***
Di tengah pesta yang menuju akhir, Jahankara memberi kode lewat tangannya pada Balges untuk mendekat. Pria yang selalu sigap dimana pun itu langsung mendekat pada sang raja. Dia sedikit membungkukkan tubuh tatkala sang raja membisikkan sesuatu padanya.
"Cari mereka dan bawa ke sini. Mereka sudah terlalu lama keluar di acara sepenting ini," titah Jahankara pada orang kepercayaan putranya.
"Daulat, Yang Mulia. Saya pamit undur diri."
Tubuh tinggi tegapnya membelah kerumunan di aula utama. Bibirnya mengulum senyum mendapat perintah itu dari sang raja. Dia sudah menunggunya sejak tadi untuk memanggil sang pangeran dan calon putri. Tidak baik bukan meninggalkan pesta yang merupakan acara mereka sendiri?
Akibat dari senyumnya itu, banyak putri bangsawan yang masih lajang maupun yang sudah bertunangan, menatapnya dengan terpesona dan penuh damba.
Yah, itu tidak heran jika itu Balges. Dia adalah putra bangsawan yang mengabdi pada Kerajaan Mahaphraya sebagai ksatria dan juga memiliki paras tampan. Untuk harta ... tidak usah diragukan lagi, karena pria itu memiliki gelar wakil jenderal yang membuatnya menerima upah yang amat besar. Ditambah lagi keluarganya memiliki bisnis pertambangan yang cukup untuk berfoya-foya dalam kurun waktu satu dekade. Dan bisnis itu akan diberikan padanya saat sang ayah sudah mundur dari posisi kepala keluarga.
Jika Gasendra adalah pria idaman di kerajaan, maka Balges adalah calon suami idaman nomor satu yang masih lajang di kerajaan.
Sangat pantas jika dia mendapat perhatian berlebih dari para gadis-gadis lajang maupun yang sudah bertunangan.
***
"Astaga, sebenarnya ke mana sih pangeran dan Nona Arya pergi?" Balges menggerutu sambil berkacak pinggang. Ini sudah lewat tiga puluh menit sejak dia keluar dari aula utama. Namun, dia tetap tak menemukan posisi ke dua orang tersebut walaupun dilacak lewat mana. Sepertinya sang pangeran yang sedang mabuk cinta, ah tidak ... dua orang yang sedang dimabuk cinta itu menyembunyikan mana mereka agar tak bisa dilacak.
Tap tap tap tap tap
Balges menoleh saat mendengar derap kaki dan mendapatkan seorang pelayan yang berlari ke arahnya sambil menutup mata.
Bruk!
Tangannya dengan sigap menangkap tubuh pelayan itu. Sang pelayan mendongak dan terkejut mendapatkan dirinya yang berada di pelukan Balges yang menatapnya dengan khawatir.
"Anda baik-baik saja?"
Pipinya memerah dan itu membuat Balges bertanya lagi karena semakin khawatir.
"Apa anda terluka? Pipi anda memerah."
"Tidak!" Pelayan itu melepaskan diri dari pelukan Balges dan membungkukkan tubuh. "Terima kasih banyak, Tuan!" ujarnya dengan berteriak, seperti orang histeris yang menyembunyikan rasa malunya.
"Kenapa anda berlari sambil menutup mata begitu?"
Pipinya bertambah memerah dan kali ini daun telinga pelayan itu ikut memerah. Semua hal itu terlihat oleh Balges karena posisi sang pelayan membelakangi sinar bulan.
"Anu, Tuan ... pangeran dan nona ... di sana begitu ...." Dia menutup wajahnya dan bergumam yang entah apa itu, Balges tak mendengarnya terlalu jelas.
Aha! Balges akhirnya tahu dimana mereka dan apa yang sedang mereka lakukan sampai membuat pelayan itu seperti kepiting rebus.
"Di mana mereka?"
"... maksud, Tuan?"
"Di mana mereka?"
"Di tengah-tengah taman, Tuan."
"Ya Tuhan ...." Mata Balges tertuju pada pintu masuk taman yang dikelilingi dengan tanaman tinggi, seperti labirin.
"Baiklah. Omong-omong terima kasih juga. Berkatmu, pekerjaanku akan lebih cepat selesai."
Tanpa mendengar jawaban sang pelayan, dia pergi dengan dinginnya, seakan-akan melupakan kejadian beberapa waktu lalu saat Balges menangkap dan membawa pelayan itu ke pelukan yang membuatnya jatuh cinta pada tatapan pertama.
***
Dua insan yang sedang dimabuk cinta itu duduk di kursi yang menghadap ke taman bunga mawar dihiasi dengan terangnya rembulan. Itu merupakan suasana yang sangat romantis bagi insan yang sedang jatuh cinta. Ditambah lagi keduanya saling menyandarkan kepala dan menikmati keindahan tersebut.
"Aku tak pernah tau kalau ternyata aku juga memiliki sisi kekanakkan seperti ini."
"Sebenarnya aku juga tak mengira kalau kau juga memilikinya, Gasendra. Ku kira kau pria yang benar-benar sudah dewasa dan matang. Ternyata kau merajuk karena keputusan ayah dan Yang Mulia," sahut Arunika.
"Sayangnya pria dewasa ini juga punya sisi kekanak-kanakkan." Tangannya mengambil tangan Arunika, lalu mengecupnya. "Kau tak keberatan jika aku seperti ini?"
"Seperti apa?"
