webnovel

Two Side (The Blue Bird Murder)

Jakarta sedang dihantui oleh tragedi pembunuhan berantai yang dilakukan oleh seorang pembunuh yang dijuluki "The Blue Bird" karna ciri khasnya yang selalu meninggalkan sebuah kertas origami berwarna biru berbentuk burung. Pada kertas-kertas origami tersebut berisikan teka-teki yang sengaja diberikan pembunuhnya guna membantu para Kepolisian menemukan dirinya. Vivian Ananta Detektif terbaik di pihak kepolisian ditugaskan untuk menangani kasus tersebut. Namun Vivian merasa Blue Bird selalu lengkah didepannya oleh karna itu Vivian merasa dirinya saja tidaklah cukup, iapun lalu bekerjasama dengan Rian Afrizal. Detektif swasta terbaik di Indonesia. Mampukah mereka berdua bekerjasama guna menangkap The Blue Bird Murder tersebut?.

Milsscar82 · 灵异恐怖
分數不夠
22 Chs

Galeri Seni Indonesia

Keesokan harinya, Vivian beserta timnyapun datang menemui salah satu orang yang sangat mengerti prihal karya seni terlebih lagi dalam bidang lukisan. Ia adalah Ian Roberth. Pemilik Galeri Seni Indonesia, salah satu galeri pertunjukan lukisan terbaik di negri itu, yang mana galeri tersebut adalah galeri yang sama dengan galeri yang pernah Jony kunjungi minggu lalu, galeri dimana tempat lukisan abstrak yang asli dipertunjukan.

Vivian yang sangat antusias akan hal itu pun pergi kesana dengan dandanan sangat rapih!, ia berdandan khas seperti orang-orang kelas atas. Hari itu Vivian benar-benar tampil cantik, menawan dan sangat-sangat mempesona dengan balutan dress berwarna merah muda yang ia kenakan. Ia juga mengenakan sebuah kalung emas bercampurkan berlian serta sepatu hak mahalnya. Tampilan Vivian hari itu benar-benar menarik perhatian seisi galeri. Termasuk juga para teman-temanya di kepolisian, ditambah lagi dengan rambut hitamnya yang sangat lurus dan dengan pita merah mudah menempel di rambutnya, semakin menambah kesan cantik dan menawan padanya hari itu.

Vivian berangkat sendiri dari kediamannya, sementara anggota kepolisian yang lain datang secara bersamaan dengan membawa lukisan yang mereka temukan tersebut. Dan karna hanya Vivian yang datang dari rumah, maka semua anggota kepolisian yang lain memakai seragam lengkap! Semua, kecuali Vivian.

Setelah sampai di Galeri Seni Indonesia, Vivian beserta timnya yang telah mendapatkan surat izin pemeriksaan dari pak kepala, tanpa basa-basi langsung pergi menemui Ian Roberth. Yang mana sebelumnya mereka sudah mengatur pertemuan tersebut.

Sesampainya Vivian di sana, di ruang Ian Roberth. Ian Roberth benar-benar terkejut! Terkerjut sekaligus terkagum ketika melihat sosok detektif yang menangani kasus tersebut, yaitu Vivian. "Aku kira aku akan bertemu dengan detektif hari ini...," sapa Ian Roberht dengan tersenyum kagum. "Namun kenapa bidadari yang datang menemuiku hari ini." Lanjutnya memuji Vivian seketika Vivian menampakan dirinya diruanganya yang besar itu.

Vivian pun membalas pujian Roberth hanya dengan senyumannya manisnya itu. "Sayangnya aku tidak memiliki sayap tuan." Cetus Vivian bercanda.

Lalu Vivianpun langsung membawa masuk lukisan yang telah ia dan timnya bawa dan menunjukan lukisan tersebut kepada Ian Roberth untuk diteliti lebih lanjut. Namun ketika Vivian menunjukan lukisan tersebut kepada Roberth, seketika ia langsung tersenyum tipis.

"Lucu sekali." Gumamnya sembari tersenyum menatap dalam lukisan tersebut.

