***
"Bagaimana ini?"
"Aku tidak tahu. Coba kau ketuk saja lagi."
"Kenapa aku terus yang mengetuknya? Kau juga dong!"
"Huh, tadi pagi kan sudah aku. Sekarang giliran kau, En."
"Iya juga sih...." Tangan Eni terangkat kembali dan mengetuk pintu tersebut. Lagi-lagi hasilnya pun sama, tak ada jawaban dari dalam sana.
"Hmm, bagaimana kalau kita tidak usah membangunkan mereka? Kau tahu kan maksudku, En... mereka mungkin kelelahan karena sesuatu yang terjadi semalam."
Eni terbelalak. "Jadi, suara yang semalam...?" Dia menutup mulutnya, tanda terkejut. "Aku kira itu hanya suara imajinasiku saja."
Gray menghela napas pelan dan mengangguk.
"Astaga! Pantas saja tidak bangun-bangun! Suaranya sedahsyat itu!" seru Eni dengan menggebu-gebu.
Gray mengangguk. Dia setuju sepenuhnya dengan Eni. Walaupun telinga kanan dari kirinya sudah ditutup dengan bantal, tapi sayangnya dia masih bisa mendengar erangan dan desahan yang berasal dari kamar pasangan baru di depannya.
"Tapi kan, Nyonya...." Eni merujuk pada perintah Nyonya yang menyuruh mereka untuk membawa dua orang itu ke ruang makan saat jam makan siang. Karena mereka berdua sudah melewatkan sarapan.
"Hufhh, soal itu... aku juga kasihan dengan perut mereka. Tapi, sepertinya lebih baik kita biarkan mereka beristirahat dulu. Saat mereka bangun, kita bisa mengantar...."
"Ada apa ini?" tanya Carelia. Dia memang sengaja datang ke sana untuk memeriksa putra-putrinya. "Mereka belum bangun juga?" Carelia melirik pintu di depannya.
"Belum, Nyonya. Saya sudah mengetuknya, tapi tidak ada jawaban sama sekali dari dalam."
Carelia mendekat, kemudian mengetuk pintunya.
"Yang Mulia? Yang Mulia?"
"Apa kalian sudah bangun?"
Satu detik, dua detik, tiga detik. Tidak ada jawaban satupun yang terdengar dari balik pintu.
Carelia menggeleng pelan. "Biasanya Arunika mudah terbangun. Hah... kalau sampai begini kan aku jadi penasaran... sampai jam berapa mereka melakukannya?"
'Sampai fajar tadi, Nyonya...!' jawab dua dayang tersebut yang hanya mampu menyahut di dalam hati dengan wajah tersipu.
Dia menghela napas kasar. "Yah... kalau begini akan sedikit sulit bagi putriku untuk menghadapi para tetua dari keluargaku. Mereka kan sangat menghargai pertemuan."
"Kalau begitu bukankah kami harus membangunkan Yang Mulia dan permaisuri lagi?" tanya Eni sambil meremas jari-jari tangannya.
Carelia mengangguk pelan. Wajahnya sedikit kusut. Sejujurnya dia sangat mengkhawatirkan putrinya yang mungkin akan diceramahi oleh para tetua keluarganya dari Caledonia. Kalau Gasendra... siapa yang berani menceramahi dia? Bahkan tetua di keluarga mereka saja tidak punya hak untuk menceramahi keluarga kerajaan.
"Kenapa ramai-ramai begini?"
Mereka menoleh dan mendapatkan Yasawirya yang datang dari arah kiri.
"Belum bangun juga?" tanyanya dengan alis yang menukik.
"Yah, begitulah...." Carelia mengedikkan bahu.
Yasawirya berjalan melewati Eni, Gray, dan Carelia. Dengan tubuh yang gagah dia berdiri tepat di depan pintu dan mengetuknya agak keras.
"Yang Mulia, bangun! Hari sudah siang!"
"Hah!"
"Astaga...!"
"Ya ampun, Tuaaan!" seru mereka kaget sekaligus panik mendengar Yasawirya yang membangunkan pasangan baru itu dengan suara keras.
Yasawirya menghentikan ketukan dan memasang telinga untuk mendengar jawaban dari dalam sana.
"Yang Mulia, bangun! Sudah waktunya jam makan siang!" Karena tidak masih ada jawaban, dia terpaksa dengan sengaja berteriak lagi.
"Hentikan, Ya Ampun...!" seru Carelia. Seketika dia merasa pusing dengan kelakuan suaminya yang cukup tidak sopan pada anggota keluarga kerajaan.
Yasawirya hendak mengetuk pintunya lagi, tapi dia segera menghentikannya saat mendengar sahutan dari dalam.
