"Emang apa?"
"Ini soal orang, yang abis makan pedes. Soalnya gue kasih delapan sendok sambal, terus pas dia kepedesan Amel malah pancurin air minumnya," jelas Abel dengan gelak tawanya.
Amel, dan Stella pun ikut tertawa dengan sangat keras. Namun, Alzam hanya menatap ketiga gadis itu dengan tatapan kosong, dan penuh kebencian.
"Lo gila ya!" ucap Alzam kesal.
"Kok gila sih Sayang? Kita bertiga ini waras, kamu aja yang terlalu peduli sama nerta," sahut Stella lembut.
"Lo bisa gak sih punya hati yang baik? Gak usah ngerundung anak orang sampai sejauh ini, kalau dia kenapa-kenapa gimana?! Kalau ternyata dia punya riwayat penyakit lambung gimana?!"
Stella menghela, melipat kedua tangannya di depan dada, "Kalau ternyata engga gimana? Lagian kalau bener kaya gitu, aku mau kok bayar semua biaya rumah sakit."
"Stella, mendingan lo diem ketimbang ngebuat anak orang jadi gak waras!"
"Alzam, itu asik tahu! Aku seneng bisa main sama nerta, apa lagi waktu liat wajahnya yang nahan pedes tadi, lucu banget!" sahut Stella.
Kening Alzam bertaut dalam, "Lo udah gak waras, mendingan pergi cek ke dokter sekarang, sebelum terlambat!"
Alzam segera melenggang pergi dengan berlari, membuat Stella terus meneriaki namanya dengan sangat kencang. Raut muka gadis itu berubah menjadi merah padam, di tambah dengan rahang yang mengeras.
"Sabar Stella!" ucap Amel.
"Awas lo nerta, liat aja pembalasan dari gue!" gumam Stella kesal.
****
Gadis itu berjalan dengan gontai menuju rooftop sekolah. Tatapannya masih kosong, tapi terlihat penuh dengan kebencian.
Hembusan angin kencang itu membuat rambutnya terbang, dan berantakan. Terlihat kusut, dan jelek, tapi Ebi tak mempedulikan kondisi rambutnya saat ini. Ia hanya memandang lurus ke depan, menatap pemandangan kota sambil menempelkan kedua tangannya pada pembatas.
Helaan napas pertamanya keluar, rasanya ingin berlari dengan kencang untuk mengusir rasa tidak enak itu. Rasanya ingin lenyap ketika orang-orang itu datang untuk merundungnya, dan rasanya ingin lenyap ketika takdir kembali mempermainkan dirinya.
Ebi merasa kesal, bosan, dan pusing dengan permainan takdir yang tak pernah ada habisnya. Lingkaran itu terus berputar, memberikan banyak kejutan yang sangat menyakitkan.
"Kenapa kemarin aku gak bolehin mati Tuhan? Kenapa aku harus hidup?" teriaknya dengan air mata yang terus mengalir, "Gunanya aku hidup itu apa sih? Kenapa aku harus hidup kalau isi takdirnya itu jelek semua?! Aku capek, aku udah capek sama takdir yang Tuhan kasih."
Gadis itu berteriak dengan kesal, ia kembali naik seperti dulu. Berdiri di atas sana tanpa ada pengaman.
"Aku capek!!" teriaknya, "Hidup gak pernah adil buat orang miskin, hidup gak pernah adil buat orang jelek, dan hidup gak pernah adil buat orang yang gak punya orang tua."
"Tuhan yang ngasih kehidupan Ta, dan Tuhan tahu yang terbaik buat hamba-Nya."
Suara familiar itu membuat Ebi menoleh, menatap Alzam yang berjalan mendekatinya.
"Takdir Tuhan selalu indah, gak pernah jelek Ta. Apa yang Tuhan kasih, itu yang terbaik buat kita. Kamu jangan gegabah, mengakhiri hidup itu bukan pilihan yang tepat," ucap Alzam sebelum akhirnya menghentikan langkah kakinya di dekat Ebi.
"Buat apa aku hidup Al? Aku udah capek, aku capek jadi manusia, aku capek harus ngerasain pahitnya kehidupan."
"Terus kalau capek, kamu harus bunuh diri? Kalau capek, apa harus tidur selamanya? Apa harus kaya gitu?" tanya Alzam kecewa.
"Iya! Itu harus buat aku, karena aku udah gak mau hidup lagi. Aku capek Al, kamu gak pernah tahu gimana rasanya jadi aku!"