Seketika itu juga Vivianpun langsung memandangi Roberth dengan wajah yang penuh tanda tanya. "Mohon maaf sebelumnya tuan Roberth, Apa yang anda maksud dengan berbicara seperti itu ?" Tanya Vivian dengan sangat sopan.

Roberth lalu kembali tersenyum. "Minggu lalu, lukisan itu sudah terjual dengan harga yang cukup membuat sakuku tebal setebal wajahku." Ucap Roberth dengan nada bercanda.

Dan ketika mendengar hal itu dari Roberth, sekarang malah Vivianlah yang tersenyum tipis kepada Roberth. "Ya... sayangnya yang satu ini adalah palsu." Gumam Vivian dengan begitu percaya diri.

Roberth seketika terdiam sejenak setelah mendengarkan kata-kata dari Vivian tersebut. Lalu dengan wajah kebingungan Roberth kembali sekali lagi memandangi lukisan tersebut. Roberth menyipitkan matanya, mengerutkan dahinya serta menatap tajam kedalam lukisan tersebut. "Apa maksudmu, palsu?," ucap Roberth heran. "Aku adalah orang yang bertahun-tahun bekerja dalam bidang ini, dan aku adalah orang yang mendapatkan keuntungan yang sangat banyak karna menjual lukisan tersebut, dan aku sangat yakin bahwa ini adalah lukisan asli." Sahut Roberth dengan penuh keyakinan.

Lalu Roberth mengalikan pandanganya dari lukisan tersebut, lalu ia pun menatap Vivian dengan tatapan tajam sekaligus kebingungan. "Lalu apa yang membuatmu begitu yakin bahwa lukisan itu adalah lukisan palsu, detektif ?" Tanya Roberth serius.

Vivia terkejut mendengarkan fakta bahwa lukisan tersebut adalah lukisan asli. "Kau yakin dengan hal itu ?" Tanya Vivian sekali lagi meyakinkan Ian Roberth.

Dan dengan sangat yakin Roberth menganggukan kepalanya dengan perlahan layaknya seorang bangsawan elit. "Aku telah memandangi lukisan tersebut bertahun-tahun lamanya, dan aku sangat yakin akan hal itu."

Vivian yang masih tak percaya akan hal itupun terdiam sejenak. Lalu ia pun memejamkan matanya sejenak seraya tangan kirinya memegangi jidatnya. Tak lama kemudian Vivian membuka kembali matanya. "Kau yakin dengan hal itu ? tanpa perlu mengeceknya kembali ?" Tanya Vivian serius.

Dengan penuh keyakinan yang nampak diwajahnya, Roberthpun berkata. "Ya, aku yakin, dan aku tak perlu memeriksa lukisan itu untuk mengetahui keaslian lukisan tersebut, karna lukisan tersebut adalah salah satu mahakaryaku!" Jawab Roberth yakin.

Jawaban tersebut membuat Vivian berpikir kembali tentang semua teka-teki dari The Blue Bird Murder tersebut. Vivian lalu kembali memejamkan matanya dan menempelkan telapak tangan sebelah kirinya kejidatnya kembali. Hal itu menandakan bahwa betapa seriusnya ia sedang berpikir.

Tepat setelah Vivian membuka matanya, Vivian lalu melepas pita rambut berwarna merah muda miliknya tersebut. Kemudian ia pun mengambil sebual karet dari tas kecil yang ia bawa, lalu ia menguncir rambutnya yang mana itu membuat seisi ruangan memandangi dirinya, memandangi kecantikan yang terpancar begitu jelas dari dirinya tersebut. Vivian melakukan itu agar rambutnya tidak menghalangi pandangannya.

"Jika lukisan tersebut adalah asli, berarti aku sangatlah yakin bahwa pesan yang diberikan oleh The Blue Bird adalah pesan untuk korban selanjutnya." Cetus Vivian dengan serius yang membuat seisi ruangan menjadi tegang.

