Berawal dari kesalahan pendaftaran Universitas, membawa Ran Yuki ke sebuah Universitas Indigo. Ia bertemu Hiro, seorang pria berstatus khusus sebagai Albino Indigo dari keluarga bangsawan elit. Pertukaran Energi dengan Hiro menyeretnya dalam dendam masa lalu pria itu. Hari-hari Ran Yuki berubah menjadi malapetaka. Ia selalu diteror oleh kemampuan mata batin yang terbuka. Ran Yuki berupaya lari dari kehidupan para Indigo dan kembali menjalani kehidupan normalnya. Namun, hal itu tak semudah yang dibayangkan. Dia mengalami berbagai cerita perih, romansa cinta, pengorbanan, hingga mengorek asal usulnya yang mengejutkan.
Aku berdiri bersama kurang lebih 200 orang di sebuah aula besar, dinding ruangannya tertutup oleh gorden raksasa berwarna Merah. Ya, kusebut gorden raksasa karena panjangnya setara tinggi bangunan ini. Mungkin sepuluh meter. Di sepanjang sisi berdiri mahasiswa yang kebanyakannya laki-laki, mengenakan jas hitam dan kemeja putih, seperti sedang mengawasi kami yang berada di tengah-tengah.
Di panggung paling depan ada empat pria lanjut usia yang kuduga adalah dosen di sini. Di belakang empat pria tua itu, ada orang orang lagi yang sedikit lebih tua dari kami. Salah satunya sedang berbicara memakai pengeras suara.
"Kalian merasa gugup? Aku juga mengalami ketegangan yang sama saat menjadi mahasiswa baru tiga tahun yang lalu. Itu hal biasa, tapi jangan biarkan kegugupan kalian membuat kalian mundur dari orientasi ini.'' Pria yang memakai microphone berjalan ke depan. Matanya mengitari barisan mahasiswa baru di paling depan dan tengah.
Suaranya besar dan pembawaannya yang santai, dengan berani unjuk diri di depan orang banyak, sungguh rasanya aku sedang berada di level yang belum pernah kurasakan sebelumnya.
Gugup, sejak tadi aku sudah gugup mengetahui orientasi dilakukan hari ini juga. Kupikir, kami hanya mengumpulkan beberapa berkas kelengkapan dan melakukan pendaftaran untuk memasuki asrama.
Boleh jujur, aku tidak siap mental. Namun, apa boleh buat, dengar-dengar orientasi adalah penentu untuk memasuki asrama. Bagaimana jika aku gagal? Masalahnya, flat lamaku sudah kutinggalkan. Dan uang dipositnya untuk biaya kuliah.
Pokoknya aku harus berhasil mendapatkan satu kamar asrama. Aku harus menganggap ini hidup dan mati.
Aku mengepalkan kedua tangan meningkatkan semangat.
Kedua tangan kuturunkan saat pria di panggung melihat ke arahku. Aku merasakan aura yang kuat dari tatapannya. Setiap mahasiswa di sini memiliki wajah yang tegas, tidak seperti orang biasanya. Hal itu membuatku merasa ciut.
''Seperti tahun-tahun sebelumnya, kalian akan diterima menjadi mahasiswa baru, jika dapat menemukan kunci kamar asrama. Kunci itu telah kami sebar di hutan, jumlahnya lebih dari 300 jenis. Dan 200 diantaranya memiliki level. Jika gagal menemukan kunci selain tidak bisa mengikuti program asrama, kalian akan berada dalam daftar pertimbangan untuk dikeluarkan dari daftar mahasiswa baru."
"Aku baru tahu kalau ada orientasi asrama yang seperti ini. Aduh! Perutku jadi sakit," Aku bergumam sambil menjalin jari jemari di depan perut. ''Kira-kira seperti apa orientasinya, ya? Melihat wajah mahasiswa baru lainnya, aku dapat merasakan kecemasan mereka.''
Suara napas berembus di sampingku. Sakura tampak berkeringat dingin. Dia lebih buruk dari kondisi mentalku. Apa yang dipikirkannya sampai sebegitunya?
"Kasus tahun lalu, ada sepuluh orang yang keluar di tengah-tengah orientasi. Dan anehnya, mereka amnesia secara bersamaan. Aku takut ... kejadian serupa terulang lagi tahun ini.''
''Hah, apa yang terjadi pada mereka? Lalu, apa pihak universitas bertanggung jawab atas kejadian itu?'' aku bertanya.
Sakura menggeleng. ''Itu bagian dari konsekuensi kegiatan ini. Setiap mahasiswa baru yang datang kemari sudah menyetujui perjanjian dengan universitas. Kamu tidak tahu soal itu?'' Sakura menatapku bingung.
