webnovel

Tirai Penghalang

Ini hanya cerita sederhana seorang pemuda dalam mencari hal untuk penopang hidupnya. Seperti kebanyakan orang muda lainnya. Mencari pekerjaan, menjalin persahabatan, pencarian jati diri, dan… cinta. Drama keseharian anak manusia yang sudah biasa terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Cerita tentang kehidupan berkeluarga, meski bukan dengan orang tua kandung. Cerita tentang hubungan baik antar kakak dan adik sepupu. Tentang keakraban antar satu dan lain sahabat, meski berbeda warna, rasa, dan asal. Tentang keagungan cinta yang datang tiba-tiba, tidak pernah diharapkan, menghampiri begitu saja dalam kondisi yang tak biasa. Lantas… Bagaimana bila cinta itu ternyata indah? Bagaimana bila ternyata ia begitu tinggi? Dan bagaimana bila ternyata ia begitu berbeda dari diri? Lets find out.

Ando_Ajo · Realistic
Not enough ratings
223 Chs

Membantu Teman

"Kenapa lagi sih?" tanya Rezqi dengan wajah memelas, lagipula ia sendiri merasa masih lelah sebab habis bekerja membantu Pak Saman dan Bang Tohap. "Keknya ni hari hidup gue ribet amat yak."

Jong dan Steaven tersenyum geli memandang sahabat mereka tersebut.

"Kagak gitu, men," timpal Jong. "Elu sendiri udeh tahu kan, kalo kite-kite mau liburan."

"Itukan masih dua minggu lagi," kata Rezqi.

"Ye, emang," sahut Jong.

"Makanya gue serabutan gini, buat tambah-tambah biaya. Nggak enak hati gue mah sama lu semua."

"Lu gak perlu mikirin soal biaya dah, Rez," tukas Steaven. "Kita-kita mah paham. Yang penting, lu ikut aja, udah. Yang lain, lu nggak usah pikirin. Liburan kali ini, gua yang tanggung semua."

"Yee, gak bisa gitu juga, Steav—"

"Mau lu bilang soal prinsip lagi?" sahut Steaven memotong ucapan Rezqi. "Basi," lanjut Steaven. "Kagak mempan jurus lu itu sama gua. Paham?"

"Terserahlah," ujar Rezqi. "Terus?"

"Naah," sahut Jong. "Gue ame Steav udeh ngebahas ini tadi. Dan kayaknye, tujuan liburan kite berubah nih."

"Maksudnya?"

"Biar si Steav aje yang jelasin."

Resqi melirik pada Steaven yang tersenyum-senyum sendiri, entah apa yang ada dalam pikiran anak yang satu ini, gumam Rezqi di dalam hati.

"Gini," kata Steaven kemudian. Dan ia harus membasahi kerongkongannya terlebih dahulu dengan es teh manis. "Aah… mantap banget nih es teh."

"Brengsek!" dengus Rezqi. "Jan bertele-tele lu, Steav!"

"Iya, iya, iya…"

Steaven terkekeh lagi sementara Jong tersenyum sembari geleng-geleng kepala.

"Menurut elu nih, ya," kata Steaven kemudian. "Kalau tempat tujuan kita berlibur diganti ke tempat yang lain, gimana?"

"Bukannya kemarin-kemarin kita udah sepakat tujuannya sama," tukas Rezqi pula. "Pulau Seribu?"

"Justru karena itu, men… kita udah keseringan ke sono."

"Lhaa, terus?"

"Gua bilang ke si Jong tadi, kalau gua punya ide: untuk kali ini tujuan kita ke Labuan Bajo."

"Alamakjang!" ujar Rezqi menirukan logatnya Bang Tohap, lalu tertawa tanpa suara, menunduk dan menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Lu denger gua dulu napa?" pinta Steaven beriba sementara Jong kembali terkekeh.

"Kagak!" tukas Rezqi sembari kembali mengangkat wajah. "Kejauhan, men. Lu gila kali yak? Mau berapa juta habis duit buat ongkos pulang-pergi ke sono, hah?"

"Kan udah gua bilangin," kata Steaven tidak mau kalah. "Semua biaya gua yang tanggung."

"Brengsek!" dengus Rezqi lagi. "Tetap aja, men. Kejauhan." Ia melirik ke arah Jong. "Dan lu setuju, gitu?"

Jong mencibir seraya mengangkat kedua tangannya setinggi bahu, dan kemudian menunjuk ke arah Steaven.

"Sialan!" dengus Rezqi pada Jong. "Gue gak masalah kalau tempatnya diubah. Tapi, kalau bisa yaa… yang dekat-dekat ajalah, Steav. Kejauhan."

"Lu gak bosen di situ-situ mulu?"

"Enggak tuh," Rezqi mengendikkan bahunya. "Lagian nih ya…, belum tentu juga si Ambar ama si Dinda setuju. Taroklah mereka setuju, apa lu pikir bokap-nyokap mereka kasi ijin? Kagak bakalan, Steav."

"Itu," ujar Steaven seraya menunjuk ke arah Rezqi. "Biar jadi urusan gua. Gua yang bakal ngomong ke bokap-nyokapnya tuh cewek-cewek bedua."

"Terserah," ucap Rezqi melongos begitu saja memikirkan biaya besar yang akan dikeluarkan nanti, meski Steaven tidak mungkin mengingkari ucapannya sendiri.

