Setelah dokter keluarga pergi, Eva yang duduk di pinggir kasur Misha tampak bengong. Dia memikirkan, sepertinya ada yang salah dengan kamar kakaknya.
"Hmm.. Apa yah?" Eva mengacak rambutnya dan mengedarkan pandangan.
Sebentar, novel yang kakaknya pegang sebelum pingsan tadi kemana? Matanya memicing mencari keberadaan buku tebal kesayangan kakaknya.
"Ohh, Shit!"
Eva mengumpat saat matanya menangkap sebuah buku mengapung di ember yang ada dikamar mandi, ia segera berlari dan menyelamatkan benda mati itu.
"Hei! Are you okay? You're not dead, right?"
Tampaknya otak Eva telah lari entah kemana, berbicara dengan sebuah buku seolah baru menyelamatkan seseorang. Sebuah gangguan mental, sepertinya.
Apa yang harus gue lakukan?__batin Eva bertanya tanya.
Sebuah ide brilian muncul dikepala Eva, ia nyengir dan segera lari keluar. Begitu kembali ke kamar Misha, kedua tangannya penuh memegang barang misterius.
***
Kening Misha tampak berkerut, tak lama mata abu-abu nya terbuka dan menatap langit-langit kamar. Sejak kapan ia tertidur? Sebuah bau tak asing membuat Misha segera duduk, dia menatap Eva yang tengah membelakangi nya.
"Eva.."
Misha memanggil Eva dengan ragu, firasat nya sangat buruk dengan apa yang tengah dikerjakan Eva. Benar saja, saat Eva menoleh cengiran konyol menghiasi wajahnya.
"Udah sadar kak?" tanya Eva lembut.
"Lu.. salah makan?"
Bukannya menjawab, Misha malah bertanya dengan curiga. Adiknya itu sangat jarang bisa berdiam diri saat dirinya tidur, kali ini apa yang dilakukannya.
"Gak, gue belum makan"
Eva mengungkapkan kebenaran dengan sangat jujur, sejak Misha tak sadarkan diri 2 jam yang lalu, ia memang tak beranjak dari kamar sang kakak.
"Tumben lu betah di kamar gue, biasanya kan lu ngomel 'ih, kamar lu nyebelin! Pindah ke kamar gue kuy!' kan biasanya gitu"
Tutur Misha dan bangkit, dia meringis saat menginjak jepitan pakaian dan mendelik tak suka pada adiknya. Apa Eva menetap di kamar untuk menjahili nya? Jika benar awas saja nanti.
"Kenapa jepit jemuran ada di sini?" tanya Misha menuntut.
"Oh, ke injek ya?"
Eva malah bertanya membuat kerutan emosi mulai tercetak di kening Misha, setelah menghela nafas Misha tersenyum menatap adiknya.
"Enggak Eva, ke makan"
Mata Eva membulat tak percaya, ia segera menghampiri Misha dan membuka mulut kakak nya lebar. Mata nya meneliti isi mulut Misha dan bergumam pelan.
"Mana jepitannya?"
Duakkk..
Eva termundur kebelakang saat kepala nya di dorong oleh Misha, ia meringis kesakitan dan mengelus keningnya yang lumayan panas.
"Otak lu lari kemana sih? Nyebelin!" ketus Misha dan mengalihkan pandangannya.
Sepertinya Dewi keberuntungan tak berpihak pada Eva, mata Misha menatap sebuah benda yang terkapar di samping setrika. Tunggu, sampul benda itu sangat familiar dimata nya.
"Eva, itu novel gue kan?"
Misha bertanya guna memastikan, seingatnya sebelum pingsan tadi, novel itu ada di tangannya. Kenapa kini berada di samping setrika dengan bentuk yang agak kriuk?
"Iyaa" Eva menjawab sambil mengangguk.
"L-lo setrika?" tanya Misha lagi.
"Iyaaa" lagi lagi Eva mengangguk guna membenarkan.
"Evaaa!"
Misha di buat shock dengan kelakuan Eva, bagaimana bisa dia melakukan hal itu pada novel kesayangannya? Misha beranjak mendekati novel itu dan mengangkatnya. Hancur lah sudah, novel nya telah rusak.
"Keluar dari kamar gue, sekarang!" usir Misha kejam.
"Huh? Kok gue di usir?" heran Eva.
"Keluar sebelum gue setrika muka lo!" kecam Misha membuat Eva ngacir dengan perasaan bingung.
Brakk..
"Kaget" gumam Eva menatap pintu yang di tutup dengan kencang oleh Misha.
