Entah berapa lama aku tidak sadarkan diri dan tertidur di cafe itu, bahkan mimpi apa yang melintas dalam tidur saat itu sama sekali tidak bisa kuingat.
"Ya sudahlah, kalo memang aku tak bisa mengingatnya berarti mimpi itu tidak pentingkan?" pikirku.
Saat itu aku terbangunkan oleh guncangan-guncangan di kepala nan terasa seperti ada yang menampar di sekitar ubun-ubun. Saat membuka mata, terlihat sebuah meja makan serta sebuah lengan yang terhimpit di antara mulutku dan meja itu. Begitu mengangkat kepala serta badan serta bersandar pada kursi yang sedang kududuki, nampak bercak air yang baunya seperti air liur di lengan itu, tepat di tempat mulutku menempel tadi.
Ketika sedang mengumpulkan nyawa yang baru saja terpecah-belah ke berbagai dimensi lain, terdengar suara seorang pria di samping kiriku, "Mas? halo?"
Kuangkat mata dan menolehkan pandangan ke kiri, terlihat seorang pria mengenakan kemeja hitam yang dibalut dengan jaket. Beberapa saat setelah nyawa dan kesadaran terkumpul semua, baru aku sadar bahwa dia adalah pelayan yang mengantarkan pesanan kami, bertepatan dengan itu pula aku menyadari kalau Laras, Aldo, dan Rian sudah tidak ada.
"Huffftt.... syukurlah! saya kira mas kenapa-napa!" ucap pelayan itu.
"Eh? emang saya kenapa mas?" tanyaku.
Seketika itu pula aku merasakan mual yang mendadak merangkak naik dari ulu hati ke ujung tenggorokan serta kepala yang terasa seperti menopang puluhan gajah Africa. Dengan sigap kututup mulut itu menggunakan tangan mencegah isi lambung yang sudah siap meledak di mulutku. Seolah tau apa yang sedang terjadi, pelayan itu langsung menunjuk pintu dengan sebuah plank bertuliskan toilet di depannya.
Tanpa pikir panjang, aku langsung berlari ke pintu itu, membukanya, dan memuntahkan semua yang sudah terkumpul di dalam mulut dengan empat hentakan ke dalam lubang genangan closet yang ada disitu, hingga mulut dan dada terasa benar-benar lapang.
Dengan nafas yang masih terengah-engah, aku usap bibir menggunakan punggung tangan sambil tangan yang lain menekan tombol penyiram closetnya. Air genangan closet nan sudah bercampur dengan cairan merah dari muntahanku itu perlahan berputar dan mengalir turun layaknya pusaran air di lautan darah, lalu digantikan dengan genangan air yang baru.
Begitu membalikkan badan setelah terpukau akan fenomena itu, ternyata pelayan tadi sudah menunggu di depan pintu sambil menenteng tas ranselku, selain itu matanya juga menyorot tajam mengintimidasi ke arahku. Sambil pura-pura mengabaikan sorotan matanya itu, aku perlahan mulai berjalan hendak keluar dari toilet.
Namun ketika aku sudah berada di bawah ambang pintu, tangan kanan pelayan itu merentang lebar seakan melarangku keluar dari tempat itu.
"Per...permisi mas, saya mau keluar!" pintaku dengan nada rendah.
"Sebentar." Kemudian pandangan matanya yang tadi menyorot tajam ke arahku, kini beralih melirik ruangan di belakangku, terutama di bagian sekitar closet yang nampaknya dia perhatikan dengan serius.
"Udah lu siram kan?" tanya pelayan itu.
"Udah kok mas! tadi kan masnya bisa denger sendiri suaranya!" jawabku.
"Oke oke! gua cuma gak mau besok dapet kerjaan tambahan bersihin muntahan lu!" jelas pelayan itu sambil menurunkan tangannya.
Setelah sama-sama terdiam dan saling menatap, pelayan itupun melemparkan tasku sambil berkata, "yaudah! tangkep nih!"
Dengan cekatan, akupun berhasil memeluknya erat, yah walaupun tidak sempat menangkap lemparannya, dan juga terjatuh ke lantai serta beberapa kali terlepas dari genggaman.
"Terima kasih Mas, maaf saya sudah merepotkan Masnya!" ucapku sambil menundukan kepalaku.
"Iya, iya! udah cepet pulang sana! pengen gua tutup ini cafe!" perintah pelayan itu.
Kemudian aku berjalan melewati pelayan itu sambil sekali lagi mengucapkan terima kasih padanya, "Sekali saya terima kasih ya Mas!"
Ketika mencapai ruang makan cafe itu, tidak terlihat satu orangpun disana, hanya ada beberapa meja serta kursi kosong yang sudah rapih dan bersih. Sesaat setelah itu pula aku mengalihkan pandangan ke arah jendela, dan dibaliknya nampak jalan raya yang beratapkan langit malam nan gelap, serta cahaya jingga dari lampu jalan bak sebuah hiasan berkilau yang menyinarinya. Namun tiba-tiba saja sebuah truk bercontainer besar lewat menyadarkanku dari terpukau akan pemandangan itu.
Setelah kembali tersadar, kukeluarkan kunci motor dari dalam tas, dan segera keluar dari cafe yang sepi itu. Saat sudah memakai helm dan tengah bersiap untuk pulang di atas motorku, tau-tau terdengar suara seperti silinder pintu yang tengah diputar, lantas aku langsung menoleh ke belakang dibuatnya.