"Kekanak-kanakkan seperti ini. Kau tidak kecewa?"
"Seperti yang kau bilang tadi ... pria dewasa juga bisa kekanak-kanakkkan. Terkadang ayah juga melakukan hal yang sama dengan ibu. Aku sih tak masalah jika dalam batas yang wajar."
"Apa batas wajarmu dan wajarku sama, Arunika?"
Dia mengedikkan bahu. "Entahlah. Batas wajar menurutku sampai apa yang diperbuatmu tak mengangguku."
"Lalu, beri tahu aku jika apa yang ku perbuat mulai mengganggumu."
"Tentu saja." Kini bergantian Arunika yang mengecup tangan Gasendra. Setelah itu, dia tersenyum bahagia.
"Kau tahu, Arunika?"
"Apa?"
"Terkadang aku merasa kau sudah tahu apa maksud dari ucapanku, tapi kau tetap bertanya padaku. Apa kau berpura-pura bodoh atau apa?"
Arunika terkekeh kecil mendengar ucapan Gasendra yang kini menatapnya dengan menyipit.
"Tidak, tidak. Aku tidak berpura-pura bodoh, tapi ibu bilang kalau kau harus bertanya meskipun kau sudah tahu."
"Maksudnya?" Ujung alisnya naik ketika tak mengerti apa yang dimaksud oleh Arunika. Dia yakin kalau dia cukup pintar, tapi apa ini? Perkataan Arunika selalu memiliki dua arti ....
'Ah!' Gasendra menangkap maksudnya. Ketika dia memasang wajah terkejut, Arunika tersenyum dan menanggapinya.
"Kau memang pintar, Gasendra."
"Terima kasih. Aku tahu jika aku pintar."
"Ya, ya, ya. Kau memang harus pintar jika ingin menjadi raja agar tak dibodohi." Arunika mengangkat kepalanya yang bersandar dan menatap lurus ke depan.
"Jadi kau selalu bertanya padaku agar tidak salah paham?"
Arunika mengangguk. "Betul. Ibu bilang, kalau apa yang kita tangkap mungkin bukan yang dimaksud. Maka dari itu aku selalu bertanya padamu agar tak ada kesalahpahaman di antara kita."
Gasendra mengangguk mengerti. Apa yang dia tangkap, kini sama dengan maksud Arunika.
"Dan sebenarnya itu takkan berhasil jika kau tak menjawab dengan jujur. Tetap saja akan berakhir dengan kesalahpahaman juga." Arunika terkekeh lagi setelah berkata seperti itu.
Ya, pada akhirnya maksud dari ucapannya tadi adalah kejujuran. Arunika secara tak langsung menegaskan jika kejujuran itu penting dalam suatu hubungan. Mau hubungan apapun itu, bahkan hubungan yang saling memanfaatkan saja pun butuh kejujuran.
"Aku menangkap maksudmu," tanggap Gasendra seraya tersenyum.
"Ya, aku tau itu," balas Arunika menanggapi Gasendra.
"Kau dewasa, Arunika."
Dia tertawa pelan dan menanggapi, "Aku sudah tujuh belas tahun. Tentu saja aku sudah masuk ke tahap dewasa, Gasendra."
"Ya, kau tujuh belas. Dan aku dua puluh lima. Tapi, kurasa kedewasaan kita tidak berbeda jauh?"
"Kau pernah dengar pepatah ini?" Arunika berdeham, lalu mengubah posisinya menghadap Gasendra. "Dewasa itu bukan dari umur, tapi dari sikap."
Deg!
Wajah Gasendra seketika berubah menjadi muram. Dia merasa tersindir dengan ucapan Arunika.
Perkataan Arunika bahwa 'Dewasa itu dari sikap' membuatnya mengingat perbuatan kekanak-kanakkannya tadi.
"Ada apa, Gasendra?"
"Tidak."
"Sudah ku katakan jika aku bertanya, tapi kau tak menjawabnya dengan jujur, maka hanya akan ada kesalahpahaman pada akhirnya."
"... yah, kau benar. Aku merasa tersindir dengan pepatah itu," ujar Gasendra disusul dengan kekehan sinis.
"Ah!" Arunika menutup mulutnya terkejut, kemudian tertawa kecil sebelum mengklarifikasi maksudnya. "Aku tak bermaksud begitu .... Bukankah sudah ku bilang jika tak masalah dengan sikap kekanak-kanakkan?"
"Ya, tapi dalam batas yang wajar."
"Lalu kapan aku bilang kau sudah kelewat batas?" Arunika menggenggam tangan dan menatapnya dalam. "Tidak pernah, kan?"
"Benar, itu hanya salah paham."
"Aku mencintaimu, Gasendra."
"Tiba-tiba seperti ini?"
"Tidak tiba-tiba, Pangeran .... Aku yang mencintaimu juga butuh proses."
Arunika mengalungkan tangannya pada leher Gasendra dan menatapnya lurus.
"Aku juga," tatapan Gasendra bertumpu pada bibirnya yang merekah seperti buah delima, "aku juga mencintaimu, sangat ...."
Bertepatan setelah kalimat itu selesai, bibir mereka saling menyatu. Menyelami rasa manis dan hangat dari bibir masing-masing, ditemani dengan sinar rembulan dan wangi bunga mawar yang harum semerbak. Namun, keindahan itu kalah telak dengan keindahan sepasang kekasih yang saling mencinta dan menginginkan satu sama lain.
———