webnovel

3. When Someone Knows.

Aku adalah siang. Kamu adalah malam.

Harusnya kita senang dipertemukan saat senja.

Tapi senja itu, aku sangatlah resah.

Hingga saat malam datang, bukan kamu lagi malam itu.

Melainkan hanya langit gelap sejuta bintang.

Indah memang, tapi tak bermakna sama sekali.

~Kim Theo.

***

Satu bulan setelah malam itu, Theo mengutuk dirinya sendiri. Pagi ini dia menerima hasil testpack yang diberikan Hanna padanya. Wanita itu telah hamil dan Theo sadar kalau anak yang dikandung Hanna adalah hasil perbuatannya.

Sebulan yang lalu saat Theo bangun di keesokan paginya, dia sungguh sangatlah terkejut melihat dirinya yang tidur bersama Hanna yang sedang menangis di sampingnya. Keadaan mereka sedang sama-sama tanpa busana.

Belum lagi dia harus menghadapi rasa kecewanya Arin karena malam itu Theo tidak pulang ke rumah. Tentu Theo tidak menceritakan yang sebenarnya. Dia membuat alibi jika dia harus terbang ke Jepang malam itu juga karena ada urusan mendadak.

Sebulan ini Theo menyembunyikan kesalahannya dari Arin. Arin sama sekali tidak tau kalau suaminya telah mengkhianatinya.

Sekarang keadaan Theo berantakan. Ruangannya kacau karena diberantaki olehnya sendiri. Theo berakhir duduk di sofanya dengan napas penuh amarah. Pria itu menjambak rambutnya sendiri.

Theo menyumpahi dirinya. Dia benar-benar bodoh, tolol, idiot. Bisa-bisanya dia melakukan hal seperti itu dengan sekretarisnya.

"Pak." Hanna yang baru masuk ke dalam ruangan tersebut memanggil. Dia terkejut mendapati ruangan bosnya sekacau ini. "Saya tau bapak tidak bisa menerima saya. Saya bisa menjaga calon anak saya sendiri. Bapak tidak perlu khawatir."

Theo mendengus, mengambil jasnya. "Saya tidak boleh mengabaikanmu. Saya akan bertanggung jawab," ucapnya seraya pergi dari ruangan tersebut.

Theo masuk ke dalam mobilnya tetapi tidak menyalakannya. Pria itu memilih membanting kepala ke stir kemudi. "Dasar bodoh!" umpatnya untuk kesekian kali.

Theo tidak bisa menyampaikan ini pada Arin. Bagaimana cara Theo meminta izin pada Arin kalau wanita itu harus bersedia dipoligami?

Dan sekarang Theo tidak berani untuk pulang.

Tring!

Ada sebuah pesan masuk ke dalam ponselnya. Theo memeriksa.

Mine

| Sayang, ingat kan ini hari apa? Kamu harus cepat pulang ya

Theo tentu tidak lupa. Ini adalah hari pernikahan mereka yang ke tiga tahun. Oh, god! Cocok sekali Theo dicap sebagai laki-laki paling brengsek sedunia.

| Ada restoran mewah yang baru buka loh. Malam ini sewa untukku yaaa

Theo menghempaskan kepalanya ke belakang. Bisa tidak dia menghilang dari dunia sekarang juga? Theo sungguh tidak bisa melewati masalah ini.

***

Hari sudah malam. Seperti maunya Arin tadi siang, Theo menyewa seluruh restoran untuk acara makan malam mereka merayakan hari pernikahan. Mereka makan malam di rooftop restoran sambil merasakan sejuknya malam.

"Coba tutup mata kamu," perintah Theo.

"Ada apa?" tanya Arin.

"Tutup dulu."

Arin menutup matanya.

"Sekarang, buka."

Arin membuka matanya. Wanita itu terkesima melihat kue tart besar yang dipegang Theo beserta lilin yang menyala berangka tiga. Di sisi lilin itu ada sebuah kotak merah yang terbuka menampilkan sebuah kalung liontin.

"Wah, indahnyaaaa."

"Happy anniversary, sayang...," ucap Theo dengan senyuman namun tanpa diketahui Arin, Theo menyimpan kepedihan sendiri di dalam dirinya.