Aku mengerutkan kening lebih bingung darinya. Aku mengalihkan mata, ke atas ke bawah sambil berpikir. [ Kapan ada perjanjian seperti itu dan ... aku tidak merasa menandatangani dokumen apa pun? Apa aku melewatkan sesuatu? ]
''Sejujurnya, aku tertarik bersekolah di sini semenjak mendengar cerita dari ibuku. Tahun ini angka pengangguran meningkat, kata ibuku anak temannya setelah lulus langsung bekerja di kampus ini dan beberapa membangun usaha sendiri dengan izin dari pihak kampus. Sekarang usaha yang didirikannya menjadi cabang dari salah satu divisi di kampus. Karena masih sangat sedikit yang mengambil kuliah seperti ini, kupikir akan mudah karena tidak banyak saingan kerjanya." Sakura bercerita panjang lebar, yang menjadi pengetahuan baru untukku.
''Ah, begitu. Di antara kalian rupanya hanya aku yang mendaftar tanpa melihat profil lengkap kampus ini. Aku terlalu menganggap enteng semuanya. Tak kusangka, ini menjadi lebih serius.''
Takut tidak sempat mendaftar, cuma dua kampus yang kupilih untuk mendaftar lantaran ada asrama gratisnya.
"Ouh! Benarkah? Kalau begitu, apa kamu tahu kalau bus yang tadi kamu pakai kemari milik sekolah ini?" Sakura bertanya.
"Eh, sungguh?" Aku terkejut lagi. "Kupikir itu bus umum, ah ... pantas saja semua penumpangnya mahasiswa dan mahasiswa baru." Aku kembali membayangkan saat pertama kali memasuki bus dan sedikit kagum bercampur aneh karena hampir semua penumpangnya berpakaian serba hitam.
''Bagaimana mereka tahu kalau yang jadi penumpang adalah mahasiswa baru? Pak supir itu langsung menjemput di halte bus dekat tempat tinggalku loh." Aku berbisik.
"Ajaib, kan? Ha ha ha," timpal Sakura. "Mereka mendeteksi barcore milik mahasiswa baru, lalu menjemput ke tiap tempat tinggal terdekat. Badan Bus itu sudah ada logonya, jadi masyarakat tidak akan sembarangan masuk ke sana."
Semua terasa asing saat coba kupahami.
"Barcode?" Aku mengingat-ingat kembali, "Ah! Barcode waktu itu, dikirim oleh kurir pukul 2 dini hari, kan?" Aku bicara sambil memijat bibir yang gatal.
"Ouh! Kamu mendapatkannya pukul 2 malam? Wow, apa yang terjadi setelah itu?" Sakura menatapku, wajahnya menggambarkan rasa penasaran yang tinggi.
Kebingunganku bertambah setelah dipikir-pikir, pertanyaan Sakura seakan tahu apa yang terjadi saat itu. Aku hanya menggeleng, menyembunyikan fakta setelah paket dengan barcode itu kuterima, memang ada kejadian menyeramkan sesudahnya. Yang mengiringi kematian seorang kerabat dari pemilik salah satu flat dan sampai saat ini diduga bunuh diri.
Karena penasaran dengan pertanyaan sakura, lantas kutanyakan kembali padanya, "Kamu dapat kiriman barcode itu pukul berapa?"
"Pukul 10 malam," jawabnya santai.
"Memang biasanya apa yang terjadi jika menerima barang melewati tengah malam? Tadi kamu bertanya apa yang terjadi padaku setelah pukul 2 dinihari," aku menatapnya serius, menuntut jawaban.
"Dengar-dengar, pukul 2 menjadi waktu favorit bagi hantu untuk berkeliaran dengan nyaman. Mereka umumnya menyerang dan membuat mahasiswa baru melakukan bunuh diri sebelum hari perekrutan, seperti perekrutan hari ini."
Aku pun terdiam mendengar kalimat terakhirnya. Sampai saat ini aku masih menganggap kalau mimpi buruk itu hanya mimpi, kurasa ada kaitannya dengan penjelasan sakura.
''Mana mungkin,'' aku menyangkal cepat. Jika pun benar, itu berarti pria yang diduga bunuh diri di flatku waktu itu, salah satu calon mahasiswa di sini? Ah, tidak mungkin.
Dari dulu aku tidak menonton film horor karena kupikir tidak ada hantu di dunia ini. Mereka diciptakan atas ilusi otak manusia yang timbul dari rasa tertekan dan stres.
"Hus, hus! Jangan bicara lagi. Mereka sedang mengawasi kalian!" seru seorang pria ceking di sebelah Sakura.
Aku dan sakura menoleh pada beberapa mahasiswa yang memakai seragam hitam dengan kerah model turtleneck. Mereka memegangi kertas kecil dan mencatat sesuatu.
"Wah, gawat! Itu pengawas kedisiplinan," Sakura berbisik sangat hati-hati.
Aku memperhatikan ke depan, pada pria yang menjadi pemandu orientasi ini.
Ia menjelaskan peraturannya sejak tadi, tapi hanya beberapa yang masuk ke otakku. Akibat sibuk bicara dengan Sakura.
"Di dalam kalian tidak boleh berjalan dan mencari kunci itu bersama. Kalau tak sengaja bertemu salah satu dari kalian, kalian harus pergi menjauh. Mengambil kunci lebih dari satu akan kena hukum. Kami mengawasi kalian dari CCTV, jadi ... jangan menganggap kami tak melihat," jelas pria di atas panggung.
