14 MANUSIA

Mentari muncul menyinari, siluetnya ikut masuk ke dalam kelas pagi ini. Beberapa gadis di sana mulai merogoh tas ransel masing-masing, mengambil satu buah benda yang bertuliskan sunscreen pada badan wadahnya.

Mengambil sedikit, dan mulai mengoleskannya pada permukaan wajah. Sesekali mereka tertawa sambil menepuk-nepuk kulit wajah itu dengan pelan.

"Lo gak pake sunscreen Ta?" tanya gadis berponi itu.

Gadis yang sedang sibuk membaca komik di bawah sinar matahari itu menoleh dengan tatapan dinginnya.

"Gue udah pake sebelum pergi ke sekolah," sahutnya.

Alsa menghela sambil mengangguk mengerti, "Lo bawa sunscreen-nya gak?"

"Bawa, kenapa dah? Kepo banget lu jadi temen."

"Gak gitu Tata, kan gue cuman nanya doang. Lagian kalau lu gak bawa, nanti pas reply gue kasih minta," jelas Alsa.

Tata hanya menatap Alsa sambil berkedip untuk beberapa saat, sampai akhirnya perhatiannya kembali beralih pada komik yang di genggamnya sejak tadi.

Judulnya Banana Fish, komik populer di kalangan remaja yang katanya memiliki alur cerita menarik.

"Permisi."

Suara itu membuat Tata menoleh, dan segera beranjak dari duduknya, "Maaf ya."

Ebi tersenyum tulus sambil mengangguk, "Gapapa Ta, santai aja!"

Gadis itu mulai mengepel lantai kelas dengan pelan, berjalan mundur dengan berhati-hati agar tidak menabrak teman kelasnya yang sedang berdiri sambil belajar dengan teman sebangkunya.

"Na, di bagian deket meja guru kotor banget, tolong ya!" ucap Andy sambil menunjuk bagian yang di maksud.

Ebi menoleh ke arah yang di maksud, kemudian menganggukkan kepala sebelum akhirnya pergi.

Lantai pojok itu sangat kotor, perlu tenaga ekstra yang harus di keluarkan Ebi. Namun, tetap saja kotor, lama untuk bersih seperti semula. Entah apa yang membuatnya menjadi kerak membandel seperti ini, padahal Ebi tak pernah melihat orang pergi mengotori area ini.

Suara tawa yang terdengar sangat familiar itu membuat Ebi berhenti sejenak. Namun, Ebi tidak berani untuk menoleh ke belakang karena dia tahu suara siapa itu. Gadis-gadis yang sangat di hindarinya, pagi ini datang untuk mampir.

"Ta, ngepel kok cuman di situ doang sih?" ucap Amel yang mulai duduk di atas meja guru.

"Yah! Ta, gak sengaja jatoh," pekik Abel sambil menutup mulutnya dengan tangan kanan.

Ebi segera menoleh, tatapannya terlihat lelah, dan kesal. Namun, apa boleh buat? Tak ada lagi yang bisa ia lakukan selain kembali mengepel, dan membuang ice cream cokelat milik Abel.

"Biar aku bersihin," ucap Ebi sebelum berjongkok sambil mengambil ice cream kotor itu dengan tangan kanannya.

Namun, salah satu kaki dengan sengaja menginjak tangannya yang sedang menyentuh ice cream. Tekanan yang sangat kuat, dengan rasa dingin membuat Ebi kesakitan. Gadis itu mengernyitkan dahi, menoleh ke atas untuk memohon.

Stella hanya tersenyum senang, kedua tangannya di lipat di depan dada, "Kenapa Ta? Enak apa gimana?"

"Sakit," sahut Ebi pelan.

Ketiga gadis itu tertawa senang di atas penderitaan Ebi.

"Stella, sakit," ucap Ebi pelan sambil mencoba untuk menarik tangannya, tapi tetap saja gagal.

Stella menekan tangan itu dengan sangat kuat, dan akhirnya ia melepaskan Ebi dengan helaan napas yang panjang.

Ice cream-nya pun telah mencair, dan Ebi segera mengambil kain lap di belakang. Kembali datang sambil berlari, dan mulai membersihkan ice cream yang telah mencair itu dengan cepat. Ia segera mengepelnya dengan cepat, kemudian berlari keluar.