"Happy anniversary too."

"Ayo kita tiup lilinnya sama-sama."

"Ashiaaap."

"Satu..., dua..., tiga...."

Mereka sama-sama meniup lilin tersebut. Setelahnya Arin bertepuk tangan meriah.

"Ayo kita potong kuenya!" Arin merebut kue yang masih Theo pegang. Ia meletak kue itu di atas meja lalu memotongnya.

Arin begitu senang malam ini. Theo tidak sanggup mengecewakan gadis itu.

"Kue pertama untuk orang yang sangat spesial bagiku, Direktur Kim Theo." Arin menyuapkan sepotong kue pada Theo. Theo menerimanya dan balas menyuapi Arin.

Mereka adalah pasangan yang serasi. Sangat serasi. Tetapi kenapa bisa berakhir seperti ini?

Selesai makan malam, Theo bernyanyi sebuah lagu dengan piano sedangkan Arin duduk di atas piano sambil memegang setangkai mawar.

What would I do without your smart mouth?

Drawing me in, and you kicking me out.

You've got my head spinning, no kidding, I can't pin you down.

What's going on in that beautiful mind?

I'm on your magical mistery ride.

And I'm so dizzy, don't know what hit me, but I'll be alright.

My head under water but I'm breathing fine.

You're crazy and I'm out of my mind.

Cauze all of me loves all love you.

Love your curves and all your edges.

All your perfect imperfections.

Give your all to me I'll give my all to you.

You're my end and my beginning.

Even when I lose I'm winning.

Cause I give you all of me and you give me all of you.

"Malam yang sangat indah," puji Arin saat instrumen musik dari tuts piano yang Theo mainkan. "Aku berharap, gak ada yang akan memisahkan kita sampai selamanya. Aku berharap setiap hari aku selalu melihat wajahmu tersenyum, sayang. Kalau harapanmu apa?"

Theo menghentikan permainan pianonya tiba-tiba. Pria itu menunduk, menahan gejolak penyesalan yang berteriak di dalam dirinya.

"Theo...." panggil Arin. Arin menoleh pada Theo yang diam saja. "Sayang, kok melamun?"

"Ah?" Theo tersadar. "Ngg, nggak kok. Aku lagi mikir."

"Mikir apa?"

Theo tersenyum. Dia berdiri mendekati Arin. Tangannya ia letak di sisi kiri dan kanan Arin, mengunci Arin yang masih duduk di atas piano. Wajahnya mendekat. Katanya, "Aku berpikir harapan apa lagi yang harus aku minta jika kamu selalu berada bersamaku. Aku gak butuh apa-apa lagi asal apa pun yang terjadi kamu akan tetap ada untukku. Berjanjilah kamu gak akan meninggalkanku."

Senyum Arin merekah. "Tentu. Aku akan selalu ada untukmu. Seorang istri memang gak boleh meninggalkan suaminya apa pun masalahnya. Aku gak akan meninggalkan kamu, sayang."

Theo membalas senyum Arin. Dipeluknya wanitanya dengan erat. Theo berbisik dengan lembut pada Arin, "Aku cinta sama kamu."

"Aku juga cinta sama kamu."

Apa yang telah Theo lakukan? Dia telah menabur racun di antara cinta mereka. Dan Theo belum mengatakan masalah itu pada Arin.

Malam ini terlalu indah. Theo tidak sanggup merusaknya begitu saja. Lebih baik besok saja Theo menjelaskannya.

***

"Pak, tolong tanda tangan di sini." Hanna meletak dokumen yang ia pegang di atas meja Theo. Theo mengambilnya, membaca sekilas sebelum menandatanganinya. "Saya akan membacakan schedule Bapak selama seminggu ke depan-"

"Kosongkan semua."

"Maaf, Pak?"

"Saya bilang kosongkan waktu saya selama seminggu ke depan."

"Kenapa, Pak?"

Theo mendengkus. Ia menatap ke depan dengan datar. "Seminggu cukup meminta restu dan melangsungkan pernikahan saya dengan kamu, kan?"

"O-oh itu.... Saya rasa juga cukup, Pak." Hanna mengambil dokumen yang ia serahkan tadi.

