***
Perasaan dan ungkapan cinta yang tulus itu tersampaikan lewat hisapan dan kecupan lembut dari lidah dan bibir yang saling mencari.
Seperti racun dan penawar yang saling membutuhkan, begitulah yang terjadi di antara mereka. Saling mengecup, menghisap, dan membelai tanpa paksaan. Hanya ada kelembutan di sana sampai membuat mereka sulit untuk bernapas karena terlalu tenggelam dengan manisnya.
"Uhmm ...." Tangan Arunika meremas baju Gasendra saat benar-benar tak bisa bernapas. Jantungnya terlalu berdegup kencang, tapi jujur ... dia tak mau menyudahi hal ini.
"Phuahh!" Bibir mereka terlepas satu sama lain. Namun, mata mereka masih menatap pada satu tujuan, bibir lawan.
Mereka masih satu tujuan, masih ingin mencecap rasa manis itu.
Napas Arunika masih tersengal-sengal, tapi bibir lawannya sudah menempel lagi padanya. Lidahnya terjulur, mencari jalan masuk, dan Arunika dengan mudah memberikan akses untuk menikmatinya.
Lidahnya membelai semua bagian, bahkan sampai ke tempat sensitifnya dan itu membuat Arunika mengerang centil.
"Nghhh ...."
Gasendra membuka matanya di sela-sela ciuman dan membawa tubuh Arunika untuk duduk di atasnya.
"Mmhh!" Dia terkejut saat merasakan tubuhnya yang melayang, kemudian terduduk di atas paha Gasendra. Mereka tersenyum dalam kecupan, kemudian menutup matanya lagi, dan kembali menjelajahi rasa manis itu.
Lidah mereka saling mencari, kemudian membelit, lalu menjilat dan menghisapnya. Tangan Gasendra memeluk pinggang dan punggung Arunika agar tak terjatuh walaupun duduk di atasnya. Sementara sebelah tangan Arunika membawa belakang kepalanya agar tak melepaskan ciuman itu dan yang sebelahnya lagi dia kalungkan di leher Gasendra.
Deru napas kian memanas dan ciuman itu berakhir dengan Gasendra yang melepasnya lebih dahulu.
"Sampai di sini saja. Akan bahaya jika diteruskan."
Arunika mengangguk pelan sambil mengatur napasnya. Keduanya saling menatap, sebelum akhirnya tertawa saat menyadari posisi mereka.
"Turunkan aku," pinta Arunika dengan rona merah di pipi dan telinga.
Bukannya diturunkan, Gasendra malah membawa tubuh Arunika mendekat padanya. Pria itu mengelus rambut panjang Arunika dengan jantung yang berdegup kencang.
"Ingat bahwa aku selalu mencintaimu."
Samar-samar dia merasakan Arunika mengangguk. Gasendra tersenyum simpul mengingat rentetan kejadian yang belum lama terjadi, namun mampu membuatnya dilambungkan pada kebahagiaan.
Sebelum akhirnya dia menekuk wajah dan berkata dengan dingin.
"Mau sampai kapan kau mengintip kami, Tuan Balges Yang Terhormat?"
***
Sesampainya Balges di tempat yang ditunjukkan oleh sang pelayan, dia segera bersembunyi di balik semak saat melihat dua insan itu sedang berciuman mesra di bawah sinar rembulan.
Dari jarak sejauh ini Balges tahu jika itu adalah ciuman yang menggelora dan membangkitkan gairah. Namun, dia tak bisa menghentikan ataupun tak melihatnya. Dia memutuskan untuk tetap diam dan mengamati keduanya.
Ini kesempatan yang bagus, pikirnya. Kapan lagi dia bisa melihat pangeran sekaligus teman masa kecilnya terhanyut oleh wanita?
Matanya seakan keluar tatkala melihat Gasendra yang membawa Arunika untuk duduk di atas pahanya. Dia merasakan wajahnya yang memanas karena malu dan menutup wajahnya dengan sebelah tangan.
'Wah, aku tak menyangka jika dia sehebat itu!' batin Balges saat melihat Gasendra yang mengambil inisiatif duluan untuk mengubah posisi berciuman mereka.
'Tapi, sampai kapan aku terus begini?' Dia menunduk saat menyadari posisinya saat ini sedang berjongkok.
'Betapa berdosanya aku .... Ya Dewa, mohon maafkan aku!' Balges menangkupkan kedua tangannya dan memandang langit yang jauh di atas sana.
"Mau sampai kapan kau mengintip kami, Tuan Balges Yang Terhormat?"
Dia tersentak dan mengalihkan pandangan pada pangeran yang memeluk Arunika.
'Ah, sudah selesai ternyata.'
Dia bangkit dari tempatnya dan menggaruk tengkuk sambil memasang senyum lebar.
"Apa saya boleh keluar, Yang Mulia?"
"Lebih baik kau kembali jika hanya ingin menganggu," usir Gasendra. Dia berbicara sambil menangani Arunika yang kelimpungan karena rasa malu.
'Sejak kapan Tuan Balges ada di sana? Dan apa dia melihat kami? Dari kapan dia melihat kami?'
