***
"Melindungi diri dari orang-orang istana?"
"Begitulah. Oh! anda cukup mahir bermain catur," sahut Yasawirya karena bidaknya kembali diambil Gasendra.
"Di peperangan saya tidak boleh menggerakan bidak yang salah."
"Jadi, sekarang anda menganggap ini perang?"
Gasendra tersentak. Dia menghentikan tangannya yang hendak mengambil bidak, kemudian mendongak.
"...Tidak."
"Hahaha, wajah anda terlihat lucu saat kaget, Yang Mulia. Santai saja... saya hanya bercanda."
Gasendra melanjutkan pergerakan tangannya dan... skakmat.
"Wow, selamat! Anda menang dan saya kalah!" seru Yasawirya.
"Terima kasih."
Mereka meminum anggur merah yang dituangkan pelayan.
"Ini pertama kalinya ada orang yang mengalahkan saya selain Arunika."
"Arunika bisa bermain catur?" tanya Gasendra terkejut.
"Dia anak yang pandai. Bisa menguasai semua hal karena ada keinginan yang besar untuk belajar. Jadi, tidak heran dia bisa bermain catur yang hanya bisa dimainkan oleh para lelaki."
"Ini sebuah informasi baru bagi saya. Lain kali saya pasti akan mengajaknya bermain catur."
"Itu ide bagus." Mereka kembali menyesap anggur merah dari gelas.
Yasawirya meletakkan gelas dengan perlahan. "Yang Mulia, sekarang bisakah saya bicara hal yang lebih serius? Seperti memberikan nasehat untuk anda sebagai seorang ayah, suami, ayah mertua, dan juga rakyat anda...?"
Bibir Gasendra sedikit terbuka. "Sebuah kehormatan untuk mendapatkan nasehat yang sepertinya akan sangat berharga."
Yasawirya tersenyum kecil. "Ya, ini mungkin akan sangat berharga. Jadi, tolong dengarkan dengan baik jika anda mau mendapatkan nasehat."
"Saya menantikannya."
"Saya sudah bilang tadi kalau Arunika adalah anak yang pandai. Dia bisa menguasai sesuatu dengan sempurna ketika ada kemauan keras untuk belajar. Tentu saja saya merasa sangat bangga akan hal itu. Saya terus mendukungnya untuk lebih berkembang lagi."
"Tapi, baru kali ini saya merasa jika sifatnya yang seperti itu akan sedikit berbahaya jika dibawa ke istana."
Gasendra menaikkan sebelah alis. Bertanya-tanya dengan alasannya.
"Anda bingung, kan? Awalnya saya juga begitu, tapi ternyata ada alasannya. Itu karena saya takut sifatnya yang seperti itu akan membawa malapetaka bagi dirinya."
"Saya mengerti."
"Menjadi seorang suami itu sulit, Yang Mulia. Anda akan lebih sering mengalah pada pasangan jika ingin semuanya terselesaikan dengan baik. Jika tidak... siap-siap saja hubungan pernikahan akan menjadi dingin. Aneh, kan? Padahal sebelum menikah, seorang pria tidak akan mengalah apapun alasannya. Tapi, begitu menikah... pria lah yang akan lebih sering mengalah. Pasti suatu saat akan ada situasi di mana anda merasa itu hal yang memalukan, tapi juga membanggakan."
"Itu benar."
"Terkadang anda juga harus meminta maaf walaupun bukan anda yang salah. Itu semata-mata hanya untuk mempertahankan hubungan pernikahan. Anda masih mencintainya dan tak mau kehilangannya. Wanita sulit untuk meminta maaf karena ingin pria duluan yang meminta maaf. Jika sudah saling bermaafan, pasti mereka akan merangkul kita dengan erat. Pria yang harus menurunkan ego dan gengsi. Itulah mengapa menjadi suami yang baik terasa sulit."
"Jika gagak merasa sulit melindungi satu emas miliknya, bagaimana jika gagak itu memiliki dua emas?"
Yasawirya mendongak, menatap menantunya yang kini sudah menyadari hendak dibawa ke mana nasehat ini.
"Itu akan lebih sulit."
"Ya, itu akan lebih sulit. Jadi, jangan melupakan emas pertama setelah mendapatkan emas ke dua. Jangan bersikap tak acuh pada emas pertama karena ia juga emas. Mau tak mau anda harus menyayangi emas yang anda miliki karena anda yang mengambilnya. Mengerti maksud saya?"
"Saya mengerti."
"Dan emas yang lebih disayangi akan mendapatkan marabahaya karena akan banyak gagak yang mengincarnya. Gagak-gagak lain akan tahu jika emas yang lebih anda sayangi itu sangat berharga bagi anda. Lalu, emas yang lama akan cemburu pada anda."
"Maaf, bisakah kita mengubah emas menjadi wanita saja? Saya agak tidak nyaman membayangkan emas sebagai makhluk hidup."
"Anda ini... itu kan hanya perumpamaan, tapi ya sudahlah."
