webnovel

Tirai Penghalang

Ini hanya cerita sederhana seorang pemuda dalam mencari hal untuk penopang hidupnya. Seperti kebanyakan orang muda lainnya. Mencari pekerjaan, menjalin persahabatan, pencarian jati diri, dan… cinta. Drama keseharian anak manusia yang sudah biasa terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Cerita tentang kehidupan berkeluarga, meski bukan dengan orang tua kandung. Cerita tentang hubungan baik antar kakak dan adik sepupu. Tentang keakraban antar satu dan lain sahabat, meski berbeda warna, rasa, dan asal. Tentang keagungan cinta yang datang tiba-tiba, tidak pernah diharapkan, menghampiri begitu saja dalam kondisi yang tak biasa. Lantas… Bagaimana bila cinta itu ternyata indah? Bagaimana bila ternyata ia begitu tinggi? Dan bagaimana bila ternyata ia begitu berbeda dari diri? Lets find out.

Ando_Ajo · 现实
分數不夠
223 Chs

Sambal Ijo Kepala Teri

"Oii Rez, batanya kurang, nih," seru Pak Saman pada Rezqi yang berada di bawah sedang mengaduk-aduk campuran semen dengan cangkul.

"Oke, Pak," sahut Rezqi meninggalkan adukan semen. Keringat mengalir deras di dahi dan sekujur tubuh.

Pemuda itu menyusun sedemikian rupa sejumlah batu bata, mengangkat, dan meletakkan susunan bata tersebut ke atas papan di samping Pak Saman berdiri. Dan kembali Rezqi mengaduk semen yang tersisa.

"Sudah habisnya, Rez?" tanya Bang Tohap, di sudut lain.

"Dikit lagi nih," ujar Rezqi sembari memasukan adukan semen yang telah rata ke dalam empat ember plastik.

Dua ember ia antarkan pada Bang Tohap, dan dua ember lainnya pada Pak Saman yang berada di atas bangku-bangku tinggi. Pemuda itu merapikan sejumlah peralatan bertukang ke dalam sebuah gerobak, menyirami peralatan tersebut hingga gerobak penuh terendam air. Kemudian ia membersihkan tubuhnya sendiri.

Pak Saman melompat turun dengan membawa empat ember semen yang telah kosong, meminta Rezqi menyiraminya dengan air dari selang itu.

"Oi, Hap?" panggil Pak Saman. "Udahan dulu, istirahat."

Bang Tohap menuntaskan pekerjaannya. Sisa semen terakhir dalam ember ia tempatkan di atas susunan bata menggunakan sendok semen, sebuah bata ia posisikan di atas adukan semen tersebut. Mengetuk-ngetuk dengan gagang sendok, merapikan susunannya. Selesai. Empat ember kosong ia tenteng mendekati Rezqi dan Pak Saman.

Rezqi menyerahkan selang air pada Bang Tohap, setelah ia dan Pak Saman merasa cukup bersih. Sementara Rezqi dan Pak Saman melangkah ke bawah sebuah pohon rindang, Bang Tohap membersihkan diri.

Ada satu rantang plastik bersusun tiga dan tiga buah botol minuman berukuran satu setengah liter di hadapan Rezqi dan Pak saman yang duduk menjeplok begitu saja di atas tanah tanpa alas apa pun.

"Dibagiin aja jatah makanannya, Rez," pinta Pak Saman seraya meraih sebuah botol minuman, dan menenggak air dari dalam botol dengan cukup banyak.

"Menu apa nih?" Rezqi melepas kaitan yang menjadi penyusun ketiga rantang plastik itu. "Dari aromanya, hemm… kayaknya enak bener nih."

Pak saman terkekeh, kembali ia menoleh ke arah Bang Tohap. "Oi, Hap. Lama banget kamu itu… buruan!"

"Baah," dengus Bang Tohap mengakhiri bebersih diri. "Yang sabarlah kau itu, Man. Orang cuman punya dua tangan, lain hal kalau aku punya empat tangan. Paham kau?"

Pak saman dan Rezqi sama tertawa mendengar ucapan dari Bang Tohap tersebut.

Rezqi membagikan satu-satu rantang yang ada, begitu juga dengan dua botol minuman yang belum tersentuh itu, satu untuk Bang Tohap satunya lagi untuk ia sendiri.

"Ikan asin goreng sambel ijo," Rezqi menghidu makanan di dalam rantang dengan begitu menghayati. "Hemm… mantap!"

Bang Tohap memandang pada Pak Saman di kanannya, mereka sama tertawa pelan menanggapi tingkah pemuda yang satu itu.

"Yuk ahh," ajak Pak Saman kemudian seraya membasahi tangan kanannya dengan air dari dalam botol minumannya.

Karena tidak ada sendok, jadilah ketiga orang tersebut bersantap dengan hanya menggunakan tangan kanan masing-masing, tentu saja setelah dicuci lagi dengan air dari botol minuman masing-masing.

