Ramai juga, pikir Amia lagi. Karena tertarik, Amia pun keluar dari dalam mobil menyusul Pak Abdul yang telah lebih dulu berada di hadapan si pedagang.
"Iya," ujar Pak Abdul pada si pedagang. "Satu bungkus aja, Mas."
"Satu doang?" tanya Amia.
Pak Abdul menoleh. "Iya, Non. Emangnya, Non Mia juga mau nyobain?"
Amia mengangguk. "Bungkus dua aja, Mas," pintanya pada si pedagang.
"Oke, Mbak," jawab si pedagang yang cukup lincah mempersiapkan pesanan pembeli.
Amia memerhatikan keadaan sekitar. Lumayan teduh, pikirnya. Dengan keberadaan pohon pelindung di kiri dan kanan, sepertinya pedagang yang satu ini tidak perlu khawatir dengan sengatan matahari. Lagipula, dia berjualan es kelapa muda yang notabenenya justru bisa menyegarkan tubuh yang kepanasan.
Amia tersenyum sendiri. Dua-tiga orang pembeli sedang menikmati kesegaran es kelapa muda tersebut di dalam gelas masing-masing. Mereka duduk di atas pembatas sebuah jembatan pendek yang menghubungkan bagian di tepi jalan tersebut dengan ruas jalan di seberang parit kecil itu. Lalu, pandangannya beralih ke tumpukan buah kelapa muda di belakang si pedagang itu sendiri. Kelapa-kelapa yang sudah dikupas dan diambil air serta isinya ditempatkan pada dua buah keranjang besar dari anyaman bambu.
Lagi-lagi gadis itu tersenyum. Bagus, pikirnya lagi. Kebersihan memang harus selalu dijaga.
"Mau duduk juga, Mbak?" tanya salah seorang di antara pelanggan.
Amia menggeleng dengan senyuman. "Segar, ya?"
"Banget," jawab perempuan itu yang ternyata adalah si gadis hitam manis bernama Ambar. "Cobain deh."
"Minum di sini dua gelas ya, Mas," pinta Amia kemudian pada si pedagang. "Yang pake gula merah."
"Ouh, oke, Mbak."
"Lhoo," kata Pak Abdul. "Terus yang itu?" tunjuknya pada dua bungkus es kelapa muda yang sudah disiapkan oleh si pedagang. "Buat siapa, Non?"
"Buat Jodi sama Teh Ikha," jawab Amia. "Buat saya dan Pak Abdul, kita minum di sini saja."
"Ouh…" Pak Abdul tersenyum dan mengangguk-angguk saja.
"Duduk, Mbak," ujar seorang lainnya. Ia dan satu temannya lantas berdiri, es kelapa muda di dalam gelas masing-masing sudah habis.
"Ouh, makasih," angguk Amia, dan lantas duduk begitu saja di atas pembatas jembatan setinggi lutut itu.
Ambar bergeser ke kanan. "Duduk di sini aja, Pak," tawarnya pada Pak Abdul.
Pak Abdul memandang pada Amia, sang majikan tersenyum mengedipkan matanya. Pak Abdul pun akhirnya duduk di tempat yang sama mengapit Amia di tengah-tengah.
"Makasih, Neng," sahut si pedagang ketika kedua gadis itu menyerahkan sejumlah uang kepadanya.
Dua orang itu segera berlalu.
"Alhamdulillah," gumam si pedagang yang dapat didengar oleh Ambar, Amia, dan Pak Abdul yang duduk tiga langkah di belakangnya itu.
Dan kemudian sang pedagang membawakan dua gelas es kelapa muda yang dipesan Amia. Memberikan gelas tersebut pada Pak Abdul dan Amia sendiri.
"Silakan," ujar si pedagang dengan sangat sopan.
"Makasih," sahut Amia.
Dan si pedagang kembali ke mejanya sebab ada dua orang pembeli lainnya yang datang menghampiri.
"Bismillah…" gumam Pak Abdul, dan lantas mencicipi es kelapa muda gula merah di tangannya itu.
"Gimana, Pak?" tanya Amia yang tersenyum memandang sang supir.
"Hemm, enak, Non," jawab Pak Abdul seraya mengaduk-aduk es kelapa muda tersebut dengan sendok yang telah disediakan. "Seger."
