Aku baru sampai di sekolah, masih pagi dan masih sepi tapi tumben sekali Dwi sudah datang sepuluh menit setelah ku, biasanya dia selalu datang lima menit sebelum bel masuk berdentang.
Dia memberiku sebuah surat, katanya dari Bimo, jangan heran kenapa dia bisa titip suratnya ke Dwi karena Bayu itu pacarnya Dwi dan Bayu adalah kawan dekatnya Bimo dari mulai pindah ke sekolah ini, bersama satu lagi Akbar, mereka memang kelihatan sering bertiga.
Justru yang aku herankan adalah buat apa dia kirim surat? Bukankah bisa lewat sms atau telepon, kurasa ini bukan masanya surat-suratan seperti tahun 70-an. Rasanya seperti norak sekali waktu itu ku pikir, padahal kalau diingat-ingat lagi sekarang hal itu malah tidak Mainstream kan.
Suratnya biasa saja tidak pakai kertas warna juga tidak disemprot parfum, ya biasa saja pakai kertas putih dan amplop putih seperti surat izin yang ditujukan ke guru. Lalu ku buka surat itu, masih desegel kuat itu berarti belum dibaca Dwi, kemudian aku baca isi suratnya.
——————————————
Araya Shofi Hasan!
Kamu cantik,
Aku menyukaimu.
Dari semenjak aku tanya namamu tempo hari.
Aku mau izin,
Boleh aku menyukaimu?
Boleh aku mendekatimu?
-Bimo Gentama "Raya"-
——————————————
Aku tercenung sesaat dan baru sadar kalo nama ku sama dengan nama belakang nya!
Cepat-cepat ku masukkan surat itu ke dalam tas, takut kalau-kalau ada yang melihat apalagi Sari, aku khawatir dia akan merasa terluka jika tahu karena sejak awal dia menyukai Bimo. Pikiranku langsung dipenuhi oleh isi surat itu, singkat, padat tapi cukup bikin aku kaget, aku belum memiliki perasaan apapun padanya waktu itu, biasa saja. Hanya sering heran dengan tingkahnya yang berhasil mengusikku.
Bel masuk, kawan- kawan sekelasku juga sudah lengkap dan guru juga sudah mulai mengajar tapi entah kenapa aku tidak bisa fokus, pikiranku teralihkan karna surat itu.
Ingin rasanya ku bilang ke dia "heh! kamu, kenapa harus minta izin untuk menyukai aku? Itu hak-mu, itu perasaanmu. Jadi itu urusanmu mau kau pakai untuk apa!"
Sudah waktunya istirahat dan aku belum bisa keluar kelas karena sibuk mencatat tugas gara-gara aku tadi melamun sepanjang pelajaran, kamu pasti tahu kan kenapa aku melamun.
Sepuluh menit kemudian aku akhirnya selesai dan langsung ke kantin menyusul Dwi, dia sedang duduk dengan Bayu, tadinya aku ingin duduk di tempat lain saja karena rasanya tak nyaman kalau jadi mengganggu acara kencan kantin itu, tapi mereka justru memintaku bergabung duduk satu meja dengan mereka, jadilah aku duduk disana sambil makan batagor dan ngobrol ini-itu yang enggak penting, Sari sedang sibuk rapat dengan pengurus ekskul PMR karena kalau tidak salah mereka akan bikin kegiatan, jadi dia tidak makan bersama kami sekarang.
Aku? Kalau aku ikut ekskul jurnalistik bersama Dwi, tugasnya mengisi mading di sekolahku, karena aku suka membaca biasanya aku juga coba-coba untuk membuat tulisan, kadang cerpen, kadang puisi, kadang review buku yang pernah ku baca, hitung-hitung belajar walaupun tulisanku sebenarnya juga masih biasa saja.
Yang penting mau mencoba kan?
Kemudian Bimo dan Akbar datang dari kantin Pak Budi, penjaga sekolah yang istrinya jualan dan teras rumahnya dijadikan kantin, siswa laki-laki banyak yang suka jajan disitu supaya bisa merokok, karena lokasi kantinnya ada di belakang gedung sekolah dan jauh dari pantauan guru-guru. Ku tebak dia juga begitu. Maksudku, merokok.
"Hai, Raya" Dia senyum padaku.
"Iya, hai." Jawabku singkat, aku tidak tahu sedang terlihat seperti apa, tapi yang jelas aku salah tingkah teringat surat itu. Lalu dia duduk di kursi sebelah ku dengan menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi dan posisinya agak menyerong menghadap Akbar yang duduk sendiri pada sisi meja menghadap kami, dia sedikit membelakangiku dengan bahu yang lebih dekat padaku.