"Gue salah apa sih?"
Eva menggidikkan bahunya dan melangkah turun, lebih baik ia tidak mengganggu kakaknya yang mengamuk tanpa alasan.
Suara berisik dari tv ruang tengah menarik perhatian Eva, ia menilik dari balik dinding sambil menerjab. Ayah dan ibu nya sedang apa di sofa? Apa dia akan memiliki adik lagi?
"Oh! Mom dan Dad kapan pulang?"
Kedua orangtua nya tersentak saat mendengar pertanyaan itu, keduanya menoleh kebelakang dimana Eva berdiri di tangga yang tengah menatap mereka polos.
"Baru saja, belum tidur sayang?" tanya Dad hangat.
"Baru jam sebelas malam," jawab Eva menatap jam tangannya.
Eva duduk di antara ibu dan ayahnya, menatap tv dengan serius tanpa memperhatikan raut orang tua nya yang tampak terganggu akan kehadiran Eva.
"Tidur sayang, udah malam" ujar Mom lembut.
"Enggak Mom, aku pengen ikut nonton.. Ini film titanium?" tanya Eva menoleh ke sang ibu.
"Bukan Eva, ini film titanic" jawab Mom sabar.
"Uwaaa! Eva pengen ikut! Ini nanti mereka berdua mati kan? Kapalnya nabrak kan?! Endingnya sad kan?!" tanya Eva menggebu-gebu.
Kedua orangtua nya tampak canggung begitu mendengar pertanyaan Eva, mereka saling lirik dan meringis melihat sang anak aktif sekali.
"Mom sama Dad kenapa sih?" heran Eva ketika tak mendengar suara keduanya saat tengah asik menonton.
"T-tidak" ucap mereka menggeleng.
Srekk..
"Maaf Mom, Dad. Kecebong satu ini lepas" ujar Misha setelah menarik kaos belakang Eva.
"Kak! Sakitt!" rengek Eva.
"Udah nurut aja" ketus Misha dan menyeret Eva naik ke kamar nya.
Sesampainya di kamar, Misha melepaskan tangannya dari kaos Eva. Ia duduk di sofa dan mulai membaca novel.
"Tengah malam lu malah baca novel?" heran Eva setelah merasa lehernya agak mendingan.
"Besok kita ada Misi," jawab Misha seraya meletakkan novel ditangannya ke meja.
Ternyata novel itu bukan novel biasa, di bagian tengah novel itu terdapat sebuah iPad yang menampilkan sebuah pesan dari Richard.
"Dimana Misi nya terlaksana? Tumben kita langsung turun?"
Eva bertanya seraya membaca pesan dari Richard, bawahan Misha yang paling dipercaya di Clan Gold Moonlight.
"Lu bisa baca sendiri," suruh Misha berdiri menghampiri rak buku yang ada tak jauh darinya.
Srekk..
Rak buku itu bergeser menampilkan sebuah ruangan gelap berbau besi yang segera tercium saat terbuka, Misha bergeser dan menatap Eva dalam.
"Sudah baca kan? Ayo masuk dan pilih senjata mu," ajak Misha sambil melangkah masuk.
Jejeran senjata api dan tajam menghiasi mata Eva ketika dirinya memasuki ruang rahasia milik kakaknya, itu adalah ruang khusus Misha. Tempat dimana semua benda ciptaan Misha berada.
"Kelihatannya benda di sini, makin hari makin nambah yah" tutur Eva kagum.
"Ya nambah lah, orang gue bikin terus" ketus Misha memukul tangan Eva yang hendak menarik pemicu dari granat ciptaannya.
"Tangannya jangan pecicilan! Pilih senjata aja napa, meledak tar gimana?" tanya Misha sarkas.
"Ya paling nge boom!" ujar Eva nyengir.
"Ck, cepat pilih"
Misha tampak mendesak Eva yang terus saja berlama-lama, menatap koleksi ciptaan berharga nya.
"Hmm, gue pilih ini sama ini" ungkap Eva menunjuk dua jenis pistol.
Misha bersiul takjub melihat pilihan adiknya, Thunder 50 BMG dan Colt 1911. Pistol yang keren bukan main.
"Pilihan yang bagus," puji Misha.
"Kau sendiri bagaimana kak?" tanya Eva.
Misha menggeleng pelan, ia tak terlalu suka dengan senjata api. Misha berjalan menuju susunan senjata tajam, matanya terfokus pada sebuah samurai.
"Tentu saja aku akan memakai nya," ujar Misha tertawa pelan.
***