Dan terlihat pelayan tadi yang sepertinya baru saja selesai mengunci pintu cafe itu, serta menaruh kuncinya di dalam saku jaket yang dia kenakan.
Aku lantas melambaikan tangan sambil berpamitan kepadanya, "Duluan ya Mas!"
Selanjutnya aku mulai menyalakan mesin motor, dan menarik gas menjauh dari cafe itu. Dengan kepala yang terasa sangat ringan, kususuri jalanan kota tengah malam yang benar-benar sepi, sama sekali tak ada satu pun kendaraan lain yang melintas, mulai dari jalan di depan cafe sampai jalanan blok rumahku. Saking sepinya, bahkan perjalanan yang harusnya cukup lama itu tak terasa sudah sampai berakhir, dengan aku yang sudah tiba di tempat tujuannya, yaitu rumahku dengan sebuah lampu yang sudah menyinari terasnya, padahal seperti baru terasa beberapa detik yang lalu masih berada di depan cafe itu.
Begitu selesai memarkirkan motor di garasi, aku lekas berjalan ke depan pintu rumah sambil mengeluarkan kuncinya dari dalam tas. Namun saat menekan gagang pintu itu, pintu itu terdorong masuk sedikit, seperti tidak ada lagi badan kunci yang menahannya di sisi kanan kusennya. Lantas kuayunkan tangan yang menggenggamnya sedikit, agar pintu itu terdorong dan terbuka lebih lebar.
Begitu pintu itu terbuka lebar, terlihat ibu yang tengah duduk di sofa menatapku tajam serta dahinya yang mengerut, dan telapak tangan kirinya yang mengepal keras seperti batu di atas lengan sofa.
"Darimana kamu jam segini baru pulang?" bentak ibu.
"Habis keluar main sama temen Mak!" jawabku dengan nada rendah.
"Ngapain aja tengah malem gini baru pulang?" tanya ibu.
Aku yang tidak mau ibu tau lebih jauh tentang hal ini, karena tak mau dia sampai menganggap bahwa teman-teman baruku telah membawa pengaruh yang buruk padaku, hanya bisa diam menunduk. Sesekali kulirik-lirik wajah ibu mencari kesempatan serta alasan agar terlepas suasana yang tidak nyaman itu.
"Hahhhh... yaudah sana ke kamar ganti baju! kalo laper, itu di meja makan ada makanan" perintah ibu sambil menunjuk ke kamar tidurku yang pintunya sudah terbuka lebar.
Dengan segera, aku menuju kamar tidur sambil menggenggam kunci di kepalan tangan kanan. Begitu sampai di dalam kamar tidur berdinding putih dengan sebuah tempat tidur cukup luas dan sebuah lemari kayu, serta jendela yang tertutup rapat itu, aku lekas melempar tas, melepas semua kancing kemeja seragamku, lalu merobohkan badan, telentang ke atas tempat tidur.
Baru saja menghela nafas dan ingin bersantai sejenak melepas semua lelah, namun tiba-tiba saja ada hembusan angin sedingin es yang berhembus dari leher sebelah kiri, sampai-sampai tubuhku tersentak bangun dan terduduk. Lalu bersamaan dengan aroma bunga melati serta lampu kamar yang berkedip-kedip layaknya adegan di film film horor yang pernah kutonton, terdengar suara seperti tangisan seorang perempuan, dan suaranya itu seakan berbisik halus di telingaku
Hiikhs... hiikhs... hiikhs... hiikhs
Selang beberapa menit setelah suasana yang begitu mencekam yang sampai membuat dada dan perutku mengembang mengempis beriringan dengan sangat cepat, serta keringat yang mengucur deras dari dahi mulai membasahi kedua pipi, akhirnya aku bisa sedikit bernafas lega, karena lampu yang sudah kembali menyala dengan normal, dan suara rintihan itupun telah menghilang. Saat itu sebenarnya aku ingin langsung loncat ke sisi tempat tidur dan segera berlari keluar dari ruangan itu, namun entah mengapa tangan serta kaki tidak dapat digerakkan sama sekali.
Walaupun begitu, aku tetap merasa sangat lega, sampai mulutku mengeluarkan beberapa hembusan nafas berat berusaha mengatur pompaan udara di dadaku.
Huffftt.... huffftt... huffftt....
Namun tak sampai satu menit berusaha mengatur nafas, dada serta perut perlahan kembali mengembang dan mengempis saling beriringan seirama dengan udara yang keluar masuk melalui hidungku.
Hal itu disebabkan karena kedua kelopak bola mataku terbuka selebar-lebarnya menangkap sesosok seperti manusia tengah duduk meringkuk di atas lemari di sampingku, sosok itu nampak seperti seorang perempuan berambut panjang serta mengenakan daster putih panjang berlumuran cairan berwarna merah gelap. Cairan itu mengalir deras dari dalam dasternya, lalu berubah menjadi tetesan-tetesan yang jatuh dari tepi lemari, dan menggenangi lantai di bawahnya.
Tes... tes.... tes...
Berikan saya kritik!
Berikan saya saran!
Berikan saya vote!
Add novel ini ke library anda!
Thanks to you, karena sudah mau mampir!