***
"Yang Mulia, ada surat untuk anda." Salah satu dayang pribadi Agni memegang gulungan surat yang sudah diikat oleh pengirimnya.
"Letakkan saja di meja jika tidak mendesak," ujar Agni yang sedang bersandar di ranjang.
"Ini surat dari Pangeran Gasendra, Yang Mulia."
Mata Agni terkunci dalam waktu sedetik, sebelum akhirnya dia berdeham menahan perasaan senang dalam dirinya. Dia memang mengharapkan surat dari suaminya itu. Namun, yang ditunggu tak kunjung datang sampai Agni memutuskan untuk tak terlalu berharap lagi.
Tapi, berbeda dengan malam ini. Surat yang ditunggu-tunggu Agni setelah berbulan-bulan akhirnya datang juga. Dan tentunya dia merasa senang walaupun sudah meraba-raba apa yang akan ditulis di dalam sana.
"Berikan padaku."
Dayang itu memberikan surat pada Agni yang diterimanya dengan senyuman sangat tipis. Ditatapnya lama-lama gulungan surat yang sudah diikat oleh benang merah. Setelah puas menatapnya, dia pun membuka surat itu.
Langsung terpampang tulisan Gasendra yang rapih menggunakan tinta pena.
[Untuk Permaisuri Agni]
Senyumnya yang sangat tipis masih bertahan saat melihat rentetan untuk siapa surat itu ditujukan.
[Bagaimana kabar anda? Aku harap anda tetap baik-baik saja walaupun banyak tekanan di istana maupun di luar istana.]
"Saya cukup baik, Yang Mulia," jawab Agni merasa senang karena ditanyakan kabar barang sedikit. Setelah dipikir-pikir, beberapa hari ini memang banyak tekanan dari tugas-tugas istana dan juga kakaknya, Arga.
[Tolong jaga kesehatan karena anda tetap menjadi putri mahkota dan calon ratu masa depan.]
Senyum tipis Agni tak lagi terlihat. Wajahnya merengut saat membaca kalimat itu. Bukan seorang istri, tapi hanya putri mahkota dan calon ratu. Agni menyadari jika Gasendra mengingatkan posisinya yang sulit dirampas oleh siapa pun selama Agni masih hidup. Dan Agni juga menangkap maksud Gasendra kalau dia mendukung Agni untuk menjadi putri mahkota dan calon ratu.
Itu adalah kabar baik, tapi juga buruk baginya. Dia memutuskan untuk acuh tak acuh karena itu posisi yang menguntungkan baginya.
[Aku rasa anda sudah mendengar tentang pernikahanku dari Yang Mulia Raja. Mustahil jika anda belum mendengarnya. Maka dari itu, aku mohon izin dengan sangat untuk membawa permaisuri baru ke istana. Dia Arunika Arya, putri Bangsawan Arya, dan aku mencintainya.]
Pinggir surat itu diremas olehnya. Setetes air langsung turun dan membasahi kertas sehingga beberapa kata luntur.
'Cinta kau bilang? Padahal selama lima tahun menikah, kau seperti patung yang tak peduli dengan eksistensiku, kecuali dalam hal politik. Bagaimana bisa kau jatuh cinta dengannya? Apa benar rumor yang mengatakan jika dia menggoda kau dengan tubuhnya?'
Dada Agni terasa sesak, padahal pakaiannya longgar. Dia berusaha untuk menahan tangisnya agar para dayang tak menyadari hal itu.
Dia sangat ingin tak membaca surat itu, tapi dia juga sangat penasaran. Bagaimana jika di akhir surat Gasendra memperhatikannya? Atau Gasendra juga mengatakan bahwa dia mencintainya?
Terdengar bodoh untuk seorang putri mahkota dan calon ratu masa depan. Tapi, dia juga ingin memastikannya. Jika tidak ada, ini akan jadi yang terakhir kalinya dia berharap dan memutuskan untuk mengikuti jalan sang kakak.