"Pulang bekerja nanti saya ingin kita menemui istri saya."

"Baik, Pak."

***

Saat jam makan siang Hanna membeli permen di minimarket namun saat membayar, Hanna kebingungan karena tak menemukan dompetnya di saku rok. Padahal seingat Hanna sudah ia bawa tadi.

Tiba-tiba datang seseorang yang menyela untuk membayar di kasir. "Ini, Mbak. Sekalian punya Nona ini."

Setidaknya Hanna bersyukur karena tidak menanggung malu. "Makasih. Nanti akan saya gan-" Ucapan Hanna menyangkut di ujung tenggorokan ketika ia melihat siapa yang telah menolongnya barusan.

Juno tersenyum miring menatap wanita yang terperangah di depannya. "Aku akan menunggumu di kafe untuk mengganti uangku. Sampai nanti," katanya kemudian berlalu.

Hanna mengambil dompetnya lebih dulu kemudian menemui Juno di tempat yang pria itu katakan tadi. Begitu sampai di meja yang Juno tempati, Hanna langsung menyodorkan uang pada Juno.

Hanna ingin pergi tetapi Juno menahannya. "Duduklah sebentar. Ada hal penting yang ingin aku bicarakan."

Segera Hanna menepis tangan Juno. "Bukankah hubungan kita sudah selesai? Apa lagi yang ingin kamu bicarakan denganku?"

Juno tertawa geli. "Ini bukan tentang kita. Aku hanya ingin menjelaskannya padamu. Apa yang kamu lakukan pada Theo itu salah. Theo sudah beristri. Gak seharusnya kamu meminta dia bertanggung jawab atas sesuatu yang yang bukan kesalahannya."

Hanna melihat seisi kafe ini. Untung saja sepi dan luas jadi percakapan mereka tidak akan ada yang mendengar. "Oh, jadi kamu sudah tau kalau aku dan Theo akan menikah? Lalu apa hak kamu untuk melarang? Kamu bukan siapa-siapaku lagi. Kamu yang mengakhiri hubungan kita karena kamu nggak mau tanggung jawab sama anak yang aku kandung-"

"Aku nggak bertanggung jawab karena itu bukan anak aku! Siapa yang tetap mau berpacaran ketika tau kalau pacarnya hamil dari sembarang orang? Wajar aku mutusin kamu, karena kesalahan kamu sendiri."

"Kalau begitu jangan ikut campur lagi. Aku memang hamil bukan dari kesalahan Theo, tetapi aku dan Theo juga telah melakukan kesalahan." Hanna mendekatkan wajahnya pada wajah Juno, menatap pria itu lebih tajam lagi dan berkata, "aku dan Theo sudah melakukan sex, dan dia menyukainya."

Juno berdecih. "Kamu pikir aku percaya? Aku mengenal Theo dengan baik. Dia nggak akan menyukai wanita lain selain istrinya. Sampai kapan pun nggak akan pernah. Dan aku nggak akan membiarkan dia jatuh ke tangan wanita jalang sepertimu!"

"Oh iya? Kamu punya bukti apa? Pembelaanmu hanya akan menghancurkan pertemanan kalian. Theo tau kalau dia pernah melakukan itu denganku. Jadi apa pun yang akan kamu jelaskan kepadanya, dia nggak akan pernah mempercayaimu." Hanna menegakkan tubuhnya kembali sambil mendengus geli. "Tapi kalau kamu tetap mau mencobanya, silahkan. Aku gak takut."

Setelah mengatakan itu Hanna pun meninggalkan Juno. Tetapi Hanna tidak tau, setelah kepergiannya Juno berdecak panjang. "Saya memang akan mencobanya, tapi saya ragu kalau Anda tidak akan takut, Sekretaris Jung," ucapnya bermanalog. Juno melepas alat perekam kecil yang ia lekatkan di dasinya sedari tadi kemudian mengakhirinya. "Mulutmu, adalah harimaumu," sambungnya lalu.

***

Jungkook menekan bel rumah yang saat ini ia kunjungi. Bukan tanpa suatu alasan, Juno ke sini karena ia yakin Hanna tidak akan membiarkannya bertemu Theo di kantor. Jadinya Juno ke rumah Theo langsung. Juno harus menyampaikan bukti kejahatan Hanna padanya.

