webnovel

Tirai Penghalang

Ini hanya cerita sederhana seorang pemuda dalam mencari hal untuk penopang hidupnya. Seperti kebanyakan orang muda lainnya. Mencari pekerjaan, menjalin persahabatan, pencarian jati diri, dan… cinta. Drama keseharian anak manusia yang sudah biasa terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Cerita tentang kehidupan berkeluarga, meski bukan dengan orang tua kandung. Cerita tentang hubungan baik antar kakak dan adik sepupu. Tentang keakraban antar satu dan lain sahabat, meski berbeda warna, rasa, dan asal. Tentang keagungan cinta yang datang tiba-tiba, tidak pernah diharapkan, menghampiri begitu saja dalam kondisi yang tak biasa. Lantas… Bagaimana bila cinta itu ternyata indah? Bagaimana bila ternyata ia begitu tinggi? Dan bagaimana bila ternyata ia begitu berbeda dari diri? Lets find out.

Ando_Ajo · Realistic
Not enough ratings
223 Chs

Belum Tua

"Bang Rezqi…?" si bungsu Shinta berteriak kencang. "Hapenya bunyi tuh."

Saat itu, Shinta yang sedang menggambar sembari menelungkup di atas lantai ruang tengah dikagetkan oleh suara dering dari ponsel milik Rezqi.

Namun, hingga nada dering ponsel di atas bufet di samping vas bunga itu berhenti, Rezqi tak jua menampakkan batang hidungnya. Si kecil Shinta miringkan bibir, dan melanjutkan kegiatannya menggambar pemandangan.

"Desaku yang kucinta," Shinta bersenandung di tengah kesibukannya mewarnai buku gambar di atas meja. "Pujaan hatiku…"

Belum usai bibir mungil itu melantunkan tembang karya L Manik tersebut, ponsel di atas bufet kembali terdengar berdering kencang.

"Iih," Shinta mendengus, dan berdiri. "Bang Rezqi, hapenya tuh…!"

Kesal karena seruannya tidak digubris dan sosok Rezqi tidak juga terlihat, si kecil Shinta melangkah ke arah bufet. Dengan muka cemberut, ia meraih ponsel dan menyentuh logo penerima panggilan.

"Halloo?" sapa si gadis cilik.

"Halo, selamat pagi. Bisa bicara dengan Rezqi Buana?"

"Iya," jawab Shinta. "Sebentar."

"Terima kasih."

Dengan wajah yang masih cemberut, Shinta melangkah menuju kamar Rezqi.

"Bang Rezqi, ni ada telpon."

Namun, begitu Shinta mendorong pintu kamar tersebut, ternyata kosong. Tidak ada seorang pun ada di dalam kamar.

"Maap, Tante," ujar Shinta pada wanita di sambungan ponsel. "Bang Rezqi-nya lagi gak ada, Tante."

"Tante?" Jelas sekali ada kebingungan pada nada suara wanita di balik panggilan itu. "Ouh iya," ujarnya lagi. "Maaf. Hmm…, Tan—te bisa nitip pesan, Dedek?"

"Boleh," sahut Shinta pula. "Apaan, Tante?"

"Hmm, bilang sama, B—ang Rezqi, interview Graha Abadi dua jam lagi. Oke Dedek?" jelas suara si wanita. "Graha Abadi. Dedek bisa ingat, kan?"

"Iya, Tante," sahut Shinta.

"Makasih ya, Dedek. Selamat siang,"

"Sama-sama. Selamat siang juga Tante," balas Shinta.

Sejenak si gadis cilik menatap layar ponsel di tangannya, kepala miring, bibir juga miring. Dua bahu terangkat. Dan kembali meletakkan ponsel tersebut ke tempat semula sebelum akhirnya melanjutkan kegiatannya sendiri mewarnai buku gambar yang tergeletak di lantai bersama pensil warna yang berserakan.

Di dalam sebuah kantor yang terlihat begitu mewah, Amia Calva duduk bersandar di balik meja kerjanya. Ia masih memegang gagang telepon. Ujung gagang telepon ia ketuk-ketuk pelan ke dagunya yang lancip sembari memikirkan satu-dua hal.

"Tante?!" gumamnya setengah bingung sembari meletakkan gagang telepon kembali ke tempatnya. Sepasang lesung pipit, samar menghiasi kedua pipinya yang putih merona. "Apa gue udah setua itu?"

Pintu jati di depan wanita muda itu diketuk seseorang dari luar.

"Permisi, Bu," suara seorang pria. Pintu bergerak membuka. "Client-nya udah datang, Bu," ujar pria berpakaian ala security tersebut begitu daun pintu menguak lebih lebar.

Wanita itu mengangguk. Dan lantas bangkit dari duduknya, melangkah keluar dari dalam ruangan.

"Eeh, Kang Asep."

"Iya," angguk sang security. "Ada apa, Bu?"

"Emang saya sudah pantas disebut tante-tante, ya?"

"Haa…?!" Asep sang security menggaruk kepalanya sendiri, sangat tidak mengerti maksud dari ucapan si petinggi perusahaan tersebut. "Ma—maksudnya gimana ya, Bu?"

"Iya," Amia tersenyum geleng-geleng kepala. "Apa muka saya udah setua itu untuk dipanggil tante?"

