"Kalian ada rencana nanti?" tanyaku sembari membagikan sebotol susu pada Xixie.
Xixie berterimakasih, lantas menegak minuman yang ada digenggamannya. "Aku dan Hak berencana untuk lanjut ke dalam hutan Terlarang, sayangnya level kami berdua kalah jauh dari monster yang ada di sana."
"Hutan Terlarang?" tanya Gin di sela dia memakan rotinya. Bocah itu mengelap pipinya yang penuh dengan remah roti.
Hak mengangguk, "Letaknya ada di dalam hutan yang paling dalam. Di sebut Terlarang karena hutan itu sangat berbahaya bagi penduduk biasa yang menyebalkan ini. Selain itu, Xixie bilang monster di sana memiliki level yang jauh lebih tinggi dari kami. Walau aku yakin bagimu hanya remahan roti."
Xixie menggeleng, "Tidak, selisih level Shima dan para monster itu hanya lima level. Sama dengan pria bertopeng putih itu."
"Jadi, baginya monster itu tidak lebih setara?" Hak mendengus kesal. "Kalau begini terus, kita tidak akan bisa keluar."
"Apakah tidak ada cara selain bertarung habis-habisan melawan monster itu?" tanya Gin khawatir, lantas meminum sebotol susu.
"Kita tidak akan tahu sampai benar-benar ke sana, dan mengelilinginya berjam-jam," ujar Hak. "Masalahnya aku sudah sangat kerepotan dengan monster-monster di sini. Apa lagi jika menghadapi monster yang ada di sana."
"Tentu saja, dengan hanya mengandalkan pemukul baseball itu, kau tidak akan bisa membuat darahnya keluar begitu saja. Apalagi kulitnya cukup tebal," aku mencibir, membuat Hak mendengus kesal. Melemparkan pedang bermata dua kepadanya, "Kecuali jika kamu menggunakan pedang itu," tambahku, lantas meminum sebotol susu dari jendela penyimpanan. Aku harap kami bisa langsung ke lantai sepuluh, jumlah persediaan makanan yang kusimpan kedepannya semakin tipis.
Hak menggenggam pegangan pedang bermata dua yang aku berikan kepadanya, cukup kokoh dan tajam ketimbang pedang yang tak berguna di labirin itu. Dia tersenyum senang, entah kenapa ada perasaan untuk memukul wajahnya itu. "Terimakasih," ujarnya singkat. "Karena kamu memiliki level yang jauh tinggi, bisakah kau melatih kami semua?"
Aku sedikit tersedak begitu mendengar kalimat terakhirnya, menatapnya kesal. "Aku tidak bisa berpedang, sialan. Apa lagi menyembuhkan luka seperti yang dilakukan Xixie," ucapku yang lalu menghabiskan tetesan terakhir minumanku.
"Eh, lalu bagaimana kamu bisa naik level secepat itu?" tanya Xixie.
"Kak Shima melawan semua boss di labirin!" seru Gin blak-blakan yang membuatku terperangah melihat kepolosannya.
"Gin!" seruku.
Gin menutup mulutnya, tampaknya sadar kalau dia keceplosan menyebutkan sesuatu yang seharusnya tidak dia beritahukan. Aku menghela napas kesal, "Ya, aku melawan semua boss di labirin tadi. Setiap peserta mendapatkan hadiah berbeda saat melawan boss itu, kurasa sudah jelas alasan kenapa pria bertopeng putih itu mengincarku." Aku mengeluarkan dua buah bola bersinar berbeda warna. Oranye dan biru. "Inilah yang dia incar," ucapku, lantas menaruh kembali bola itu di dalam jendela penyimpanan.
"Tapi kami berdua tidak mendapatkan tawaran melawan boss, bagaimana kamu bisa mendapatkan tawaran seperti itu?" tanya Xixie yang tampaknya penuh tanda tanya di kepalanya.
"Sebelum lanjut, aku ingin menanyakan dari mana asal kalian semua?"
Hak mengangkat tangannya, "Kalau aku mengatakan dari Jepang, kau pasti tidak akan percaya, bukan? Aku berasal dari Korea Selatan."
"Aku, dari China," ujar Xixie sembari mengangkat tangan kanannya.
"Jepang, anak ini pun sama," aku menepuk kepala Gin.
Hak mendengus, "Pantas saja, sudah aku duga kau dari sana. Sarung pedangmu seolah mengatakan semuanya."