"Jadi gimana," tanya Steaven lagi. "Lu setuju kagak?"

"Ngapain juga lu masih nanyain gue?" balas Rezqi dengan suara lemas. "Tetap aja lu keukeuh bakal ke sana, kan?"

"Lu-nya ikut kagak?"

"Gak tahu, aah." Rezqi menjatuhkan keningnya ke atas meja. "Puyeng gue."

"Udeh…" Jong menyela keduanya. "Lu bilangin aje terus terang ke die."

"Oke, oke, oke," Steaven mengangguk-angguk. "Gini Rez…, lu dengerin gua gak, nih?"

"Bilang ajalah," sahut Rezqi tanpa mengangkat wajah.

"Sebenarnya," ujar Steaven. "Gua mau hunting lokasi, Rez."

"Hunting lokasi?" Rezqi mengangkat wajahnya, memandang Steaven lekat-lekat. "Lu mau buka cabang di sono, gitu?"

"Yaa, gitu maksud gua."

"Ouh…"

"Jadi?"

"Ya udahlah," Rezqi menghela napas dalam-dalam. "Demi usaha lu, demi temen, gue ikut aja apa kata lu bedua dah."

"Mantap!" seru Steaven sembari memukul pelan bahu Rezqi.

"Kenape jadi gue kebawa-bawa?" sahut Jong sembari terkekeh.

"Lu bedua emang sama," balas Rezqi.

"Sialan!" dengus Jong, dan Steaven tertawa lebih lepas.

"Tapi…" ujar Steaven lagi. "Ntar bantuin gua ngomong, ye?"

"Aaah, payah!" sahut Jong.

"Kan elu sendiri tadi yang bilang," balas Rezqi pula. "Lu yang bakal ngomongin ke bokap-nyokapnya si Ambar ama Dinda. Gimana, sih?"

"Iyaaa…" Steaven tertawa pelan. "Gua yang ngomong, tapi bantuin juga."

"Huu…"

***

Amia Calva sudah menunggu cukup lama di ruangan pribadinya itu, menunggu kedatangan seseorang guna melakukan sesi interview. Hanya saja, sampai sejauh itu sosok yang ditunggu-tunggu belum juga menampakkan batang hidungnya. Padahal, Amia sengaja membatalkan satu-dua kegiatannya yang lain hanya untuk hal yang satu ini saja.

Kembali ia melirik arloji di pergelangan tangannya. Pukul empat lewat sepuluh menit.

Amia menghela napas dalam-dalam. Sepertinya dia tidak akan datang, pikirnya. Mungkin saja si gadil kecil tadi pagi itu lupa memberitahukan kepada orang yang bersangkutan. Dan bisa pula orang yang bersangkutan tersebut yang sengaja tidak datang. Mungkin, karena hari ini adalah hari libur bagi kantor pada umumnya, sehingga dia berpikir sang adik mungkin saja hanya bercanda kepada orang tersebut.

Untuk memastikan lebih lanjut, Amia membuka lagi map hijau yang berisi CV seseorang di atas mejanya itu. Lalu mengangkat telepon di sisi kanan meja, memencet urutan nomor yang tertera pada CV di hadapannya.

"Yep," gumam Amia setelah sekian saat panggilan itu tidak dijawab-jawab oleh orang yang ia hubungi.

Pada akhirnya, Amia memutuskan untuk meninggalkan ruangan tersebut.

Di bawah, Pak Abdul dengan mobilnya sudah menunggu kedatangan Amia. Bergegas saja Amia mendekati, dan segera masuk ke dalam mobil di bangku belakang.

"Langsung pulang aja, Pak."

"Baik, Non," sahut Pak Abdul. "Tapi entar kita singgah sebentar ya, Non. Soalnya Den Jodi pesan es kelapa muda gula merah."

"Apa gak bisa dipesan online saja?"

"Kayaknya, pedagang es kelapa itu gak pakai fasilitas kek gitu, Non."

"Ouh," ujar Amia. "Ya sudah."

Selama perjalanan pulang itu, tidak banyak percakapan yang terjadi antara Pak Abdul dengan sang majikan. Pak Abdul sudah cukup hapal dengan sifat Amia, ia tidak akan berani mengajak bicara bila tidak diminta oleh Amia sendiri. Ia cukup memaklumi, mengurus banyak perusahaan untuk orang yang masih semuda sang majikan tentulah bukan perkara mudah.

Di satu kawasan yang berdekatan dengan sebuah persimpangan, Pak Abdul menghentikan laju kendaraannya.

"Di sini?"

"Iya, Non," ujar Pak Abdul seraya bermaksud keluar dari dalam mobil.

Di sisi kiri itu, ada seorang pedagang es kelapa muda. Ada satu meja yang tidak besar, di atas meja terdapat dua tank—orang-orang lebih mengenal wadah itu dengan nama: aquarium es buah—kecil berisi air dan daging kelapa muda yang sudah dicampur dengan es batu. Satu tank berwarna putih yang sepertinya tanpa campuran apa-apa, dan tank satunya lagi berisi es kelapa muda berwarna kecoklatan. Mungkin itu yang dimaksudkan Pak Abdul, pikir Amia yang mengawasi keadaan di luar sana.