Mendengar penjelasannya saja sudah dapat membayangkan, ini akan melelahkan. Mencari 300 kunci tetapi hanya 200 yang memiliki level. Itu berarti, kalau menemukan satu kunci yang bukan salah satu dari 200, aku harus mengulang pencarian lagi? Kurasa seperti itu peraturannya.
Orientasi ini akan memakan waktu yang panjang.
"Di mana ada CCTV dalam hutan? Tidak masuk akal sekali, haha." Dua orang di depan tertawa pelan.
Baru saja aku berpikir begitu.
"Jangan melamun kalau sudah di dalam! Jangan menghampiri orang lain! Kalau mencium tanda bahaya, berlarilah!" Pria di panggung melanjutkan ucapannya.
Sontak semua orang riuh sambil melontarkan pertanyaan yang sama.
"Hah, bahaya? Apa maksudnya?"
"Hei, tolong jelaskan, ada bahaya apa?"
"Kamu harus menjelaskan dahulu. Apa yang kamu maksud bahaya?"
Sembilan orang di atas panggung turun kemudian masuk ke sebuah pintu. Mengabaikan riuh rendah teriakan kami yang sebagian besarnya tidak terima.
<>
Ratusan orang saling membicarakan masalah itu. Mereka mulai menduga-duga, dan menganggap bahwa itu hanyalah gertak agar semua mahasiswa baru tidak melakukan hal aneh di hutan.
Kemudian kami secara bergiliran dipinta mengganti sepatu yang telah disediakan. Sepatu putih, dan bagian bawahnya kesat.
Aku duduk dan memakainya, mengokohkan ikatannya agar tidak mudah lepas.
"Mereka benar-benar bermodal menyediakan sepatu lari." Sakura duduk di depanku.
"Ini sepatu lari?" tanyaku.
"Bagian bawah karetnya tebal dan elastis, cukup nyaman dibawa untuk lari. Ini bisa meningkatkan kecepatanmu."
"Kamu banyak tahu hal beginian," pujiku.
Sakura tertawa kecil, "Hanya menebak saja. Soalnya memang dari karet telapaknya yang tebal dan tinggi."
Sebelum masuk ke ruangan ini, kami disuruh melepas semua hal yang berbau dan berjenis jam, kompas, pengukur waktu, ponsel, benda tajam.
Mungkin agar kami tidak menghitung waktu yang mengakibatkan kepanikan.
Setelah semua orang memakai sepatu yang disediakan, kami berbaris dan diberi air botol untuk bertahan di dalam. Tidak disebutkan berapa lama waktu untuk mendapatkan satu kunci yang asli. Yang benar saja, andai aku tidak bisa membedakan kuncinya, mas Yushimaru akan khawatir kalau aku tidak masuk kerja.
Kupikir hari ini hanya menyerahkan berkas yang diminta waktu itu dan mendapatkan kamar asrama setelah melakukan pendaftaran.
Padahal aku sudah mengatur jadwalku hari ini. Aku harus merelakan satu hari tidak masuk kerja gara-gara kegiatan dadakan ini.
Tiba saatnya kami akan dilepas di hutan. Gorden yang kubilang raksasa di samping kami dibuka, kawan-kawan gordennya bergemerincing menyasar Pelang besar di langit-langit. Begitu di buka, tampaklah lima pintu cokelat yang masing-masing berjarak 1 meter. Aku dan beberapa lainnya menoleh ke belakang, gorden di sana juga di buka sehingga muncul pula lima pintu.
Dua ratus orang ini pun terbagi menjadi 2 sisi, sisi kami menggunakan lima pintu di depan kami, dan yang lainnya di belakang.
Setiap satu baris orang masuk ke lima pintu itu, ada jeda 2 menit. Mungkin agar kami tak saling bertemu. Baris berikutnya masuk ke lima pintu itu. Sampai saatnya giliranku. Aku menggenggam tangan Sakura. Dia sama gugupnya denganku, tangannya dingin dan gemetaran. Dia masuk lewat pintu di belakangku. Kami terpisah.
Pintu yang berada di depan, begitu kutarik berderit lantang. Baru satu langkah besar berada di dalam, aku terperangah memandangi langit nan sendu dan mendung, tebal oleh awan sehingga ini terasa seperti pukul 6 pagi.
Aku berbalik pada pintu masuk dan sengaja tetap diam di sana, tetapi tak ada yang membuka pintu itu. Ini aneh! Harusnya setelah aku ada seorang lagi yang masuk ke sini.
Pandanganku lurus ke depan. Kakiku seakan dipaku di tanah. Sehingga terasa berat untuk digerakkan. Ada sebuah jalan lurus membelah hutan, jalan itu tidak beraspal. Di tengah berdiri seseorang yang menatapku.
Aku berkedip-kedip, dan saat itu tidak ada yang terlihat. Bola mataku bergerak-gerak menemukan orang itu, tetapi nyatanya aku sendirian.
"Aku mulai berhalusinasi."