Serangan dari lawan tidak membuat Vincent menggeser kakinya. Pria itu berdiri anggun di tempat dengan tangan kanan memegang pedang panjang. Sekali lagi makhluk tak beradab itu menyerang maju, seketika dia terhenti saat cakarannya di atas kepala ditahan sebilah pedang. "Kau tak pantas menyentuhku," tegas Vincent. Keangkuhan nadanya dibuktikan oleh tindakan ketika dia mengayunkan pedang, dan dengan mudah makhluk besar itu terhempas hingga membentur tembok. Atap bangunan berguncang dan garis retakan merambat ke atas.
Axelia gemetar. Syok. Nyaris saja tembok didekatnya hancur. Kakinya gemetar saat menarik langkah mundur. Menjaga jarak aman dari area pertarungan mereka. Lalu dia merosot bersandar di dinding. Lemas. Keluar dari desa Rumh yang menjadi tempat dia tumbuh bersama kebencian warga desa, apakah jalan terbaik untuknya yang baru pertama kali berada di dunia luar yang ternyata jauh lebih mengancam jiwa? Axelia sadar bahwa dirinya bisa mati kapan saja jika ditinggal sendirian di tanah berbahaya. Dan sekarang dia benar-benar didekati oleh bahaya ketika sejumlah bayangan merah -seukuran manusia yang terlihat oleh mata jiwanya- berjalan gontai naik ke atas perbukitan ini.
Exval muncul dari bawah sana.
Axelia bangkit dengan bantuan meraba tembok. Sensitif terhadap gerak, perhatian Exval langsung terkunci pada satu objek. Kehadiran satu manusia di depan mereka bagaikan magnet yang menarik langkah secepat berlari mendekat.
Walaupun datang tidak bergerombol seperti yang sedang terjadi di bawah sana, tetap saja celah untuk kabur telah terhalau karena mereka berada disisi kanan dan kiri. Lari mereka cepat, sementara Axelia terpaku dengan tembok bangunan gereja memblokir jalannya. Tinggal menunggu hitungan detik sebelum mereka menggigitnya. Posisi ini membuat Axelia seperti kelinci yang terpojok predator. Gadis itu berdiri gemetar ketika otaknya sedang memutar keras mencari cara meloloskan diri. Dia tidak membawa senjata tajam, bagaimana bisa bertarung melawan mereka?
***
"Ibu!" seru seorang pria tawanan. Ingat? Sewaktu perkemahan, Nightroad Zero membawa dua pria yang melakukan kejahatan terhadap wanita. Kini kedua tawanan yang akan diadili di kota berdiri ketajutan di tengah kekacauan.
Pria tawanan itu terkejut melihat wanita baya yang dia panggil ibu telah menjadi Exval. Jelas saja sekeras apa pun dia berteriak memanggilnya bermaksud agar tersadar, usaha tersebut merupakan kesia-siaan yang menjadi penyesalan. Dia berjalan menghampiri ibunya yang berada tepat dua meter dihadapan. Dia mulai menyadari dosanya sendiri selama ini. Melakukan kejahatan kepada wanita, bersikap buruk kepada ibunya, pergi dari rumah hanya karena kesal pada omelan beliau, rasa sesal itu sekarang menggerogoti benaknya setelah tahu sang ibu tiada. Malahan, beliau mati dengan menjadi Exval. Hati anak mana yang tidak sakit melihat ibu menjadi mayat berjalan?
"Ibu! Ini aku! Anakmu!" Dia menangis sementara wanita baya itu melebarkan rahangnya. Air liur meleleh dari mulutnya. Matanya memerah. Seburuk apa pun rupanya sekarang, jiwa wanita baya ini sudah tidak menempati raganya. Begitulah makhluk Exval. Semua orang tahu informasi tersebut selain bisa menularkan kondisi serupa pada manusia normal. Tetapi, pria tawanan itu tetap mendekat, sampai kemudian dia peluk tubuh ibunya dengan erat sambil menangis. Rasa sakit dibenak tidak sebanding dengan sakit di lehernya ketika Exval-ibunya menancapkan taring.
"Apa yang dilakukan si bodoh itu!" geram Bernandes. Sayangnya dia terlambat untuk mencegah pria tawanan itu jadi Exval. Bernandes mengeratkan genggamannya. Pemandangan di depan mata bukan tidak mungkin sering terjadi. Kini dia harus menghancurkan pasangan ibu dan anak itu. "Cih! Kenapa harus mengorbankan penduduk desa?" keluh Bernandes geram.
Di lain sisi, Julian mengarahkan anak panahnya. Membidik satu per satu ke tubuh Exval tanpa meleset dari atas atap rumah. Tak jauh di bawahnya, satu tebasan membelah tubuh seorang warga, wujudnya segera lenyap dan kemudian Aiden mengedarkan pandangannya. Anggota Nightroad Zero lainnya terlihat masih berjibaku melawan musuh. Berapa sih jumlah penduduk di desa ini? Rasa-rasanya mereka tak ada habisnya. Keluhan apa pun tidak akan berdampak pada peristiwa yang sedang berlangsung. Yang dia pikirkan saat ini hanya keselamatan Axelia.
Tunggulah sebentar lagi, Axelia.
Menebas setiap tubuh Exval yang menghadang, Aiden terus melangkah maju menuju jalan di mana Axelia pergi tadi.
***