[Aku tahu ini tidak sopan, tapi aku benar-benar tak bisa meminta izin pada anda secara langsung karena banyak yang harus ku kerjakan di Urdapalay. Aku harap anda mengerti dengan keadaanku di sini. Aku tak mengharapkan anda menyambutnya dengan senyuman ataupun perayaan mewah. Cukup dengan anda yang tak mengusiknya karena anda takkan kehilangan posisi anda di politik. Dia tak tertarik dengan posisi itu.]
[Titip salam untuk Pangeran Narasimha. Semoga kalian baik-baik saja sampai kami kembali ke istana.
Gasendra Phraya]
Tangis Agni pecah seketika. Dia menggenggam surat itu sambil menangis meraung-meraung. Tangan yang satu lagi memegangi dadanya yang terasa sakit bak diremas. Tidak ada kata cinta sampai akhir. Hanya Gasendra yang memintanya untuk mengerti keadaan, tapi Gasendra tak mau mengerti keadaannya. Itu sangat tidak adil.
Lalu mengapa Gasendra selalu menegaskan bahwa posisi itu miliknya? Posisi yang mana yang tak akan direbut olehnya? Arunika Arya, sialan itu telah merebut suaminya! Dia telah merebut posisi Agni sebagai seorang istri, kemudian akan merebut posisinya sebagai seorang ibu!
"Yang Mulia! Anda baik-baik saja?" Ertha, dayang terdekatnya menghampiri Agni. Sementara Agni hanya menggeleng sambil mempertahankan posisinya.
"Ertha, sakit ...." Agni memukuli dadanya, tepat di mana jantungnya berada. "Ini sangat sakit, Ertha. Dia tak mengerti dan takkan pernah mengerti aku ...!"
"Permisi, Yang Mulia." Ertha naik ke atas ranjang dan mendekap Agni yang menangis sambil meremas surat itu. Dia juga berusaha menenangkan Agni walaupun itu tak terlalu berhasil.
Ertha baru beranjak dari ranjang saat dia merasakan permaisuri yang malang itu tertidur di pundaknya dengan deraian air mata.
'Saya berharap anda akan menemukan kebahagiaan sendiri, Yang Mulia.'
***
Penginapan Gasendra, Urdapalay.
Pria itu melangkah menuju ranjang dengan tubuh terlilit handuk dan rambut yang masih basah.
"Pangeran, anda harus istirahat karena besok akan menjadi hari yang melelahkan."
Tak mendapat respon sama sekali dari orang yang diajak berbicara, Balges memanggilnya.
"Pangeran?"
"Ya, apa?" Gasendra berbalik dengan wajah bertanya. Balges menarik napas kasar melihat rupa Gasendra saat ini. Walaupun pria itu sudah melakukan ritual pemandian untuk adat pernikahan, tapi wajahnya tetap kusut dengan lingkaran hitam yang terlihat jelas di bawah mata.
"Lebih baik anda tidur sekarang. Tubuh anda sepertinya sudah terlalu lelah dengan aktivitas beberapa hari ini."
Gasendra mengangguk setuju. "Ya, sepertinya begitu."
"Apa ada yang anda perlukan sebelum pergi tidur, Pangeran?"
"Ambilkan obat tidur pada tabib. Kurasa aku takkan bisa tidur lagi malam ini."
Balges bergeming di tempat. Menimang-nimang pilihan apabila dia pergi ke tempat tabib, bisa saja Gasendra melarikan diri untuk bertemu calon pengantinnya. Padahal Balges sudah diperingatkan oleh sang raja yang sedang kembali ke istana untuk menjaga putranya agar menjalankan upacara pingit.
"Kalau tak mau, tak apa. Biar saja besok penampilanku seperti mayat," putus Gasendra berjalan menuju ranjang, lalu menyingkap selimut dan duduk di sana.
"Tidak. Akan saya ambilkan. Tapi, anda jangan melarikan diri. Tetap tunggu di sini sampai obatnya tiba."
"Ya."
Balges menunduk dan bergegas keluar dari kamar
Gasendra tersenyum nakal. Tatapannya melirik sekitar.