Wajah Arunika kian memanas saat memikirkan hal itu. Dia menyembunyikan wajahnya di dada Gasendra dan tentu saja itu membuat sang tuan merasa senang.
"Tidak, saya tidak mengganggu anda dan Nona Arya. Tapi, Yang Mulia Raja meminta kalian untuk kembali ke aula utama."
"Mengapa harus?"
"Karena kalian sudah terlalu lama meninggalkan aula utama. Dan sebentar lagi acaranya akan menuju bagian akhir." Balges memutuskan untuk berbicara dari jarak sejauh itu. Dia tak ingin mendekat karena tak mau jika dirinya berakhir dengan diikat di tiang selama berhari-hari.
Arunika berbisik pada Gasendra. "Ku rasa lebih baik kita kembali sekarang."
"Aku masih ingin denganmu. Kau tahu, kan? Kita akan dipingit." Gasendra tampak tak setuju dengan usulan Arunika. Persiapan untuk dipingit harus memiliki daya yang penuh agar dia tak merasakan hidup segan, mati tak mau.
"Ini sudah terlalu lama, Yang Mulia." Arunika menjauhkan wajahnya dari dada Gasendra dan bersiap untuk berdiri.
Gasendra menghela napas panjang, sebelum akhirnya menyetujui usulan Arunika. Dia membantu untuk menurunkan sang pujaan hati dari pahanya dan menyusulnya berdiri.
Balges tersenyum saat melihat keputusan yang diambil oleh ke:dua pasangan itu. Masalahnya ini sudah lewat setengah jam dari titah yang diberikan oleh Yang Mulia Raja.
'Mungkin saja acaranya benar-benar sudah berakhir,' batin Balges. Namun, dia tetap diam dan tersenyum simpul menatap keduanya.
'Em ... bibir mereka benar-benar luar biasa!' Dia terkejut saat melihat keadaan kedua bibir pasangan yang jauh di hadapannya membengkak dan ada pewarna bibir Arunika di bibir Gasendra.
"Yang Mulia, apa saya boleh mendekat?"
"Jika kau ingin mendapat hadiah dariku, silakan mendekat."
"Saya tidak akan." Balges memutuskan untuk berada di tempatnya. Namun, dia mengeluarkan sapu tangan yang berada di saku, persiapan jika pangeran dan Nona Arya mendekat padanya. Maka, ia kan memberikannya pada pangeran untuk mengusap tanda kepemilikan di bibirnya.
"Kawal kami, Balges!"
"Baik, Yang Mulia." Balges sedikit membungkuk, kemudian berjalan keluar dari semak dan bersiap mengawal ke duanya dengan posisi sigap.
Saat pangeran dan Nona Arya akan mendekat padanya. Balges memberikan sapu tangan kepada pangeran dan ditanggapi dengan delikan.
"Bibir anda, Yang Mulia."
"Ah!" Arunika berjengit, kemudian mengambil sapu tangan Balges dan dengan sigap menghapus bekas pewarna bibirnya yang tercetak di bibir Gasendra.
"Hah ... ku kira apa," hela Gasendra dengan wajah datarnya. Padahal bukan ide buruk jika menunjukkan tanda itu ke semua orang yang berada di aula utama.
Arunika mengembalikan sapu tangan itu pada Balges dan tersenyum malu padanya. "Terima kasih, Tuan Balges."
"Jangan tersenyum padanya, Arunika. Dia lelaki pendosa," larang Gasendra yang terdengar seperti rajukan.
Balges tersenyum puas dengan deretan giginya sembari menatap sengit Gasendra.
"Terima kasih atas pujian anda, Yang Mulia."
"Itu bukan pujian," putus Gasendra tegas, lalu mengambil tangan Arunika dan membawanya meninggalkan Balges yang akan mengawal di belakang mereka.
***
Saat sampai di depan pintu aula utama, Gasendra menoleh pada Arunika, kemudian berbisik padanya dengan suara menggoda.
"Kau harus menunggu kedatanganku."
"Hah?" Arunika menoleh dan hendak mempertanyakan maksudnya. Namun, penjaga yang berada di pintu berteriak lantang mengumumkan kedatangan mereka sehingga pembicaraan terputus begitu saja.
Alih-alih menanggapi tatapan memohon penjelasan dari Arunika, Gasendra malah melepaskan pegangan tangannya dan mengecup perlahan. Dia memberikan kedipan genit pada Arunika sebelum akhirnya berbalik menuju sang raja.
Arunika ditinggalkan di tengah-tengah aula bersama dengan para putri dan nyonya bangsawan yang segera menghampirinya.
'Apa maksud peringatannya itu? Apa dia ...?' Mata Arunika terbelalak menatap Gasendra yang tersenyum genit ke arahnya dari jarak yang cukup jauh.
'Dasar pria itu!'
Arunika ingin memprotes peringatannya secara langsung. Namun, sulit di situasi saat ini, di mana dia dikelilingi oleh putri dan nyonya bangsawan yang penasaran dengan hubungannya dan pangeran.
Tapi, dadanya terus berdebar-debar dan bibirnya terus tersenyum dengan peringatan nakal dari Gasendra.
'Dia memintaku menunggu, karena dia akan datang ke kamarku!'
———