"Hemm…" Bang Tohap terlihat lahap menyantap bagiannya. "Yang paten kalilah istri kau bikin sambal hijau ini, Man."

"Bener," angguk Rezqi dengan mulut yang belepotan. "Enak banget."

"Syukurlah," kekeh Pak Saman mengangguk-angguk dalam kunyahannya. "Diulek pake terong dan kepala teri yang dibakar."

"Ouh," angguk Bang Tohap. "Pantas."

"Sorry, ya Rez," kata Pak Saman kepada pemuda di samping kanannya itu. "Cuma makanan kayak gini yang bisa saya sediain. Maklumlah, kamu kan tahu, duit proyek kecil ini belum dikasi ama yang punya."

"Iya…" Rezqi tersenyum lebar. "Ini aja sudah mantap kok, Pak. Enak banget ini."

Bang Tohap tertawa lagi mendengar itu. "Mangkanya Rez, tak usahlah kau banyak tingkah mau cari kerjaan yang inilah yang itulah… baah! Kau terima saja tawaran Babeh Djaja. Habis itu, kau bisa merasakan makanan yang enak-enak. Betul tidak, Man?"

"Betul itu," sahut Pak Saman.

Rezqi tersenyum menahan tawa mendengar saran dari Bang Tohap. "Dikasi duit berapaan sama Babeh Djaja, Bang?"

"Eeeh?" Kening Bang Tohap mengernyit aneh. "Apanya yang kau maksudkan itu?"

"Iye," kata Rezqi. "Bang Tohap dikasi duit berapa banyak sampai-sampai sekarang berpihak ama Babeh Djaja?"

"Baaah," dengus Bang Tohap yang mengerti maksud ucapan Rezqi tersebut. "Brengsek kau!"

Pak Saman terpingkal-pingkal mendengar hal tersebut, bahkan sampai tersedak dan batuk-batuk, segera ia meletakkan rantang makanannya dan meraih botol minuman. Lalu mereguk air minum sebanyak mungkin.

Begitupula bagi Rezqi dan Bang Tohap sendiri, mereka sama tertawa melihat Pak Saman yang tersedak itu. Sedikit kegembiraan di tengah teriknya cuaca di siang hari kali ini, dan kerindangan pohon mangga itu sedikit bisa memberikan ketiga orang tersebut perlindungan dari panas yang menyengat.

"Aku itu cuman kasihan saja melihat kau, Rez," kata Bang Tohap lagi. "Ndak ada salahnya kan, kalau kau terima tawaran Babeh Djaja?"

"Yaa… Memang gak ada salahnya sih."

"Tohap benar," kata Pak Saman pula. "Jarang-jarang lhoo, Rez… Di mana kamu lihat ada orang kayak Babeh Djaja, coba? Kaya, punya banyak tanah, dan termasuk orang berpengaruh di kampung kita ini, terus… begitu kuat keinginannya untuk menjadikan kamu menantunya. Kalau menurut saya mah, kamu terima aja, Rez."

"Lagipula," sambung Bang Tohap. "Kita semua tahu pasti, si Shari itu sangat-sangat cantik, ndak ada kurangnya. Rugi kau kalau sempat itu anak perawan diembat orang lain."

Rezqi mereguk air minum demi menyegarkan tenggorokan yang terasa terganggu oleh kelezatan sambal dari cabe hijau tersebut.

"Saya lihat," ujar Pak Saman. "Kamu itu orangnya gak gengsian. Kerja kayak gini aja kamu mau jalani. Apalagi mengelola empang Babeh Djaja yang banyak itu… pasti lebih banyak duitnya, Rez. Bisa menjamin kehidupanmu sendiri nanti."

"Betul itu," timpal Bang Tohap pula. "Bukan mengada-ada Rez, aku sendiri cukup sering membantu Babeh Djaja memanen ikan dari kolam-kolam itu. Baah… jangan kau tanya berapa duit yang dihasilkan dalam sekali panen."

"Iya, iya," Rezi hanya bisa mengulum senyum mendengar kedua pria itu menceramahi dirinya.

"Tapi, ya…" lanjut Pak Saman. "Semua memang tergantung kamunya sendiri, Rez. Yang berhak menentukan masa depanmu, ya kamu sendiri. Kita-kita mah, hanya sekadar ngasi saran, masukan, gak lebih."

Rezqi tahu itu, dan sangat menyadari. Pak Saman dan Bang Tohap sudah bertindak sebagai dua sahabat baik bagi dirinya sebagaimana dengan sahabat-sahabat karibnya yang lain.

Jujur saja, gumam Rezqi di dalam hati, mereka semua memang benar. Shari memang cantik, santun, ramah, dan banyak lagi kelebihan anak dara Babeh Djaja tersebut… hanya saja, Rezqi sendiri juga tidak mengerti kenapa ia tidak memiliki—katakanlah—sepercik rasa pada gadis itu, sama sekali tidak.

***