"Jadi... wanita yang lama akan cemburu karena anda berusaha keras untuk melindungi yang ke dua. Ketika anda melindungi yang ke dua, anda akan melupakan dan tak memedulikan yang pertama karena terlalu sibuk mencari cara untuk melindunginya. Dan itu salah, salah besar. Itu akan menjadi mata pisau yang tajam bagi wanita ke dua."
"Lalu... apa yang harus saya lakukan?"
"Wanita itu mudah melakukan sesuatu yang berbahaya jika gelap mata. Jadi, alternatifnya... anda harus menyayangi keduanya. Karena kembali lagi, jika gagak telah membawa dua emas yang berharga."
Gasendra terdiam. Tapi, emas yang pertama... dia tak menginginkannya. Dia hanya meletakkannya di dalam sangkar, tapi tidak tertarik dengannya.
"Anda tahu? Ini pemikiran yang sedikit kasar. Sebelumnya saya mohon pengampunan anda."
"Ya, katakan apa pemikiran yang kasar itu."
"Terkadang saya berpikir anda adalah pria yang brengsek."
"Mau anda menyukainya atau tidak, tapi kan anda sudah mengambilnya? Itu adalah tanggung jawab anda. Walaupun emas itu diletakkan oleh gagak lain di sangkar anda, tapi anda tetap mengambilnya, anda meletakkannya di dalam sangkar, tidak menolaknya dengan kasar atau membuangnya tanpa perasaan. Sebenarnya anda juga kasihan kan dengan emas pertama yang diserahkan secara cuma-cuma kepada anda? Makanya anda tidak bisa menolak ataupun membuangnya. Apa saya salah?"
Gasendra tidak menyahut. Bukan karena dia marah, tapi karena apa yang dikatakan Yasawirya sepenuhnya benar. Dia memang membenci Agni, tapi dia juga kasihan padanya. Dia tahu Agni adalah umpan yang dilempar keluarganya secara cuma-cuma agar martabat keluarganya naik.
"Rasa kasihan atau apapun itu... ini belum terlalu terlambat. Saya mau anda tidak hanya mempedulikan putri saya saja, tapi juga Yang Mulia Putri Mahkota karena dia juga emas yang anda ambil."
Yasawirya mengambil gelas dan menyesap anggur merah lagi. Membiarkan Gasendra terhanyut dalam pikirannya.
"Tapi... itu agak sulit."
"Kesulitan selalu ada ketika anda ingin memulai sesuatu yang baru. Tidak apa, saya tidak akan memaksakan anda sampai ke tahap mencintai putri mahkota."
"Saya juga tidak berniat mencintainya."
"...Saya sedikit terkejut."
"Karena saya hanya akan mencintai satu wanita, seperti ayah."
"Itu juga membuat saya terkejut. Jadi, selama ini anda menjadikan ayah sendiri sebagai panutan dalam percintaan?"
Yasawirya terkekeh. Sepengetahuannya, hubungan mereka berdua terkesan dingin. Tapi, dia tak menyangka jika sang anak tetap menjadikan ayahnya sebagai panutan.
"Memangnya tidak boleh?"
"Boleh saja. Hanya pemikiran anda sedikit menyimpang. Jika Yang Mulia Raja mendapatkan cintanya karena turun tangan sendiri dan anda tidak. Tapi, menurut saya... jika anda menjadikannya sebagai panutan, anda pasti akan mencintai Putri Agni juga."
"Kenapa begitu?"
"Kalau saya jadi anda, saya akan berpikir... cinta pada setiap orang datang dengan cara yang berbeda."
"Itu tak pernah terpikirkan olehku. Bukankah pemikiran itu sedikit konyol? Bagaimana jika saya jatuh cinta dengan pencuri yang mencuri di kamar saya? Apa saya masih bisa berpikir jika cinta itu datang dengan cara yang berbeda?"
Yasawirya tertawa. "Itu baru pemikiran yang konyol. Siapa pencuri gila yang mau mencuri di kamar putra mahkota?"
"Tidak ada."
Yasawirya meletakkan gelasnya di atas meja. "Lagipula saya hanya menebak pemikiran anda jika berpanutan pada Yang Mulia Raja. Ayah anda sangat menghormati cinta, kan? Yah, kalau saya salah... lupakan saja semua perkataan saya yang tadi."
"...Tidak juga."
Mereka terdiam cukup lama. Yasawirya menatap Gasendra yang terlihat seperti sedang menimang-nimang sesuatu.
"Nah, karena saya sudah memberikan nasehat sebagai ayah mertua dan suami. Sekarang saatnya saya memberikan nasehat sebagai ayah dan rakyat. Saya tidak akan lama untuk yang dua ini, karena anda pasti sudah menyadarinya."
"Ya, anda boleh melanjutkannya."
"Ada baiknya jika anda tidak terlalu menjaga putri saya. Karena saya ingin dia bisa menjaga dirinya sendiri dan tak terlalu bergantung pada anda. Saya tahu suami adalah sandaran bagi istri, begitu pula sebaliknya. Namun, tidak ada yang tahu kapan pasangan kita pergi untuk selamanya. Putri saya harus menjadi anak yang kuat, itu keinginan saya."
"Jika itu yang anda inginkan, saya akan melakukannya. Saya juga ingin Arunika menjadi istri dan permaisuri yang kuat."
