webnovel

2. When Trouble Come.

Arin sedang menyiapkan pakaian yang akan dipakai Theo ke kantornya sementara pria itu sedang mandi. Selagi menunggu Theo selesai mandi, dia turun ke bawah untuk menyiapkan sarapan. Di rumah mereka hanya ada tiga pekerja dan satu satpam. Arin biar manja begitu, dia termasuk istri yang raSandro .

Tiga pekerja itu ialah tukang kebun, dan dua lagi bersih-bersih rumah. Setiap masak Arin dibantu dengan satu pekerja. Tidak setiap hari sih Arin masak, tapi hari ini dia sedang good mood.

Setengah jam berlalu meja makan sudah dipenuhi oleh makanan-makanan yang enak. Arin puas menatap hasil masakannya.

"Pagi, sayang." Theo menyapa ketika baru turun dari kamarnya.

"Sayang, lihat! Tadaaaa~" Arin menunjukkan meja makan pada sang suami.

"Wah, banyak banget menunya hari ini."

"Iya dong. Untuk suami aku yang tercinta. No udang-udang club."

Theo tertawa sebelum mengecup puncak kepala istrinya. "Makasih ya, sayang. Ayo kita sarapan."

Theo membukakan kursi untuk Arin, setelah Arin duduk baru Theo mengambil tempat duduk di hadapan Arin.

"Hari ini kamu pulang jam berapa?" tanya Arin menyendokkan nasi untuk Theo lebih dulu.

"Oh iya, maaf ya sayang nanti malam aku harus menghadiri acara peresmian salah satu klien besarku. Kamu makan malam sendiri ya."

"Yah.... Harus banget datang ke acara itu?"

"Maaf, ya."

"Iya, nggak apa-apa. Tapi kamu gak pulang lewat jam sebelas malam, kan?"

"Nggak, kok."

"Kalau gitu aku tunggu di rumah, ya," ucap Arin dengan antusias. "Aku gak bisa tidur kalau nggak dikelonin kamu."

"Iya. Cuma dikelonin, kan?"

"Hehehehehehehe." Arin menyengir penuh misteri. Theo geleng-geleng kepala menghadapi istrinya ini.

Setelah selesai sarapan, Arin meletak piring kotor ke dalam wastafel dan Theo mengganti sandal rumahnya dengan sepatu.

"SAYANG, LIHAT DASIKU NGGAK?!" teriak Theo dari ruang tamu.

"Duh, kamu letak di mana memang tadi?" tanya Arin yang baru saja datang dan langsung membantu mencari.

"Seingat aku, aku letak di sini, di samping tas aku."

"Kalau di sini berarti memang di sini, tapi nyatanya gak ada. Itu berarti kamu lupa. Coba aku cari di kamar, ya." Arin pergi ke kamarnya untuk mencari benda yang Theo hilangkan hampir setiap hari itu.

Benda tersebut ternyata ada di atas tempat tidur. Dasar Theo!

Arin kembali turun untuk memberikannya pada Theo. "Ini, Theo. Di kamar pun," kesal Arin.

"Iya ya? Tapi aku ingat banget loh tadi aku letak di sini."

"Ckckck." Arin geleng-geleng kepala. Theo menyengir.

Arin mendekat untuk memasangkan dasi pada Theo. Theo memerhatikan wajah Arin yang serius. Arin kalau serius melakukan sesuatu jadi kelihatan lucu.

Theo melingkarkan tangannya di pinggang Arin dengan erat hingga mengikis jarak di antara mereka.

"Aduh, Theo, jangan banyak gerak dulu."

Jahil, Theo meniup-niup poni Arin yang pendek di atas alis mata.

"Theo!" Arin kesal. Dia menggeleng-geleng untuk memperbaiki bentuk poninya sedangkan tangannya masih memasang dasi. "Sudah, selesai."

"Makasih. Aku berangkat, ya." Theo mengambil tasnya.

"Sayang...," rengek Arin.

"Apa lagi?"

"Soon-nya manaaaa?"

Theo menahan tawanya. Dia memang sengaja tidak memberikannya karena Theo mau Arin yang meminta.

Theo memeluk pinggang Arin lagi dengan posesif. "Mau di mana? Pipi? Dahi? Hidung? Mata? Atau bibir?"

"Semuanya!" rakus Arin.

"Pilih salah satu."

"Aku mau semuanyaaa." Arin memegang kedua bahu Theo.

"Dasar rakus!"

"Biarin! Daripada aku minta sama suami orang lain?"

"Heh!"

"Makanya semuanya."

Theo menempelkan dahinya di dahi Arin. Senyum mereka sama-sama terukir. Theo memaju-majukan bibirnya. "Duh, gak sampai. Gimana dong?"

"Ck, Theo!"

"Beneran. Gak sampai. Lihat nih, huh!" Theo kembali memajukan bibirnya tetapi tidak sampai ke bibirnya Arin.

Kesal, Arin menarik belakang kepala Theo sampai bibir mereka dapat bersentuhan. Theo melumat bibir Arin dengan perlahan. Menyesap bibir itu bergantian antara atas dan bawah. Pun Theo semakin mengeratkan pelukannya di pinggang Arin.

Setelah keduanya hampir kehabisan napas, ciuman itu terlepas namun jarak keduanya masih sangat dekat. Ujung bibir mereka masih tersentuh dan mereka sama-sama mencari oksigen. Arin maju, kembali mencium Theo. Dia tidak mau kalah, dia ikut melumat bibir Theo juga. Kakinya berjinjit agar ciuman mereka semakin dalam.