"Waduh…" Asep makin tidak tahu harus berbuat apa.

Siapa yang kurang ajar manggil bos gue dengan sebutan tante, sih? Gila apa? Jerit Asep di dalam hati. Apa mereka gak lihat betapa manisnya wajah wanita yang satu ini? Tidak sedikit pun terlihat tanda-tanda penuaan di wajah bening itu.

"Gimana menurut Kang Asep?" tanya Amia di sela langkah kaki mereka menuju sebuah lift.

"Enggak mungkinlah, Bu," Asep tersenyum menundukkan pandangan. "Lhaa Bu Mia malah lebih mirip kayak cewek-cewek yang masih SMA ini, kok malah dipanggil tante. Siapa sih, Bu? Jadi kepo saya."

"Ada…" Amia menggeleng-gelengkan kepalanya lagi mengingat seseorang di sambungan telepon itu tadi. "Sudahlah," ujarnya lagi dengan senyuman yang memukau itu. "Lupakan saja."

Pintu lift terbuka, dan keduanya segera masuk ke dalam lift.

Rezqi melangkah cepat, setengah berlari menuju ruang tengah. Ia masih mengenakan handuk dan baju singlet sebab baru saja selesai mandi.

"Shinta? Tadi hape Abang bunyi Shinta angkat, gak?" tanya Rezqi pada Shinta yang asyik menggambar.

Gadis cilik itu menjawab dengan anggukan kepala dan bibir yang monyong, acuh tak acuh saja.

"Terus?!"

Tanpa memalingkan wajah, Shinta menengadahkan telapak tangannya. Kening Rezqi jadi berkerut aneh.

"Kan habis mandi, Abang gak bawa dompet, dong," ujar Rezqi merayu sang adik. Namun tangan itu terus saja menengadah. "Udah kek si Juna aja."

"Pelit!" dengus Shinta cemberut, dan tetap asyik mewarnai buku gambarnya.

"Ayo dong, Dedek Abang yang cantik, manis, cayang."

Tapi Shinta tetap acuh tak acuh saja, malah kedua kakinya yang menekuk itu bergerak-gerak seiring irama yang meluncur dari mulutnya yang sedikit dimonyong-monyongkan sedemikian rupa.

Rezqi pun meraih ponselnya tersebut. Memeriksa panggilan masuk, dan ia mendapati nomor telepon yang baru saja menghubunginya adalah barisan nomor telepon rumahan, mungkin saja dari sebuah perusahaan, kantor, begitu pikirnya. Ia coba memanggil balik nomor tersebut. Beberapa detik berlalu, tidak ada yang mengangkat. Balik ia memandang pada adik sepupunya itu. Ia jongkok di samping meja, menghadap pada Shinta.

"Ayo doong cantik. Pliisss," rayu Rezqi lagi.

Shinta menghentikan kegiatannya, lalu bangkit dan duduk. Dua tangan dilipat ke dada, kening berkerut, bibir monyong lagi.

"Tadi ada Tante-tante suruh Bang Rezqi iterfu."

"Iterfu?!" kening Rezqi semakin berkerut aneh. "Interview?" ulang Rezqi memastikan. Shinta angkat kedua bahunya, mencibir lagi. "Ayoo dong cantik, yang serius doong?" pinta Rezqi.

"Pokoknya, gitu!" dengus Shinta. "Suruh iterfu gramadi, dua jam lagi."

"Gramadi?!" ulang Rezqi.

Apa gramedia maksud nih bocah satu? Tapi, kapan gue masukin lamaran ke sono? Rezqi menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal.

"Beneran?" tanya Rezqi lagi memastikan meskipun ia ragu sebab sekarang ini kan hari libur, pikirnya.

"Iih…" kembali Shinta mendengus. "Bang Rezqi cerewet amat, seeh? Pokoknya tadi ada tante-tante yang bilang kek gitu."

"Shinta boong, ya?" ujar Rezqi tersenyum, sepasang alisnya bergerak-gerak. "Ni kan Minggu. Mana ada kantor buka di hari Minggu?"

"Meneketehe," dengus Shinta.

"Huu…" cibir Rezqi dan melangkah kembali ke kamarnya.

Sementara itu si centil Shinta kembali menyibukkan diri mewarnai buku gambar di hadapannya. Dan sebentar saja, tembang legendaris itu kembali meluncur dari mulut Shinta.

"Desaku yang kucinta… pujaan hatiku…"

Di tempat lain, Amia Calva merasa geli pada hidungnya. Dan lalu bersin dengan seketika. Untung saja mereka masih berada di satu koridor.

"Bu Mia," Asep semakin bertambah bingung pada diri sang bod. Tadi ia berjata yang aneh-aneh, sekarang malah tiba-tiba bersin dengan begitu kencang. "Anda baik-baik saja, Bu Mia? Apa sedang flu?"

Amia mengangkat tangannya, mengeluarkan sebuah sapu tangan putih dari dalam saku celanannya, dan menggunakan sapu tangan itu menyeka mulutnya.

"Enggak," kata Amia pula. "Enggak apa-apa kok, Kang Asep."

Kayaknya ada yang lagi ngomongin gue nih, gumam Amia di dalam hati.

***