"Ya, tunggu sebentar! Kami akan bangun!"
***
Gasendra mengernyitkan dahi saat merasakan panas. Dia menurunkan tubuh untuk bersembunyi di balik selimut dan bersandar pada dada Arunika. Sungguh, dia masih mengantuk untuk bangun sepagi ini.
'Suara siapa itu? Kenapa berisik sekali...?'
Namun, matanya sulit sekali untuk dibuka. Dia memutuskan untuk tidur lagi tanpa rasa bersalah. Toh, dia dan Arunika juga kelelahan setelah bergulat semalaman penuh di atas ranjang. Biarkan mereka bangun sedikit lebih siang.
Gasendra semakin mengernyitkan dahi saat suara-suara ketukan tersebut semakin sering terdengar.
'Harusnya mereka tahu jika pengantin baru tidak akan bangun pagi setelah malam pertama.'
"Yang Mulia, bangun! Sudah waktunya jam makan siang!"
'Ya, nanti kami akan bangun jika sudah-- Hah? Jam makan siang?!'
Sontak Gasendra membuka matanya dengan lebar-lebar. Dia mendongak, menatap wajah Arunika yang masih tertidur pulas dengan wajah kelelahan.
Gasendra mengambil posisi duduk. Dia merasakan panas yang menyengat di kulit dan menoleh, menatap jendela yang ternyata semalam lupa untuk ditutup. Matahari sudah sepenuhnya naik ke atas. Pantas saja tadi dia merasakan panas yang terasa di pundak dan punggungnya.
Dia berdeham, menghilangkan suara serak khas bangun tidur.
"Ya, tunggu sebentar! Kami akan bangun!"
***
Selepas makan siang bersama para tetua dengan kondisi yang hampir telat, baru bangun tidur, dan terlihat kelelahan. Di sinilah Gasendra berakhir bersama dengan 'Ayah Mertua' untuk memainkan catur kuno di ruang istirahat dan hanya berdua saja.
Walaupun tak ada yang memulai berbicara, tapi tangan mereka aktif menaruh bidak-bidak untuk mengalahkan satu sama lain.
"Saya tidak tahu anda suka bermain catur," ujar Gasendra memulai pembicaraan.
"Yah... hanya di waktu luang saja. Kenapa anda bicara sesopan itu, Yang Mulia?"
Gasendra tersentak. Dia mengingat beberapa waktu lalu dia sempat berbicara dengan menggunakan kata 'kau dan aku'.
"Anda Ayah mertua saya dan orang yang lebih tua."
"Hmm... baiklah. Tidak buruk juga dihormati oleh orang yang selalu dihormati di kerajaan ini," ujar Yasawirya dengan kekehan kecil di akhir.
Gasendra pun menanggapinya dengan senyuman. Dia sungguhan ketika menjawabnya.
"Saya tidak selalu dihormati di kerajaan ini. Ada saja yang masih tidak menghormati putra mahkota. Walaupun begitu, saya tidak terlalu mempermasalahkannya karena mereka tidak menunjukkannya di depan saya." Tangannya mengambil bidak dan meletakkannya tanpa keraguan. Dia menelan bidak milik Yasawirya dan tersenyum, kemudian mengambil bidak yang kini menjadi miliknya. "Lagipula lebih banyak orang yang menghormati dan mencintai saya."
"Hmm... anda tahu, Yang Mulia?"
"Kekhawatiranmu--ah, anda?"
Yasawirya mendongak. Dia menyandarkan kepalanya di tangan.
"Senang melihat anda merasa kesulitan."
"Haha, lelucon macam apa itu?"
"Sayangnya itu bukan lelucon. Saya serius ketika mengatakannya. Itu berarti tidak hanya putri saya yang akan kesulitan. Anda juga kesulitan untuk merefleksikan diri di keluarga kami walaupun hanya sebentar. Tapi, kan putri saya... akan berada di istana dalam waktu yang lama."
"Saya cukup mengerti kekhawatiran anda."
"Itu karena aku tidak buta-buta sekali dengan keadaan di istana," ujar Yasawirya sambil tersenyum lebar. Kini, dia yang menelan bidak milik Gasendra.
"Yah, istana memang begitu. Tapi, karena saya sudah memutuskan untuk mencintai, menikahi, dan membawanya ke sana, saya juga akan melindunginya."
"Saya mengerti. Putri saya juga akan melindungi dirinya sendiri, walaupun saya masih sedikit khawatir."
"Kenapa?"
"Karena Yang Mulia tidak selalu berada di sisinya seharian penuh, Arunika juga harus bisa melindungi dirinya sendiri."
———