Terhitung sudah tiga kali matahari terbit semenjak Abaddon meluncurkan serangannya pada Cerberus. Ketiga bangunan markas bergetar hebat mendapat tembakan dari pesawat-pesawat pasukan Abaddon. Walaupun bangunan-bangunan itu diselubungi medan magnet pelindung berbentuk kubah, namun tetap saja getaran dari setiap serangan bisa terasa sampai ke dalam.
Seluruh pasukan Cerberus sibuk menghalau serangan tanpa bisa menyerang balik. Dari segi jumlah, pasukan Cerberus masih lebih unggul dari Abaddon. Sayangnya mereka kalah dari segi kualitas. Termasuk dari teknologi persenjataan. Pasukan Abaddon memiliki banyak senjata yang tidak dimiliki Cerberus. Salah satunya laser proton, sebuah senjata yang menembakan sinar laser dengan partikel yang jauh lebih padat dari plasma milik pasukan Cerberus. Semua pesawat Abaddon punya senjata itu.
Vabica mengemban tugas sebagai komandan pertahanan wilayah Right Head. Ia dipercaya oleh Heim dan Orland untuk melindungi para tamu yang berasal dari Elyosa itu.
Sebuah nada panggilan terdengar dari alat komunikasi milik Vabica. Sang kakak, Heim, menghubunginya untuk menanyakan kondisi di sana.
"Sejauh ini kami mampu bertahan. Tapi tidak tahu untuk berapa lama," jawab Vabica sambil memberi komando pada pasukan Cerberus yang ada di dalam Trava untuk menembak jatuh beberapa pesawat pasukan Abaddon.
"Mengapa mereka lama sekali? Ini sudah hari ketiga!" Suara Heim terdengar risih.
"Kita harus percaya pada mereka, kak," jawab Vabica dengan nada tenang. Jujur saja, Vabica sendiri merasa cemas. Tapi ia bisa mengendalikan rasa cemasnya itu agar fokusnya tidak tergoyahkan.
"Kau benar. Aku akan mencari kabar," ucap Heim sembari menutup panggilannya.
"Kak Ain, Kak Riev, kak Kiev... Cepatlah datang...." lirih Vabica dalam hati, yang ia tutupi dengan wajah tegar penuh wibawa.
[•X-Code•]
Tiash bersama dengan orang-orang dari Elyosa berada di bungker bawah tanah Right Head. Setiap markas Cerberus memilikinya. Tempat itu hanya dipakai untuk kondisi darurat, seperti yang tengah terjadi saat itu. Tidak hanya mereka, para penghuni Right Head yang belum cukup siap untuk bertarung juga berada di sana, berlindung dari serangan Abaddon.
Tangis anak-anak terdengar riuh di dalam bungker Right Head. Mereka adalah anak-anak yatim piatu yang dibawa ke Cerberus untuk dilatih menjadi pasukan Cerberus nantinya, sama seperti Ain dulu.
Para pasukan Cerberus yang bertugas untuk berjaga di sana terpaksa turun tangan untuk menenangkan anak-anak itu. Namun sayangnya, usaha mereka tidak membuahkan hasil. Bagaimana tidak? Mereka sendiri merasa tertekan oleh kecemasan kala menghadapi situasi yang baru pertama dialami. Selama ini, Cerberus tidak pernah diserang sekalipun.
Tiash yang berada di sana merasa harus melakukan sesuatu. Ia berdiri lalu menepuk tangannya dengan keras, kemudian berkata dengan lantang, "Hei anak-anak, mau dengar cerita seru??"
Sontak tangis mereka terhenti, teralihkan oleh suara Tiash yang lembut namun terdengar lantang.
Seorang anak mengusap air matanya, lalu berjalan menghampiri Tiash. "C-Cerita apa, kak?" tanya anak itu sambil masih sedikit tersedu-sedu.
"Kakak mau cerita tentang Ratu Kebangkitan! Ayo yang mau dengar, berkumpul!" Dengan sangat ceria, Tiash mengajak anak-anak di sana untuk mendengarkan ceritanya.
Usahanya berhasil dengan baik. Anak-anak berkumpul, duduk mengelilinginya. Meskipun, masih terdengar samar-samar isak tangis di antara mereka.
Tidak hanya itu, para pasukan Cerberus yang tadi sempat disibukkan untuk menghibur anak-anak itu juga malah ikut berkumpul.
"Ratu Kebangkitan?" tanya seorang pasukan pada temannya.
Teman sesama pasukannya hanya mengangkat bahu, isyarat kalau ia sendiri belum pernah mendengarnya.
Mulailah Tiash bercerita tentang legenda dari tempatnya berasal.
Yola yang memerhatikan dari jauh, tanpa disadari tersenyum lebar. Ia sangat mengagumi Tiash, sosok majikan yang mampu menentramkan kondisi di tengah kekacauan.