Avan. Keenam sahabat Avan melototkan matanya terkejut. Mereka sangat tidak percaya apa yang diputuskan kedua orang tua Avan.
"Si..singapura om? Apa dia gak bisa tetap disini om?" tanya Naira mewakili yang lain.
"Gak bisa nak. Buktinya semakin kesini keadaan dia menurun. Dan ini sudah 1 bulan lebih. "
"Tapi om.."
"Sstt.. ikhlasin aja..." bisik Stev memotong ucapan Naira. Naira kembali menangis didekapan lelaki ini.
"Baiklah om. Kalau itu memang yang terbaik." jawab Stev. Keempat sahabatnya itu menatap Stev tak percaya. Stev menganggukkan kepalanya menandakan mereka harus mengikhlaskan Avan dipindahkan ke Singapura. Mereka pun menundukkan kepalanya dalam.
"Baiklah. Nanti sore Avan akan dipindahkan segera. Saya mau mengurus keberangkatan Avan terlebih dahulu. Bisakah kalian menjaganya?"
"Bisa om."
"Terimakasih" Kedua orang tua Avan pun beranjak dari ruangan itu. Keenam manusia ini kembali dilanda kesedihan. Naira dan kedua gadis itu menangis kembali. Begitupula dengan Stev dan kedua lelaki ini. Begitu susah payah menahan air matanya tapi akhirnya jatuh juga.
"Van. Kita izinin loe dipindahin ke Singapura. Kalau emang itu terbaik buat loe. Gue disini hanya bisa berdoa semoga loe disana cepat sembuh dan kalau udah sembuh, loe kesini oke?" ucap Stev mengembangkan senyum manisnya.
"Gue tau Van loe gak bakal ngerespon ucapan kita. Tapi gue yakin loe denger ucapan kita. Gue izinin loe dipindahin ke negara itu. Semoga loe sembuh Van!"ucap Naira disela tangisannya.
"Van. Gue udah anggap loe sebagai adik kandung gue sendiri. Semoga nanti loe disana gak lupa sama kita. Gue berharap loe cepat bangun. Loe gak capek tidur sebulan lebih? apa loe gak kangen sama kita?" ucap Jeffrey sedih.
"Van. Nanti siapa yang bakal main kartu sama gue lagi? nanti siapa yang bakalan main sepeda sama gue lagi? siapa Van? jawab. Gue tau loe gak bakal ngerespon. Tapi, seenggaknya loe ngangguk gitu." ucap G.B. Jeffrey menoyor kepala G.B. Lelaki itu hanya meringis kesakitan.
"Avan" panggil Alva lirih.
"Avan, loe harus sembuh." kata Zee sambil berbisik di telinga Avan. Mereka kini memeluk lelaki itu bersamaan. Rasa duka menyelimuti hati mereka, jujur saja mereka tak terima jika Avan harus dipindahkan ke negara lain demi pengobatannya, tapi mau bagaimana lagi? Semua ini sudah menjadi keputusan kedua orang tua Avan agar Avan segera sembuh, mereka tak mungkin menolak apa perkataan orang tua Avan.
Sore pun tiba, TG8 tetap setia menunggu dan menemani Avan dikamar rawat ini. Orang tua Avan sudah kembali ke rumah sakit. Tiba saatnya kini Avan akan dipindahkan ke Singapura dan ia akan mendapat perawatan lebih disana. Mereka mencoba menahan air mata saat Avan mulai dipindahkan ke dalam mobil ambulan. Setelah itu orang tua Avan pamit kepada mereka. Akhirnya Avan pun benar-benar dibawa ke Singapura dan meninggalkan TG8 di negara ini.
"Ayo pulang." ajak Jeffrey. Dan mereka pun pulang kerumah masing-masing. Mereka harus menempuh hidup baru tanpa Avan. Mereka yakin suatu saat nanti anak kelas 5 SD itu akan kembali dan bermain lagi dengan mereka.
*****
Seminggu setelah Avan meninggalkan mereka ke Singapura, The Grazon 8 kembali menjalankan aktivitas masing-masing. Mereka kini kembali bersekolah walau tanpa Avan. Kini mereka sedikit sibuk dengan UN dan akan menghadapi kelulusan SD. Mereka menyibukkan diri agar tidak mengingat Avan lagi. Walau hatinya berdoa semoga Avan baik-baik saja disana dan segera bangun dari komanya.
Kini mereka sedang duduk dikantin setelah 1 jam bel pulang sekolah berbunyi.
"Emm... Udah seminggu. Belum ada kabar apapun dari papa Avan." ucap Stev. Kelima sahabatnya pun menatap Stev sedih. Mereka berharap orang tua Avan mengabarkan keadaan Avan. Tetapi mustahil, karena papa Avan seminggu ini sama sekali tidak mengabari mereka. Dan Stev terus mencoba menghubungi handphone Avan ataupun kedua orang tuanya tetapi handphone mereka sepertinya sengaja dimatikan.
DDRRTT DDRRTT
Tiba-tiba handphone Stev bergetar. Stev menatap layar handphonenya dan tertera nama papa Avan disana. Stev segera mengangkat sambungan telepon tersebut.
"Hallo om" sapa Stev.
"Hallo nak Stev" jawab papa Avan disebrang sana.
"Ada apa om?"
"Maaf ya sebelumnya om gak pernah ngasih kabar"
"Iya om gapapa. Gimana keadaan Avan disana?"
"Em... Avan-" Ucapan papa Avan sedikit tertahan. Ia seperti tengah menahan isakan. Stev semakin cemas. Melihat wajah Stev yang tak enak dilihat pun membuat kelima sahabatnya ini ikut cemas dan khawatir.
"Maafkan saya nak Stev. Avan... Avan... sudah meninggal... maafkan saya nak." Stev terdiam mematung. Matanya kini berkaca-kaca menahan air matanya yang hendak jatuh. Stev menggeleng-gelengkan kepalanya tak percaya.
Bersambung ...
mohon beri tanda bintang dan komentarnya yaa