"Aku emang gak ngerti gimana rasanya jadi kamu Ta, tapi aku tahu gimana rasanya kecewa sama takdir Tuhan. Aku tahu gimana rasanya jenuh, dan muak sama kehidupan yang gak pernah adil. Aku tahu itu Ta."
"Kalau kamu tahu, biarin aku mati!"
"Itu Ta, itu yang gak bisa aku biarin. Kalau aku bisa bertahan sampai sini, kenapa kamu gak bisa? Kalau aku bisa hidup bahagia meskipun sedikit, kenapa kamu engga?"
"Tiap manusia beda Al, kamu gak bisa samain!"
Alzam terdiam, menatap Ebi dengan tatapan sendunya, "Turun ya Ta, ceritain semuanya ke aku! Biar aku tahu gimana pahitnya kehidupan kamu."
Alzam berjalan mendekat, dan Ebi pun mulai turun dengan perlahan. Mereka berdua duduk di salah satu bangku yang terbuat dari beton. Saling membisu tanpa menatap satu sama lain.
"Aku bingung mau mulai darimana, aku juga bingung mau cerita atau engga," ucap Ebi setelah diam beberapa lama.
"Kenapa bingung Ta?"
Gadis itu menggeleng pelan, memberikan senyuman tipis, dan berkata, "Aku takut kamu menjauh."
Alzam tertawa kecil, mengambil napas panjang sebelum akhirnya menoleh ke arah Ebi.
"Keluargaku gak utuh Ta, mama sama papa bercerai waktu umurku masih delapan tahun."
Cerita itu membuat Ebi menoleh cepat, raut mukanya nampak terkejut, dan kasihan kepada Alzam.
Ia tidak menyangka jika cowok yang menurutnya sangat periang itu memiliki sisi kelam. Hampir sama dengan kehidupannya, tapi tetap saja takdir kehidupan mereka berdua tidak bisa di samakan.
"Hidupku hancur waktu itu, mama pergi gak tahu kemana, papa pun pergi sama perempuan lain. Aku di rumah sama mbak, sampai aku segede ini. Terus mama juga masih sama, suka pergi sama cowok lain yang selalu aja ganti setiap hari," jelas Alzam dengan senyum tipisnya.
"Al, aku gak tahu kalau hidup kamu juga kelam."
"Semua kehidupan itu pasti ada sisi kelamnya Ta, gak cuman kamu atau aku. Semua orang, pasti punya."
"Terus kamu sekarang tinggal sama mama kamu? Papa kamu kemana?" tanya Ebi penasaran.
"Mama, aku gak tahu papa di mana, yang pasti papa udah gak tinggal di Indonesia. Kata mama, papa netap di luar negeri, cuman gak di kasih tahu negara mana," sahut Alzam, "Setiap hari aku suka bertengkar sama mama."
"Al, itu gak boleh!"
Alzam terkekeh kecil, "Aku tahu kok, cuman itu satu-satunya cara buat dapet perhatian dari mama Ta. Cuman itu caranya biar aku bisa ngobrol sama mama."
Ebi terdiam, ia baru sadar jika apa yang di lakukan setiap manusia itu memiliki alasan. Kali ini ia mendengar alasan yang terasa menyakitkan dari Alzam.
"Aku pikir itu perlu, tapi lebih baik lagi kalau kamu ngasih tahu mama kamu soal perhatian kecil itu Al."
"Harusnya Ta, tapi mama gak pernah mau luangin waktunya."
"Hm, terus sekarang aku boleh cerita?" tanya Ebi.
"Boleh."
"Waktu aku lahir, mama titipin aku ke bibi, adik kandung mama. Di saat itu juga papa meninggal, jadi mama pergi sama pacarnya buat nikah di luar negeri. Aku hidup sama bibi, dan gak gratis, harus ada imbalan yang aku kasih ke beliau," jelas Ebi menahan tangis.
"Jadi kamu gak pernah lihat orang tua kamu?"
Ebi menggeleng, "Bahkan bibi gak pernah ngasih tahu soal mereka, dari ciri-ciri atau foto. Aku gak tahu kenapa, tapi ini nyiksa aku."
Alzam terdiam sejenak, menggenggam tangan kanan Ebi sambil memberikan senyuman hangat, "Jangan pergi lagi Ta, jangan pernah lepasin genggaman ini ya! Aku janji bakalan jagain kamu, dan buat kamu bahagia."
***