Dengan wajah panik dan ketakutan Roberthpun berkata. "Apakah itu berarti aku yang akan menjadi korban berikutnya ?" Tanya Roberth dengan suara yang terbatah-batah.

Vivian tersenyum lebar menatap Roberth. "Lihatlah kedalam cermin, dan kau akan menemukan kebenaran...," gumam Vivian sembari terus tersenyum memandangi Roberth. Sementara Roberth semakin panik mendengar ucapan Vivian yang mana ia tidak mengerti apapun yang diucapkan Vivian tersebut. "Jika tidak salah, lukisan ini tentang kepemimpinan dan harapan bukan ?" Lanjut Vivian bertanya kepada Roberth yang sedang cemas.

"Ya... ya, tentu saja, lalu apakah aku orang selanjutnya detektif ?!" Tanya Roberth terbatah-batah karna ketakutan.

Vivian mengalihkan pandanganya dan berkata. "Bukan, bukan kau yang selanjutnya." Sahutnya dengan tegas.

"Lalu siapa detektif ?" Tanya salah satu petugas yang membawa lukisan tersebut.

"Seperti dugaanku sebelumnya, Pak Gubernur!" Jawab Vivian sembari tersenyum bersemangat. Seisi ruangan pun seketika langsung terkejut ketika Vivian mengatakan hal itu, karna sebelumnya Vivian tidak pernah memberitahu sebelumnya tentang dugaan target selanjutnya kepada siapa pun.

Dengan wajah panik salah satu anggota kepolisian bertertiak. "Kau serius Vivian?!" Teriak salah satu anggota kepolisian yang ikut masuk kedalam ruangan Ian Roberth.

Lalu dengan santainya Vivian menjawab. "Ya." Vivianpun kemudian memandangi sudut-sudut sekelilingnya. Memperhatikan setiap sudut ruangan untuk memastikan ada atau tidak cctv diruangan tersebut. "Apakah hanya diruangan ini saja yang tidak memiliki cctv ?" Tanya Vivian serius.

Roberht mengganguk perlahan. Ya. Hanya ruangan ini sajalah aku tidak memasang cctv." Vivian lalu memandangi wajah Ian Roberth dengan tatapan tajamnya. "Kenapa " Tanyanya serius.

Roberthpun terdiam sejenak lalu kemudian ia tersenyum tipis. "Semua orang memiliki privasi, dan bagiku ruangan ini adalah salah satunya."

Vivianpun tersenyum tipis. "Ya. Kurasa itu cukup masuk akal," ucap Vivian dengan sedikit bercanda. Vivian lalu menghampiri Roberth. "Lalu bisakah kami mengecek cctv bagian depan untuk mengetahui siapa yang membeli lukisanmu tersebut tuan." Lanjut Vivian bertanya dengan sangat ramah dan santai.

Roberth mengangukan kepalanya dengan agak sedikit kaku. "Ya. Tentu saja boleh, kalian boleh melihatnya sepuas kalian."

Vivian kembali memandangi Ian Roberth, namun kali ini Vivian tidak memandangi Roberth dengan penuh senyuman seperti sebelumnya, kali ini Vivian menatap dalam tajam ke matanya. "Apakah kau masih ingat wanita yang membuat sakumu tebal setebal wajahmu tuan ?" Tanya Vivian begitu serius.

Roberthpun keheranan. Ia benar-benar merasa heran akan pertanyaan yang telah dilontarkan kepada dirinya tersebut. "Untuk apa kau menanyakan hal itu kepadaku detektif ?" tanya Roberth keheranan. "Kau bisa langsung melihatnya di cctv bukan ?!" Katanya melanjutkan ucapanya yang barusan.

Vivian mengerutkan dahinya, menurunkan alis matanya serta tersenyum simpul tepat dihadapan Roberth. "Aku hanya ingin tau pandanganmu tentang penampilan wanita tersebut tuan, tidak lebih." Ucap Vivian yang saat itu terlihat seperti sedang memberi ancaman terhadap Ian Roberth.