Kebetulan Arin baru ingin keluar rumah. Begitu Juno menekan bel rumah, jadilah Arin yang membuka pintu.

'Lihatlah Na, rencana kamu akan segera bera-'

Deg!

Pria itu mendadak diam seribu bahasa. Arin yang membuka pintunya, tapi bagi Juno yang membuka adalah seorang bidadari. Sangat cantik. Sungguh. Seketika lidah Juno kelu melihat wanita cantik yang tengah menatap padanya. Seakan ada bunga-bunga mengelilinya. Tapi... wanita ini, seperti bukan orang asing. Juno yakin dia pernah mengenal-

"Juno?" Arin berseru tidak percaya. "Jeon Juno, kan? Aku gak salah orang, kan?" Wajah Arin berubah antusias.

-Arin.

"A-Arin? Ja-jadi kamu me-menjadi istri Direktur Kim?"

"Kamu kenal sama suami aku?"

"I-iya."

"Oh iya, ayo masuk!" ajak Arin mempersilahkan Juno masuk ke rumahnya. Mereka berjalan ke ruang tamu. "Kamu mau bertemu Theo, ya? Tapi dia masih kerja. Sebentar lagi pulang sih. Kamu tunggu aja, ya."

Juno membalas ucapan itu dengan senyuman.

"Silahkan duduk."

Juno mengikuti ajakan Arin.

"Aku kangen sama kamu," rengut Arin. "Semenjak keluar dari panti asuhan kamu gak pernah berkunjung lagi ke sana."

"Maaf ya. Orang tua angkat aku langsung bawa aku ke luar negeri saat itu. Tiga tahun kemudian baru balik lagi ke sini. Setelahnya aku canggung mau ke sana. Aku takut semua orang di sana sudah lupa sama aku."

"Hahaha, mana bisa sih aku lupa sama kamu."

Juno tersenyum lagi. Tapi senyumnya tidak sedang terlihat bahagia, mungkin terkesan malu. Malu dan mencoba memaklumi fakta yang lima menit lalu ia ketahui.

Lima belas tahun yang lalu mereka adalah teman di Panti Asuhan Athy. Keduanya tinggal di sana.

Ya, baik Arin maupun Juno, mereka tidak lagi memiliki keluarga sedari kecil.

Empat tahun berteman, Juno mendapat keluarga baru. Ia harus pergi meninggalkan Arin. Arin sedih kala itu. Hanya Juno temannya di panti. Semenjak kepergian Juno, Arin kebanyakan murung.

"Sejak kapan kamu nikah?" tanya Juno mencoba mengangkat kepalanya yang tadi hanya menunduk.

"Tiga tahun yang lalu. Kamu sudah nikah?"

Juno menggeleng.

"Kenapa? Padahal kamu ganteng gini masa gak laku-laku? Mau jadi simpanan aku gak?"

Tawa Juno pecah, begitu pula dengan Arin setelahnya.

"Bercanda," sambung Arin.

Seorang asisten memberi mereka minum. Juno menyampaikan terima kasih pada bibi tersebut. Arin ikut tersenyum melihat Juno yang tersenyum pada asistennya.

"Kamu kenal dengan Theo dari mana?" tanya Arin.

"Aku dan dia bermitra. Kami sudah dekat tapi selalu ada halangan saat aku ingin bertemu dengan istrinya. Sekarang aku sudah bertemu, dan aku sangat terkejut mengetahui istrinya adalah kamu."

"Dunia ini memang kecil, ya."

"Iya."

Arin tidak peka. Dia tidak menyadari raut wajah atau nada suara dari lawan bicaranya ini kecewa. Juno pikir suatu saat jika ia dipertemukan dengan Arin lagi, mereka akan mendapatkan kesempatan untuk dekat kembali. Dekat seperti dulu, bahkan berharap lebih.

Di saat dua insan itu saling melempar senyum satu sama lain, ada sepasang mata yang menatapnya tidak suka.

Istrinya sendiri pun jadi tidak menyadari kepulangannya.