Mencuci kain lapnya yang sudah kotor dengan air bersih. Setelah di peras dengan sekuat tenaga, Ebi kembali berjalan menuju kelasnya dengan santai.

Namun, kedua netranya berubah menjadi membulat. Ia segera berlari, dan menegakkan kembali ember yang telah tertidur itu. Seluruh airnya keluar, membasahi lantai kelas dengan tidak rata.

"Maaf ya Ta, tadi kesandung," ucap Abel tanpa rasa bersalah.

"Kamu bisa gak sih diem aja? Jangan bikin kerjaan aku makin banyak!" sahut Ebi dengan kesal.

"Loh? Kan gak sengaja Ta, jangan baper dong Ta, gak sengaja itu beda sama kata sengaja."

"Aku gak peduli, tapi intinya apa yang kamu bilang itu beda. Aku tahu kamu bohong, kamu sengaja numpahin air pel, dan kamu sengaja buat jatohin ice cream cokelat itu juga," sahut Ebi panjang lebar.

"Jadi lo nuduh gue?!" Abel mulai berjalan, dan menjambak rambut panjang Ebi dengan begitu erat.

"Kalian semua kenapa sih selalu main fisik?"

"Karena asik!" teriak Abel yang kali ini menarik rambut Ebi dengan lebih kencang, hingga membuat gadis itu jatuh.

Ebi terdiam menahan rasa sakit, ia terus memperhatikan rok sekolahnya yang mulai basah akibat air pel. Sementara ketiga gadis yang sedang berdiri itu tertawa terbahak-bahak sambil menatapnya jijik.

"Punya mata gak sih Ta? Punya telinga juga gak sih Ta?" tanya Stella.

Ebi masih terdiam, kemudian mendongak, menatap Stella dengan tatapan dingin yang menusuk.

Stella mulai menekuk salah satu kakinya, menoyor kepala Ebi beberapa kali sambil berkata, "Gue bilang jauhin alzam, bukan malah makin deket! Lo punya kuping gak sih?"

"Kenapa aku harus nurut sama yang kamu suruh? Kenapa aku harus ngedengerin kamu?"

"Karena gue pacarnya alzam!"

"Kalau pacar, kenapa alzam lebih pilih aku daripada kamu? Kenapa alzam ngejar-ngejar aku, dan gak mau jauh-jauh dari aku? Kenapa?!"

Ebi menoleh ke arah kanan dengan sangat cepat, dan pipi kirinya berubah menjadi merah. Gadis itu tersenyum, menyentuh pipi yang terkena tamparan dari Stella barusan.

"Aku sabar, dan aku tahu kamu itu emosi karena cemburu, tapi gak main fisik juga solusinya," ucap Ebi dengan menatap mata Stella.

"Berani ya lo sekarang, apa gara-gara alzam? Atau karena lo yang ngerasa lebih baik dari gue?"

"Engga."

Stella menatap Ebi dengan tatapan sinisnya, dan kembali menampar gadis itu hingga sudut bibirnya membali mengeluarkan darah segar.

"Bacot!" ucap Stella sebelum akhirnya berjalan keluar bersama kedua temannya.

****

Pemandangan yang terpampang terlihat sangat indah, dengan senja yang mulai terlihat di depan mata. Warna jingganya membuat suasana hati yang tadinya kacau berubah menjadi bahagia.

Senyuman kembali terukir dengan begitu tipis, tapi tetap terlihat jelas pada wajah cantiknya sore ini.

Ebi merubah senyum tipisnya menjadi senyuman lebar, mengambil napas dalam-dalam, dan mengeluarkannya dengan begitu pelan. Rasanya seperti terlahir kembali tanpa merasa beban ketika menikmati senja di atas gedung sekolah tanpa ada satu orang pun di sana.

"Wow! Cakep banget, tapi sayang ada kuman di sini."

Suara itu membuat Ebi menoleh dengan kening bertaut. Perlawanannya tak membuahkan hasil, gadis-gadis itu masih mengincarnya. Kali ini ada sebuah kotak kecil yang di pegang Abel, membuat Ebi bertanya-tanya dengan perasaan curiga. Soal benda apa yang mereka simpan.

****

avataravatar
Next chapter