Xixie memukul kecil kepala Hak, "Jadi ... apa hubungannya dengan itu?"
"Kami berdua tidak memiliki Qi atau apalah itu, berbeda dengan kalian berdua," ujarku.
"Ha? Kalau begitu, bagaimana kalian bisa bertahan hidup di dalam labirin? Dan bahkan bisa melawan boss?" tanya Hak sembari mengelus bagian kepalanya yang dipukul Xixie.
"Entahlah, beruntung mungkin? Pedang ini juga menyelamatkan ku beberapa kali," ujarku sembari menghunuskan pedang katana dari sarungnya.
"Pedang Katana Jepang adalah pedang terkuat dan tertajam di dunia, bodoh! Tidak heran kamu bisa bertahan hidup sampai saat ini, bahkan berhasil mengalahkan boss itu," maki Hak.
"Tidak juga," sanggahku. "Di pintu pertama dan terakhir, nyaris tidak ada kesempatan untuk menggunakan pedang katana ini."
"Ah, terimakasih atas ceritamu," sarkas Hak yang tampak keras kepala. "Kalau begitu, aku akan menaikkan level sialan ini sendirian." Hak beranjak pergi dengan pedang pemberianku.
Aku berdecih kesal kala tubuh Hak semakin buram di ujung mata. Berdiri, "Kalian berdua tetaplah di sini, aku akan mengawasi pergerakan si bodoh itu."
"Baiklah, Kakak juga berhati-hatilah!" Ucap Gin tampak khawatir.
~***~
Aku memperhatikan serangan Hak dengan seksama dari atas pohon. Meskipun aku akui dia memiliki gerakan yang tidak pernah kulihat sebelumnya, sayangnya itu tidak terlalu efektif terhadap para monster yang tampaknya lebih mengandalkan naluri liarnya di dalam menara. Pemuda itu tampak kewalahan meskipun baru menghabisi tiga ekor monster saja, monster yang sama dengan monster yang aku hadapi kemarin. Sialnya, Hak tampak tidak memiliki keberuntungan mendapatkan senjata bagus setelah menghadapi mereka. Begitu monster keempat dihabisinya, dan tidak ada monster lain yang datang. Pemuda itu dengan santainya berbaring di atas tanah. Aku berdecih kesal, turun dari pohon dan menghampirinya.
"Kau punya Qi, kan? Kenapa tidak menggunakannya saja?" tanyaku sembari berdiri di samping tubuhnya yang terbaring tampak tidak berdaya.
Hak mendengus, "Berisik! Tidak semudah itu mengeluarkan Qi, pun butuh satu hari penuh untuk mengisinya kembali." Pemuda itu terengah-engah.
"Kalau begitu, biasakan dirimu dengan tidak menggunakan Qi sama sekali," aku berkata demikian setelah mendengar gemuruh seekor monster tepat di belakangku. Mendecih kesal, aku menghunuskan pedang katana dari sarungnya. Begitu kurasakan keberadaan monster itu tepat di belakangku, aku langsung menancapkan pedangku tepat di lehernya. Membuat monster itu langsung terkapar tidak berdaya dengan suara rintihan yang memekakkan. Aku mencabut pedangku dari lehernya, menusuk monster itu beberapa kali sampai akhirnya menghilang.
"Kau ini kebanyakan gaya," ujarku sembari mengelap darah biru yang terciprat di pipi kananku. "Temukan saja titik lemahnya, dan langsung tusuk dengan pedangmu. Untuk menghemat lebih banyak tenaga, sehingga tidak ada yang terbuang sia-sia."
"Ke-kebanyakan gaya?"
"Tentu saja, apa lagi? Sibuk menghapal tehnik satu, dua. Sungguh, menurutku tidak ada gunanya saat hidupmu ada di ambang kematian," sarkasku. Aku memasukkan kembali pedangku ke dalam sarungnya, berjalan menjauhinya. "Kalau sudah selesai, kembalilah! Xixie tampaknya merindukanmu, pangeran kodok."
Pergi ke hutan Terlarang sebelum naik ke lantai dua, huh? Menyebalkan sekali, aku ingin cepat keluar dari menara ini dan hidup sesukaku di luar. Masa bodo tugas menemukan adik beda ayahku ini, toh dia pasti sudah keluar dari menara lebih dulu dan hidup dalam pelariannya. Entah sebagai ketua mafia, atau sebangsanya.
~***~