Ian Roberthpun panik. Lalu kemudian dengan mimik wajah yang terlihat panik itu Roberth menganggukan kepalanya. "Ya..., ya, tentu saja aku ingat. Aku tidak akan pernah melupakan wajah cantiknya itu." Jawab Roberth terbatah-batah.

Vivian kemudian merapihkan rambutnya sebentar, setelah itu kemudian ia tersenyum begitu lebar yang bahkan sampai-sampai membuat matanya terpejam. "Apakah dia lebih cantik dariku ?," sahut Vivian manis. Lalu Vivian kembali membuka matanya yang sempat terpejam karena senyumanya tersebut. "Aku harap dia tidak secantik diriku." Gumam Vivian bercanda.

Roberth terdiam sejenak. Lalu ia memandangi tubuh Vivian yang begitu menawan dari atas hingga kebawah. Roberth lalu menelan air ludahnya sendiri dan menatap Vivian tabjuk. "Kurasa tak ada yang bisa mengalahkanmu dalam hal kecantikan detektif," puji Roberth. "Tak seorangpun, bahkan wanita tersebut pun tidak bisa mendekati." Lanjut Roberth memuji kecantikan Vivian.

Vivian kembali tersenyum dan menepuk tanganya dengan agak lama dan cukup keras. "Syukurlah kalau begitu." Sahutnya bahagia.

Lalu salah satu anggota kepolisian lainya memandanginya aneh, lalu Vivian kemudian juga memandangi pria anggota kepolisian tersebut dengan tatapan penuh tanda Tanya. "Pentingkah kau bertanya seperti itu detektif ?" Tanya Pria anggota kepolisian itu heran.

Vivian kemudian kembali tersenyum. "Itu penting untuku," ucap Vivian yang kemudian mulai beranjak pergi meninggalkan ruangan. "Penting untuk menilai cara dan motif yang akan dia pakai!" Sahut Vivian dengan suara keras sembari berjalan meninggalkan ruangan.

Setelah Vivian keluar ruang Vivian tiba-tiba saja kembali lagi kedalam ruangan tersebut. Ia berjalan dengan sangat cepat dan lincah seperti ada barang yang ketinggalan.

Vivian kemudian tertawa kecil menatap Ian Roberth, lalu ia kemudian menepuk jidatnya menggunakan tangan kirinya sembari tersipuh malu. "Maafkan aku tuan. Karna begitu bersemangatnya diriku, aku sampai kelupaan akan sesuatu." Cetusnya malu.

Ian Roberthpun mengerutkan dahinya sedikit. "Apa itu ?" Tanya Ian Roberth Kebingungan.

Lalu Vivian kemudian mengeluarkan buku catatan kecil beserta pulpen dari tas kecil mewah yang dia bawa. "Bisakah kau sebutkan ciri-ciri wanita cantik itu kepadaku tuan Roberth ?" tanya Vivian sopan. Lalu Vivian kemudian memandangi Roberth dengan senyuman meledek. "Pasti tidaklah susah untuk mengingat ciri-ciri wanita cantik untuk seorang lelaki yang menghargai wanita seperti dirimu bukan tuan.." Lanjut Vivian bersemangat.

Dengan sedikit agak ragu-ragu Roberth menganggukan kepalanya secara perlahan. "Ya, tentu saja aku bisa mengingatnya detektif."

"Bagus, itu akan sangat membantuku." Ucap Vivian sembari mulai menuliskan sesuatu di buku kecilnya tersebut.

Ian Roberth memejamkan matanya seraya memegangi rambutnya yang kelimis tersebut. "Kurasa wajahnya berbentuk Oval, rambutnya tidak terlalu panjang, mungkin hanya sebahu. Tatapannya tajam dan senyumanya sangatlah manis." Seru Roberth sembari mengingat-ingat kembali wanita yang membeli lukisannya tersebut.

Vivia mengerutkan dahinya, lalu menempelkan ujung pulpennya ke dahinya. "Apa dia tinggi, lalu kira-kira berapa umurnya ?"