'Nah, tinggal beberapa dayang lagi.'
"Kalian keluarlah! Aku ingin istirahat dengan tenang tanpa ada suara napas dari orang lain."
"Tapi, Yang Mulia ...."
Gasendra mendelikkan mata sambil mengeluarkan aura membunuh. Setelah diberi aura membunuh dengan tatapan tajam, beberapa dayang yang selalu berada di kamarnya pun segera keluar tanpa suara.
Pria berusia dua puluh tahun itu bersorak dengan tangan yang mengepal ke udara. Dia menyibakkan selimut yang menutupi kakinya, kemudian berdiri dan melangkah ke lemari untuk memakai pakaian dan jubah hitam sebagai penutup. Setelah persiapan untuk melarikan diri sudah siap, dia berjalan cepat menuju meja dan menuliskan surat untuk Balges.
Gasendra membuka jendela sambil tersenyum. Sebelum melompat turun, dia menoleh ke kamarnya dan bergumam, "Aku takkan bisa tidur jika belum memenuhi janji pada Arunika, Balges."
***
Sementara di kamar mempelai wanita, Arunika baru saja menyelesaikan ritual mandi untuk pernikahan. Kini rambut panjangnya sedang dikeringkan oleh Gray dan wajahnya sedang diberi pelembab oleh Eni.
"Nona, jangan mengerutkan alis terus. Bisa-bisa anda jadi cepat tua," celetuk Eni pada Arunika. Gray tersenyum mendengar perkataan Eni di sela-sela mengeringkan rambut Arunika.
"Ah," gumam Arunika lalu mengendurkan alisnya.
Eni tersenyum tipis dan kembali melanjutkan pekerjaannya.
"Nona ada masalah serius ya sampai mengerutkan alis begitu?"
"Tidak ada. Hanya saja ... ya begitu, tidak terlalu penting."
"Oohh."
Tidak terlalu penting apanya? Padahal selama beberapa hari ini, Arunika terus menunggu pria yang akan menjadi suaminya besok. Padahal pria itu sudah berjanji, tapi tak kunjung datang. Dan ini adalah hari terakhir sebelum pernikahan mereka. Apa pria itu tidak akan datang juga malam ini? Benar-benar keterlaluan!
'Dia mengucapkan janji dan membuatku menunggu. Menyebalkan sekali!'
"Nona ... jangan mengerutkan dahi anda," rengek Eni yang gemas dengan Arunika.
"Ah, iya." Arunika mengendurkan dahinya sambil menatap pantulan diri di cermin.
Setelah beberapa menit, akhirnya tugas para dayang selesai. Arunika juga meminta mereka untuk keluar dari kamarnya.
Kakinya berjalan menuju ranjang dengan sedikit dihentak. Bibirnya dia gigit untuk menahan perasaan kecewa yang membuncah.
'Kalau tahu akan begini, aku takkan menaruh harap.'
Saat dia menyingkap selimut, terdengar suara ketukan di jendela.
Arunika menelisik ke arah jendela dengan perasaan was-was. Dia memutuskan untuk berjalan mendekat ke jendela. Namun, dia tak bisa melihat siapa di balik jendela itu karena jendelanya terbuat dari kayu.
"Siapa?" Arunika memiringkan kepala.
"Ini aku."
Matanya berbinar senang. Itu suara pria yang ditunggunya beberap hari ini.
Segera dia membuka kunci jendela. Dan saat jendela terbuka, dia melihat Gasendra yang berjongkok di pinggir pagar dinding menghadap ke arahnya dengan senyum merekah.
"Arunika." Gasendra melompat masuk ke dalam tubuh Arunika dan memeluknya.
Arunika yang terkejut, tak bisa menahannya. Sebenarnya jika dia tak terkejut pun, tetap saja Arunika takkan bisa menahannya. Memangnya siapa yang bisa bertahan jika seorang pria dewasa melompat masuk ke dalam pelukan seorang wanita?
Alhasil mereka terjatuh di atas lantai dengan posisi saling memeluk.
———