Setelah pulang sekolah, Illona baru bertemu lagi dengan Hugo. Karena laki-laki itu mengirim pesan padanya dan berkata sedang menunggunya di gerbang sekolah. Tanpa menunggu lama, Illona segera berlari ke sana dan mengabaikan beberapa orang yang memanggilnya.
Dengan napas terengah-engah, kini Illona tiba di hadapan Andre dan Hugo yang tengah bersandar di dinding bercat krem. Kedua laki-laki itu kompak meminta Illona untuk mengatur napas. Namun, Hugo dengan segera melayangkan tatapan tajam ke arah sahabatnya hingga membuat Andre mengangkat kedua tangannya seolah tahu apa yang di maksud sahabatnya itu.
Melihat respon Hugo seperti itu, Andre paham betul bahwa sahabatnya itu sudah memahami bagaimana perasaannya sendiri. Ia pun dengan segera berpamitan dan meminta kedua remaja yang tersisa untuk menikmati waktu bersama.
Tidak ada balasan dari Illona maupun Hugo. Mereka hanya meminta Andre untuk berhati-hati. Baru setelah laki-laki itu hilang dari ruang pandang keduanya, mereka lalu melanjutkan perjalanan ke arah rumah Illona.
Hugo mengajak Illona untuk pergi dari halte lain, karena ia masih ingin berjalan berdampingan bersama gadis itu. Illona pun tidak menolak, sebab dirinya masih ingin bertanya kenapa saat istirahat Hugo bersikap aneh.
Setelah melewati beberapa halte, keduanya berhenti sejenak di taman bermain. Selain untuk beristirahat, Hugo juga berkata ingin mengatakan sesuatu kepada Illona.
"Apa yang ingin kamu katakan, Hugo?" tanya Illona. Sebab sejak dua puluh menit, Hugo hanya terdiam cemas hingga membuat gadis itu semakin merasa penasaran.
"Hah?" Hugo menoleh kaget karena mendengar suara yang menyertakan namanya. Laki-laki itu lantas menatap gadis yang menatap ke arahnya dengan tatapan penasaran. Meski tahu itu, bibir Hugo terasa kelu. Ia sulit untuk mengungkapkan apa yang sudah ada di benaknya.
"Hugo?" Illona menyentuh tangan Hugo yang tengah melamun sembari memegangi lutut.
"Ah, maaf, maaf, " ucap Hugo. "Jadi sebenarnya ... apa kamu mau mengajariku matematika?" teriak Hugo sembari memejamkan mata. Ia yang semula duduk kini berdiri sembari memegangi celananya.
'Hah, bodoh! Kenapa jadi matematika!' Hugo memejamkan mata karena ia salah bicara. Dia pun hanya bisa menggerutu dalam hati karena bibirnya masih belum bisa mengatakan apa yang sebenarnya ingin ia katakan.
Kini tawa Illona terdengar. Gadis itu tidak menyangka Hugo sampai keringat dingin hanya untuk meminta bantuannya.
"Tidak usah malu, tidak apa-apa, aku akan mengajarimu," ucap Illona sembari menyentuh pundak Hugo.
Tingkah gadis itu membuat Hugo tidak bisa berkata apa pun. Memang benar laki-lagi itu lemah dalam matematika, tetapi dirinya sudah ikut bimbingan belajar di luar jam sekolah. Hingga sejenak membuat Hugo bingung harus bagaimana.
'Sudahlah, iyakan saja. Lumayan bisa terus bersama Illona!' Hugo tersenyum sembari membatin. "Baiklah, kalau begitu, mohon bantuannya," ucap Hugo sembari tersenyum.
Illona mengangguk pelan. Ia kemudian bertanya kapan Hugo senggang. Sebab gadis itu harus menyesuaikan dengan jadwal kerjanya terlebih dahulu. Selain itu, gadis yang tengah duduk di ayunan juga bertanya di mana mereka akan belajar bersama.
Sembari tersenyum Hugo berkata bahwa dirinya tidak masalah jika harus belajar bersama di rumah Illona. Laki-laki itu menjelaskan bahwa dirinya tidak mau membuat Illona kerepotan untuk pergi kesana kemari. Dia juga mengatakan bahwa jadwal belajar bersama mereka bisa menyesuaikan jadwal Illona saat senggang saja.
"Ah, itu pun kalau kamu tidak keberatan aku pergi ke rumahmu," ucap Hugo. Ia menggaruk kepalanya dan kembali duduk.