"Sayang...," ucap Theo di sela ciumannya.

"Hm?"

Theo menarik tubuh Arin agar melepas ciuman tersebut. Arin memandang cemberut Theo.

"Sudah hampir jam delapan. Aku harus berangkat. Kita sambung setelah aku pulang, ya." Theo menangkup wajah Arin lalu menciumi kening, kedua pipi, hidung sampai mengecup bibir itu sekali lagi. "Aku berangkat, ya. I love you," ucapnya lalu mengacak rambut Arin sebelum beranjak pergi.

Arin tersenyum, melambai pada Theo. "I love you too...." Menunggu Theo sampai pulang kerja bukanlah hal yang berat. Yang penting Theo sudah janji setelah pulang kerja.

***

Theo baru sampai di hotel tempat perayaan itu dilangsungkan bersama dengan Hanna pukul setengah delapan malam.

"Direktur Kim!" Seorang pria bersetelan jas putih itu bernama Juno. Dia lah yang melangsungkan acara ini. "Akhirnya Anda datang juga." Mereka berjabat tangan.

"Maaf jika saya terlambat."

"Oh belum kok. Acaranya belum dimulai." Juno melirik Hanna. "Selamat malam, Sekretaris Jung."

"Malam, Pak," balas Hanna sopan.

"Senang bisa bekerja sama dengan Anda." Juno kembali berbicara pada Theo.

"Ayo kita berkumpul dengan yang lain," ajak Theo.

"Ayo!"

Setelah acara tersebut dimulai, Theo mengajak bicara beberapa klien besarnya dari beberapa negara. Pria itu menggunakan banyak bahasa dari luar yang berhasil ia kuasai.

"Saya permisi sebentar, Pak," izin Hanna berbisik pada Theo. Theo mengangguk barulah Hanna beranjak pergi.

Hanna mengambil satu gelas jus melon dari waiters. Diam-diam ia menabur bubuk obat ke dalamnya. Hanna berjalan membawa jus tersebut.

"Minum dulu, Pak." Hanna menyerahkan jus tersebut pada Theo. Theo asal menerimanya saja. Kebetulan dia memang haus karena telah banyak bicara jadi pria itu meminumnya.

Hanna memasang senyum jahatnya tanpa seorang pun yang tau.

Sepuluh menit kemudian Theo mulai merasa risih. Berulang kali ia mengusap tengkuknya, pikirannya juga tidak bisa berkonsentrasi lagi.

"Saya permisi." Alhasil Theo pergi dari kerumunan tamu. Dia merasa ada gejolak aneh dari dirinya, juga dia merasa gerah.

"Pak, ada apa?" Hanna mengejar Theo yang pergi ke sebuah lorong yang sepi. "Pak Theo!"

Theo mengabaikan Hanna. Pria itu menarik dasinya hingga berantakan. Dia sungguh gerah sekarang ini.

"Pak Theo!" Hanna menarik tangan Theo sampai pria itu berhenti dan menghadap Hanna.

Hanna tau obatnya sudah mulai bekerja. Dia hanya perlu melakukan satu hal. "Pak, sebaiknya Bapak istirahat di salah satu kamar hotel. Ini. Yang ini saja, Pak." Kebetulan di samping mereka ada sebuah kamar. Hanna membuka pintu tersebut dan menyuruh agar Theo masuk.

Theo mengikuti usulan Hanna. Dia masuk ke kamar tersebut, duduk di tepi tempat tidur.

Hanna mengunci pintu kamar lalu duduk di samping Theo, menarik tengkuk Theo agar menghadapnya. "Pak, apa terjadi sesuatu?" tanyanya.

Theo menepis tangan Hanna kemudian dia membuka jasnya sambil berkata, "Saya merasa sangat gerah." Napas Theo pun mulai memburu sambil penglihatannya mulai kacau.

Tentu saja, Pak, karena saya telah mencampurkan obat perangsang di minuman Anda, batin Hanna.

"Pak, sebaiknya bapak istirahat," ucap Hanna seraya mendekatkan tubuhnya pada Theo, membungkukkan tubuh memamerkan payudaranya yang terekspos. "Saya akan menjaga Pak Theo."

"Lepaskan!" Theo kembali menepis tangan Hanna saat wanita itu meraba tubuhnya lagi. "Saya mau pulang saja," katanya lalu berdiri.

"Theo...." Hanna membuat suara merengek seperti khasnya Arin saat memanggil namanya.

Theo membalik menghadap Hanna lagi. Sial, pandangannya berbayang dan buram-buram sekarang yang ia lihat bukan Hanna lagi melainkan Arin.

"Sayang...." Hanna merengek lagi.

"Arin." Theo mendekati Hanna. "Arin, tolong aku. Aku mohon."

"Aku akan menolong kamu. Ayo berbaring." Hanna menarik Theo sampai Hanna berbaring dan Theo yang berada di atasnya. Hanna melingkarkan tangannya di leher Theo dan meraup bibir Theo dengan bibirnya.

Theo lepas kendali. Dia turut membalas ciuman Hanna. Pria itu kalut, tidak tau dengan siapa dia melakukannya malam ini. Dia tidak sadar kalau perbuatannya bisa mengakibatkan masalah yang sangat besar.

Sedangkan di rumahnya, Arin sedang menunggu kepulangan Theo.