Semenjak hari itu, hari dimana dia tiba-tiba mendeklarasikan kalau aku dan dia sudah ditakdirkan dan direstui orangtuanya sebab nama kami yang kebetulan 'sedikit' sama, dia jadi seperti punya radar keberadaanku, bukannya aku ge-er tapi dia seperti ada dimana-mana dan memperhatikan dari jauh, kadang aku risih juga dibuatnya.
Oh iya! Aku lupa bilang kalau hari itu saat dia berkata akan telepon, sebenarnya dia tidak meneleponku sama sekali sampai hari ini, aku jadi tidak mau memikirkan omongannya lagi karena sepertinya dia adalah orang yang suka bicara spontan untuk kemudian lupa apa saja yang dia pernah katakan, buktinya selama tiga hari ini dia tidak juga menghubungi ku dan hanya memperhatikan ku dari jauh, kutebak dia lupa dengan omongannya tempo lalu.
Yaah ... bukannya aku berharap juga.
Jam istirahat kedua, Aku dan Dwi memilih duduk di sebuah bangku taman di tengah area sekolah yang teduh, karena di situ tumbuh pohon-pohon yang aku kira usianya lebih dari usiaku, daunnya rimbun dan bikin ngantuk orang yang berada dibawahnya.
Dia? Ada di depan kelasnya sedang ngobrol entah apa dengan Bayu dan beberapa anak yang mungkin saja sekelas dengannya, aku tidak begitu banyak kenal dengan anak-anak sekolahku selain anak sekelasku apalagi yang laki laki, karena pada dasarnya aku ini orang yang lebih suka mesra-mesraan dengan buku dibanding nongkrong kesana-sini.
Dwi menepuk kecil pundakku supaya aku lihat kearah yang dia tunjuk pakai dagunya, itu saat ada kak Laras dan dua orang temannya yang sudah seperti bodyguard menghampiri "Dia" dan ngajak ngobrol. Jangan tanya aku ngobrol apa, karena dari tempatku duduk saat ini tidak kedengaran apa-apa, yang aku tau si cewek-cewek geng kelas 3 itu ketawa-ketawi seperti mereka lagi ngobrol sama pelawak yang lucu sekali.
"Kenapa wi?" Aku tanya begitu karena engak paham maksud Dwi yang menunjukkan adegan itu padaku.
"Lihat tuh, pada sok akrab banget kan, kalau lihat anak baru bening dikit aja langsung begitu tuh! Nyari perhatian."
"Kamu cemburu karena disana ada si Bayu, atau karena mereka deketin anak barunya, Wi?" Kataku.
"Hehehe, tau aja kamu. Gimana sama Bimo Ray? Udah ada perkembangan belum?"
"Perkembangan apa?"
"Ya kenalannya, katanya kemaren mau teleponan."
"Dia gak pernah telepon aku kok."
"Loh! Jadi dia PHP ke temenku?!" kesalnya mewakiliku.
"Aku gak berharap juga."
"Iya tapi kan tetep aja Ray, dia yang udah sesumbar begitu, piye sih!" Alis Dwi tampak sedikit mengernyit, menandakan ada rasa tak senang.
Setelahnya Bayu tiba-tiba datang dengan cepat kearah kami, lalu tanpa basa-basi berkata, "Ray, ada salam tuh dari Bimo, katanya dia lupa kalo enggak punya nomor Hp kamu, mau minta tapi malu katanya, haha. Jadi dia izin mau minta nomer kamu ke aku, boleh gak?" Bayu menyampaikannya dengan raut geli yang kentara.
"Hah? Yaudah kasih aja." lagi pula kenapa juga harus izin dulu begitu?
"Terus, katanya jangan salah paham soal kak Laras dan temen-temannya, dia cuma lagi berbuat baik ke orang yang butuh ngobrol, hahaha." Lagi-lagi Bayu tertawa sendiri ketika menyampaikan pesan dari Bimo untukku.