Suara tawa Illona menyambung perkataan Hugo yang sudah terhenti. "Tidak masalah. Justru aku yang tidak enak karena tempat tinggalku sempit. Tapi kalau kamu mau, dengan senang hati pintu terbuka lebar untukmu!"
Hugo menyambut positif kata-kata gadis itu. Sebab yang dipedulikannya bukan tempat, melainkan kebersamaan mereka dan sosok cantik itu di sampingnya.
Akhirnya, setelah kesepakatan bersama, keduanya memutuskan akan belajar bersama dua kali dalam seminggu saat Illona tidak bekerja dan saat Hugo tidak ada jadwal bimbingan belajar. Karena sudah mencapai keputusan bersama, mereka pun segera kembali ke rumah masing-masing karena hari semakin sore.
Awalnya Hugo ingin mengantar Illona, tetapi gadis itu menolak karena ia merasa tidak enak hati harus membuat laki-laki itu jauh-jauh pergi ke rumahnya dan kemudian pergi lagi. Laki-laki itu pun menurut saja, sebab tidak mau dikira terlalu memaksa.
***
Satu minggu setelah perbincangan di taman, Illona dan Hugo memulai kegiatan belajar bersama. Meski laki-laki itu fokus mendengarkan gadis yang lebih pintar darinya, tetapi ia tidak mau kehilangan kesempatan untuk menatap Illona. Alhasil, jika ada kesempatan Hugo pun memandangi gadis itu tanpa sepengetahuan sang gadis.
Hal itu terus berlangsung tanpa sepengetahuan Illona. Namun, suatu ketika Illona tidak sengaja mengalihkan pandangan dari buku dan membuat kedua insan itu saling tatap. Hugo pun gelagapan, tetapi Illona justru bertanya ada apa dengan Hugo. Ia juga bertanya apakah Hugo kesulitan hingga tidak berani bertanya.
Gadis itu memang sedang salah paham. Ia mengira demikian, padahal Hugo menatapnya karena suka. Namun, laki-laki itu sedikit lega karena perasaannya tidak ketahuan. Sayangnya, Hugo tidak tahu kalau Illona pun sedang berteriak kegirangan di dalam hatinya karena mata mereka yang saling beradu.
"A-apa kamu mau makan dulu?" tanya Illona. Gadis yang semula tenang tiba-tiba merasa gugup. Ia jadi mengalihkan pembicaraan dengan ajakan makan.
"Kamu lapar?" tanya Hugo. Illona pun mengangguk mendengar pertanyaan yang terlontar untuknya. "Ya sudah, kita pesan makanan saja ya," ucap laki-laki berseragam sekolah.
"Baiklah," jawab Illona singkat. Ia pun segera mengatakan apa yang ingin dimakannya.
Sembari menunggu pesanan datang, dua remaja itu asyik berbincang. Mulanya Illona membahas soal pelajaran dan bertanya bagian mana yang masih belum Hugo pahami. Namun, lama-lama pembicaraan itu beralih membicarakan satu sama lain.
Bukan tanpa sebab, tetapi Hugo yang berterima kasih karena nilainya meningkat, lama-kelaman membicarakan keluarganya yang memintanya untuk mendapat nilai maksimal. Karena itulah, perbincangan jadi merambat kemana-mana.
"Apa tidak apa-apa kalau kamu pulang malam terus seperti ini?" tanya Illona. Dari perbincangan mereka sejak tadi, ia menangkap kalau keluarga Hugo begitu ketat.
"Tidak. Mau aku tidak pulang juga tidak masalah," jawab Hugo. Tangannya meraih gelas di depannya dan dia pun segera meneguk air mineral yang disiapkan Illona. "Keluargaku semuanya sibuk. Tidak ada yang peduli satu sama lain. Yang penting bagi mereka hanya hasil akhirnya. Jadi, kami akan berkumpul saat pembagian nilai," terang Hugo.
Gadis itu menjadi semakin bingung. Meski tidak punya keluarga, ia selalu beranggapan bahwa keluarga adalah sesuatu yang manis. Saling bergantung satu sama lain, selalu menceritakan kegiatan masing-masing, dan lebih banyak menghabiskan waktu bersama.
Meski gadis yang tengah menatap Hugo sadar bahwa itu hanya pemikirannya, tetapi dia masih tidak menyangka bahwa kehidupan orang lain yang terlihat bahagia juga terlalu rumit. Padahal selama ini Illona melihat hubungan keluarga orang di sekitarnya semua baik-baik saja.