Dia wangi, parfumnya dapat tercium olehku. Sama sekali tidak bau rokok, padahal aku yakin dia juga merokok. Bahu kirinya berjarak sangat dekat denganku, membuatku tambah bingung harus bagaimana, akhirnya ku putuskan untuk tetap makan batagor tanpa bicara.
Dia ngobrol dengan Akbar dan Bayu, sesekali Dwi juga ikut menimpali, hanya aku yang diam. Mereka sesekali ketawa karena celetukan Bimo tapi anehnya dia tidak ikut ketawa padahal celetukannya itu lucu, aku hampir ikut tertawa kalo saja tidak ku tahan, aku masih bingung bersikap di hadapan orang aneh ini. Lalu tiba-tiba dia ngomong begini, "Raya, aku tebak kamu sudah tahu namaku." sambil mengubah posisi duduknya jadi lebih menghadap ke arahku.
"Sudah," ku jawab tanpa melihat ke dia, sembari mengaduk batagor yang sudah dingin dengan sendok.
"Siapa?" Tanyanya memastikan.
"Bimo." Sahutku cepat.
"Yang lengkap."
"Memang aku harus tau nama lengkap kamu?" Aku mengernyit, sedikit melirik ke arahnya.
"Haha, enggak. Tapi aku tau kamu sudah tau." maksudnya dia tahu kalo aku memang tahu siapa nama lengkapnya.
"Iya deh, Bimo Gentama Raya."
"Kamu tau apa artinya?"
"Apa?" Kujawab kembali tanpa melihatnya.
"Artinya Tuhan sudah mentakdirkan kamu denganku, dan orangtuaku merestui makanya ada nama kamu di belakang namaku, kelak namaku yang akan ada di belakang nama mu, percayalah." Aku jadi refleks tersenyum tapi tetap gak melihatnya.
"Ngarang ih." sahutku asal.
"Percaya gak?" Mendadak ia sedikit mengikis jarak kami.
"GAK!" Jawabku cepat dan tegas, sedikit malu juga.
"Ahahahaha." dia tertawa, yang lain juga sambil menggodaku, aku cuma bisa senyum dan lanjut menyuap batagor yang tidak kunjung habis sedari tadi.
Maluuuu...!!!
Dasar Gila! Pikirku dalam hati, bisa-bisanya dia ngomong begitu dengan santai dan suara yang lumayan lantang di depan banyak orang tanpa merasa malu sama sekali, justru aku yang jadi malu sendiri karena orang-orang yang duduk sekeliling kami semua jadi memperhatikan sambil cekikikan atau senyum-senyum, bahkan mungkin mereka merasa geli mendengar pernyataan absurd yang tiba-tiba itu.
"Kayaknya kamu suka banget batagor," katanya lagi.
"Hah? Enggak juga," jawabku sambil menoleh padanya sebentar. Tunggu! Wajahnya kenapa dekat sekali, jadi kaget sendiri aku.
"Jadi sukanya apa?" maksudnya dia tanya apa makanan yang aku suka.
"Apa aja, aku gak milih- milih makanan," jawabku sekenanya karena sudah enggak fokus, siapa juga yang bisa fokus kalau muka orang di sebelah kita dekat sekali.
"Hehe, oke," balasnya yang aku tak mengerti oke untuk apa? Oke karena paham? Akh! Entahlah, Aku merasa seperti orang bego. Aku diam saja tanpa menanggapi lagi omongannya.
Mungkin dia sadar aku malu, jadi dia mulai ngobrol dengan kawan lainnya dan tidak lagi mengusikku yang sedang berusaha menghabiskan batagor dingin ini sebab dari tadi hanya ku aduk-aduk saja.
Mereka ngobrol soal banyak hal dan aku tidak bisa cerna karena masih salah tingkah? Yang jelas aku tidak bisa fokus sama sekali, rasanya mau kabur saja cepat-cepat ke kelas tapi kan tidak mungkin, batagorku belum dibayar lagipula apa kata mereka nanti kalau aku tiba- tiba pergi begitu saja, pasti jadi bahan tertawaan kan. Jadi aku memutuskan untuk sok cool menunggu sampai dia pergi atau bel masuk berbunyi.
Tak lama orang itu beranjak dan sambil berlalu dia bilang, "Ray, nanti kalau ada telepon, angkat ya itu dari aku, gak boleh dicuekin ntar dosa." setelah itu dia senyum padaku, aku tau karena aku sempat melihat padanya sekilas lalu kemudian dia jalan membelakangiku.
Dasar orang aneh, enggak ngerti deh!