"Oohh ... iya iya, enggak salah paham kok." Jawabku sekenanya, tapi memang faktanya aku tidak berpikir apapun mengenai hal itu. Terserah dia saja, bukan urusanku juga dia mau ngobrol dengan siapa.
"Terus salamnya?"
"Waalaikumsalam," kataku.
Bayu langsung ngacir lagi setelah bilang nanti pulang bareng ke Dwi, refleks aku jadi terus melihat Bayu yang sedang lari kembali ke depan kelasnya, aku tebak Bayu langsung laporan kalau aku memberi izin perkara nomor ponsel ku tadi karena setelahnya Dia senyum dan menoleh kearahku tiba-tiba, bikin jantungku serasa akan copot, kaget. Jadi aku seketika membuang muka dan benar saja, ponselku terasa bergetar beberapa detik tanda ada pesan yang masuk, ternyata benar dari dia.
>0812xxxxxxxx:
[Makasih...
Nanti malam aku telfon
Kali ini beneran!!]
Tidak ku balas pesannya hanya aku simpan nomornya di ponselku, sepertinya aku merasa kak Laras dan kawan-kawannya tadi memperhatikanku cukup intens, tapi ku putuskan abai, membiarkan orang itu melakukan apa yang ia mau, toh bukan urusanku.
"Astagaaa ... jadi dari kemarin itu dia enggak punya nomor mu toh? Dasar orang aneh, kenapa enggak minta dari kemarin coba?" Dwi ngomong begitu sambil nepuk jidatnya seolah-olah ada nyamuk besar hinggap disana. Aku hanya terkekeh kecil.
--×××--
Jam 08.30 malam aku sedang tiduran di kamar sambil baca novel yang baru ku beli waktu pergi dengan Arif kemarin, aku sudah selesai bikin PR dan sudah mandi tentunya. Sebenarnya aku juga sedang penasaran apa dia bakal benar-benar menelepon atau omongannya itu hanya bentuk dia ingin 'berbuat baik' saja karena sudah terlanjur sesumbar di depan orang banyak?
Tak diduga, sepuluh menit setelah aku mulai bertanya-tanya, ponselku bergetar tanda ada panggilan masuk, dilayar persegi itu tertera nama yang siang tadi baru ku catatkan disana. Sengaja kubiarkan lima detik sebelum kemudian aku angkat, agar tidak terkesan aku menunggu teleponnya karena penasaran.
"Halo." Sapaku setelah ponsel itu melekat ditelinga.
"Benar ini nomernya Araya shofi hasan anak kelas 2 IPA 1 SMA Teladan, yang rambutnya panjang dan senyumnya bagus?" Aku jadi refleks senyum karna dia ngomong begitu.
"Iya benar ini nomernya Araya shofi hasan anak kelas 2 IPA 1 SMA Teladan." Jawabku mengikuti caranya berbicara tadi.
"Yang senyumnya bagus kan?" sahutnya lagi.
"Aku enggak tau, enggak pernah lihat, yang lihat orang lain."
"Ooh, berati benar. Aku yang lihat bagus, suka. Kamu Lagi apa?"
Apa aku sedang digombalin? Hahaha.
"Lagi baca buku."
"Baca buku apa? Udah makan?"
"Novel, belum makan."
"Ooh, mau makan dulu?"
"Ha? Enggak nanti aja, belum lapar." Sahutku cepat, kemudian menyesalinya, kenapa langsung bilang enggak?! Kan kesannya jadi seperti aku ingin ngobrol lebih lama.
"Yaudah ngobrol dulu ya, kalo lapar bilang." Katanya pengertian. Ku kira dia juga ingin bicara di telepon dulu, tapi merasa tidak benar jika dia memintaku menahan lapar hanya untuk ngobrol dengannya. Maka itu ia bertanya lebih dulu. "Iya..." Kujawab singkat saja.