Amia mencicipi pula es kelapa muda di tangannya. Benar, pikirnya, terasa sangat segar. Juga, rasa manis yang tanpa pemanis buatan. Hanya rasa manis asli dari air buah kelapa itu sendiri dan gula merahnya yang menyatu menjadi rasa unik di lidah.
Sudah cukup lama sepertinya Amia tidak merasakan sensasi yang demikian itu.
"Rame ya…" ujar Amia kepada Ambar di samping kanannya.
Ambar yang sedari tadi memerhatikan kedua orang itu mengangguk-angguk. Tidak butuh waktu lama untuk mengetahui hubungan kedua orang tersebut, pikirnya. Pastilah antara majikan dan supir pribadinya.
Cewek yang beruntung, pikir Ambar. Usianya pasti sama denganku, tapi sudah menjadi seseorang yang penting kayaknya. Mungkin juga anak sultan.
"Sering minum di sini?" tanya Amia lagi.
Di mata Amia, Ambar terlihat seperti gadis tomboy dengan tanktop abu-abu bergaris hitam pada sisi sampingnya, sedikit ketat melapisi miniset warna putih di bagian dalam. Dan celana yang lebih mirip celana gembrong putih. Mungkin celana olah raga bela diri atau sejenisnya, pikir Amia. Satu tas kecil melingkari pinggangnya, dan sepatu kets putih dengan sedikit aksen kuning menutupi kakinya.
"Yaa gitu deh," Ambar tersenyum.
Ambar menunjuk ke arah kanan, lebih tepatnya sebuah bangunan di antara bangunan pertokoan yang berjejer di seberang parit.
"Saya punya tempat latihan taekwondo di sana," kata Ambar lagi. "Jadi, ya… selalu singgah di sini terlebih dahulu sebelum anak-anak itu pada ngumpul. Lagipula, gula merah asli ampuh untuk menjaga stamina dan pernapasan pas latihan nanti."
"Ouh, ya?" Amia mengangguk-angguk. "Saya baru dengar soal itu."
Tidak salah tebakanku, pikir Amia. Ternyata benar. Bukan saja dia belajar seni bela diri namun sepertinya dia juga seorang pengajar. Wajahnya juga manis, bikin betah memandang berlama-lama dengan model rambutnya yang pendek di bawah telinga.
Hemm… gumam Amia di dalam hati. Seperti mirip wajah seseorang, artis atau siapa gitu.
Ambar tersenyum lagi. "Hemm, dari orang-orang tua sih. Gak tahu juga kalau secara medis mah."
"Kalau gak salah," sahut Pak Abdul. "Orang-orang yang suka olah raga buru babi selalu makan gula merah, buat anjing-anjing pemburu mereka juga untuk menjaga stamina."
"Kok bisa tahu?" tanya Amia.
"Saya pernah lama di Sumatra dulu, Non," Pak Abdul tersenyum mengingat masa-masa mudanya dahulu. "Pernah sekali-dua ikut mereka berburu."
"Yaah," sahut Ambar tersenyum lebar. "Begitu juga yang saya dengar."
"Ouh…" lagi, Amia mengangguk-angguk.
"Ambar," ujarnya lagi seraya menyodorkan tangan kanannya kepada Amia.
Amia tersenyum, menyambut uluran tangan tersebut. "Amia. Dan ini," Amia melirik pada Pak Abdul di samping kirinya. "Pak Abdul."
"Hallo, Mbak," sapa Pak Abdul pada Ambar.
Ambar tersenyum lebar dan menganggukkan kepalanya membalas sapaan Pak Abdul. Ia kemudian meletakkan gelas es kelapa mudanya di samping kanan, lalu mengeluarkan sesuatu dari dalam tas pinggangnya itu.
"Nih," Ambar menyodorkan satu kartu nama kepada Amia. "Siapa tahu, kamu berminat untuk—yaa, sekadar latihan."
Amia tersenyum menerima kartu nama tersebut, sejenak ia memerhatikan kartu tersebut. Nama gadis itu sendiri, nama tempat latihannya, sederet nomor kontak yang bisa dihubungi. Lalu ia membalik kartu itu, di bagian belakang tertera jadwal latihan tiga kali dalam seminggu. Amia tersenyum lagi sebelum akhirnya menyimpan kartu itu ke dalam salah satu saku blazer yang ia kenakan.
"Lagipula," kata Ambar menyambung ucapannya. "Sebagai cewek, kita pun harus bisa menjaga diri dari segala kemungkinan."