Ian Roberth menempelkan tanganya di dagunya, dan kemudian mulai menerka-nerka. "Dia tinggi, cukup tinggi kurasa. Ia bisa menjadi model jika ia mau. Tingginya mungkin sekitar 175 cm, dan jika dilihat dari wajahnya, ku rasa ia masih sangat muda 20-23 tahun mungkin." Jawab Roberth dengan penuh perhitungan.

Vivian memejamkan matanya sejenak. "Tinggi dan cantik ya...,"

Sekali lagi Vivian memandangi Roberth, kali ini dengan tatapan penasaran. "Apakah tidak ada sesuatu ciri khas yang bisa mempresentasikan tentang dirinya tuan ?"

Ian Roberth membuka matanya. "Ada!" teriaknya bersemangat. "Aku ingat betul ia memakai kacamata, karna tampilanya saat menggunakan kacamatanya itu membuatku benar-benar tertarik padanya saat itu," Cetus Roberth menjelaskan dengan bersemangat. Lalu Ian Roberth kembali memejamkan matanya sesaat, lalu membukanya kembali. "Dan kalu aku tak salah lihat, sepertinya ia memiliki tatto diperngelangan tanganya." Seru Roberth.

Vivian yang sedang asyik menulis seketika tertarik akan fakta yang diucapkan oleh Ian Roberth barusan. "Tatto ?!" Tanya Vivian sembari memandangi Roberth dengan penuh penasaran.

"Ya Tatto, dipergelanganya, disebelah kanan." Cetus Roberth yakin.

Vivian mengerutkan dahinya dan menarik sebelah alis matanya. "Apakah kau tau gambar apa itu ? atau berbentuk apa tatto itu ?"

Sambil merenung Ian Roberthpun hanya bisa menggelengkan kepalanya. "Sayangnya aku tidak bisa mengingat hal itu, karna saat itu aku hanya fokus memandangi wajahnya yang cantik itu."

Vivianpun melanjutkan mencatat apa yang Roberth katakan. "Hmn... menarik...," sahutnya sembari menggigiti ujung pulpen yang ia bawa tersebut.

"Apa itu berbentuk anggka ?" Sahut Vivian mendikte. Roberth menggelengkan kepalanya kembali. "Kurasa bukan."

"Huruf atau rangkaian kata ?"

Pupil bola mata Roberthpun menyempit, lalu kemudian ia mulai memandangi ruangan disekitarnya. menunjukan bahwa ia sedang berpikir dan sedikit agak kebingungan. "Entahlah."

"Kalau begitu mungkin sebuah gambar, lambang atau bahkan sebuah simbol ?!" Lanjut Vivian mendikte Roberth kembali.

Roberthpun mengerutkan dahinya dan terdiam sejenak. Lalu kemudian iapun mengakat bahunya sedikit.

Vivianpun kemudian tersenyum. "Baiklah, aku rasa aku sudah mendapatkan sedikit gambaran apa yang aku mau," sahut Vivian tenang. Lalu Vivian menutup buku catatan kecilnya itu dan memasukannya kembali beserta pulpennya itu kedalam tas kecil mahalnya tersebut. "Selanjutnya, untuk detailnya aku akan mengecek semua cctvmu yang ada digedung ini tuan Roberth. Apakah kau keberatan akan hal itu tuan Roberth ?" Tanya Vivian dengan sangat ramah dan sopan yang benar-benar menambah kesan anggun nan elegan dirinya.

Ian Roberth mengangugkan kepalanya dengan kuat. "Ya tentu saja. Aku tidak keberatan. Jika itu membantu.

Vivian tersenyum kembali dan membungkukan badanya sedikit. "Baiklah kalau begitu aku pamit, terimakasih." Sahut Vivian yang kemudian setelah itu pergi dengan tersenyum lebar. Ia pergi dengan sangat cepat, cepat secepat angin meninggalkan ruangan tersebut.

~Blue Bird adalah seorang wanita pecinta seni(?)~

Milsscar82creators' thoughts