"Hah... ini menyulitkan." Yasawirya memegang kepalanya. "Hidup di istana itu sulit."
"Anda bicara dengan orang yang sudah dua puluh lima tahun hidup di istana."
"Dua puluh lima tahun saja masih sulit, apalagi Arunika yang baru akan datang. Saya ingin dia kuat, tapi saya juga pernah berpikir, sepertinya tidak menjadi kuat bagus juga untuk posisinya. Jadi serba salah...."
"Itulah kehidupan di istana."
Yasawirya menghela napas panjang. "Yah... itulah kehidupan di istana. Mewah, tapi berduri."
"Lalu sebagai rakyat?"
"Ini hal yang sudah pasti, sih. Sebagai calon raja, jangan pernah mengambil pilihan yang sembrono, apalagi soal tahta penerus. Saya tahu ini masih terlalu lama untuk dibahas. Sejujurnya, saya tidak mengharapkan cucu saya menjadi calon raja karena jika itu terjadi, maka akan ada perang saudara yang dahsyat. Dan itu akan menyulitkan rakyat. Anda yang lebih paham maksud saya di bagian ini."
"Tentunya saya sangat mengerti."
"...." Yasawirya menatap Gasendra. Dia menghela napas. "Saya berharap anda akan menjadi pria, suami, ayah, dan raja yang baik dan bijaksana."
"Terima kasih atas harapannya. Saya akan berusaha agar harapan itu terwujud." Gasendra mengangkat gelasnya dan mengangguk kecil. Dia menegak habis anggur merah.
"Kalau sudah seperti ini, saya harus tenang dan merelakan kepergian putri saya ke istana."
"Tidak apa jika anda masih khawatir."
"Anda mau membuat saya insomnia setiap malam?"
"Saya tidak tahu anda sangat memikirkan semua hal itu, sampai bisa memberikan nasehat yang sangat berarti."
"Itu pujian, kan?" Yasawirya terkekeh masam.
"Ya, pujian yang sangat tulus."
"Ya, ya, ya, ya~"
***
Empat hari kemudian
"Jaga dirimu baik-baik, Arunika."
"Iya, Ayah." Arunika sedikit bertanya-tanya karena ayahnya hanya mengatakan sepatah dua kata dan memeluknya saja. Malah Ibunya yang menangis dan memeluk erat karena sulit berpisah dengannya. Dia kira Ayahnya yang akan seperti itu, tapi nyatanya tidak.
"Ayah akan sangat merindukanmu. Pintu Keluarga Arya selalu terbuka untukmu, Nak. Datanglah ke sini kapan pun kau mau, mengerti?"
"Aku juga akan saangat merindukan Ayah. Aku pasti akan datang ke sini."
Ayah dan anak itu saling bertatapan. Berbicara lewat mata dan hati ke hati. Yasawirya tersenyum sambil mengangguk. Arunika meneguk saliva dan mengangguk perlahan.
"Arunika?" panggil Gasendra. Dia mengulurkan tangan. "Sudah siap?"
Arunika berbalik. Dia menyambut tangan Gasendra dan menjawab mantap. "Aku sudah siap."
Mereka bergandengan menuju kereta kuda yang disiapkan oleh Keluarga Arya. Eni dan Gray juga ikut ke istana dengan kereta kuda yang berbeda. Ada Balges Ivan dan beberapa ksatria yang juga mengawal kepergian mereka ke istana.
Arunika sesekali menoleh ke belakang. Melihat keluarga dan rumah yang hangat dan sangat dicintainya.
Tubuhnya perlahan menaiki kereta kuda dibantu oleh Gasendra. Tak sekalipun matanya beralih dari pemandangan hangat dan haru di sana.
"Sampai jumpa lagi, Ayah, Ibu!" Dia melambaikan tangan saat kereta kuda mulai berjalan dan semakin menjauh.
Wajah Arunika semakin muram saat melewati pintu perbatasan Urdapalay. Dan Gasendra sangat menyadarinya.
Arunika tiba-tiba meregangkan tubuh, lalu mengusap mata.
"Butuh sapu tangan?"
"Huh? Tidak. Aku hanya sedikit mengantuk karena sulit tidur semalam."
Gasendra mengangguk, tapi tangannya sudah mempersiapkan sapu tangan di balik saku.
"Sekarang aku sudah meninggalkan keluarga, rumah, dan desaku."
"Kau tidak meninggalkan mereka untuk selamanya, Arunika. Kita bisa berkunjung ke sini kapan pun kau mau."
Arunika mengangguk pelan. Dia bersandar pada dinding kereta dan melihat pemandangan di luar sana.
"Iya, kan? Kita pasti akan datang lagi ke sini-- huh?"
"Kau menangis, Arunika." Kali ini Gasendra mendekat pada Arunika dan mengelap air matanya.
"Tidak, ini karena aku mengantuk."
"Sudah kukatakan kalau kau butuh sapu tangan."
Arunika tak bergeming. Air matanya yang berjatuhan terus diseka oleh Gasendra.
"Ya... ternyata aku butuh sapu tangan."
———