"Kamu ada PR? Udah bikin?"
"Ada, udah bikin tadi abis Maghrib."
"Ooh, rajin." Pujinya tiba-tiba.
"Iya." Entah kenapa aku hanya terus menjawab seadanya tanpa balik bertanya atau apa, mungkin naluri jual mahal dalam diriku itu terlalu kuat.
"Gak mau nanya aku?" Sadar juga dia ternyata.
"Hmm ... nanya apa?"
"Aku pake baju apa misalnya?"
"Emm ... pake baju apa?"
"Apanya? Warnanya?"
"Iyaaaaa."
"Hehehehe ... warna biru, Besok di sekolah banyak-banyak senyum ya," pintanya, lagi-lagi tanpa konteks yang acapkali membuatku sedikit terkejut. Kenapa tiba-tiba jadi minta aku senyum terus?
"Hah, Kenapa? Nanti aku dikira gila lagi senyum-senyum terus."
"Hahahah, kalo gitu pas ketemu aku aja banyak-banyak senyumnya, bagus."
"Dih, ngarep." Celetukku spontan.
"Hahahaha, suratku waktu itu sampai?" Dia tertawa mendengar responku barusan.
"Emm ... iya sampai."
"Hehe, jadi aku boleh suka kamu kan?"
"Kenapa harus izin dulu? Kan perasaan kamu."
"Kalau kamu merasa terganggu karena aku suka jadi enggak enak, kalau kamu bolehin aku suka kamu, aku jadi berani jalan lebih maju lagi buat dekat denganmu."
Aduh, aku harus jawab apa? Sejak kapan orang minta izin buat naksir orang lain?
"Eemm ... iya deh, boleh terserah aja."
"Heheheh, alhamdulillah aku senang. Makasih ya, hehehe." Ini lebih aneh karena dia pakai berterimakasih segala.
"Ketawa terus." tanpa sadar aku jadi ikut senyum-senyum sendiri menghadapi ke-absurd-an orang ini.
"Iya kan senang, jadi ketawa. Udah malam, makan dulu gih, terus istirahat." Sepertinya dia memperhatikan waktu sejak tadi sebab kubilang aku belum makan malam.
"Iya." Sahutku masih konsisten dengan gaya jual mahalku.
"Oke Raya, sampai ketemu besok di sekolah, inget senyum yang banyak, hehehe."
"Hehehe, Iya."
"Met malam Ray." Ucapan selamat malamnya menutup obrolan kami di telepon malam itu. Aku hanya menyahut seadanya tanpa balas mengucapkan selamat malam.
Entah kenapa jadi ikut senang sendiri sampai tanpa sadar sudut bibirku naik tanpa terlihat tanda-tanda akan turun dalam waktu dekat. Kemudian aku langsung ke dapur untuk makan, dan sambil terus senyum-senyum teringat obrolan absurd bersama anak baru tadi sampai tidak terasa aku sudah selesai gosok gigi dan kini bersiap-siap untuk tidur.
Sesaat sebelum tidur, aku sudah di pembaringan dan seperti biasa pikiranku akan mengembara kemana-mana, seringkali sampai tertidur, dan jujur sekarang yang ada pikiranku adalah 'Dia' dan segala keanehannya yang bikin aku takjub, apa mungkin ini efek aku yang belum pernah pacaran?
Tapi aku juga seringkali dengar cerita teman-temanku soal bagaimana mereka mulai berpacaran. Yang biasanya ku dengar mereka hanya diajak jalan ke mall, diajak makan, nonton, lalu setelah itu jadian. Bahkan di novel romantis sekalipun aku tidak pernah menemukan orang yang tindak-tanduknya seperti dia.
Apa aku lebay?
"Ish ... udahlah tidur aja." sambil ku kibas-kibaskan tanganku ke udara untuk menepis pikiran-pikiran yang mulai melantur entah kemana.