33 Engagement

Selamat Pagi^^

***

Istana Hara, Mahaphraya

Suara alas kaki bergesekan dengan lantai di sepanjang koridor. Gemerincing perhiasan yang saling bergesekan juga terdengar karena suasana istana yang sangat sepi.

Langkahnya dipercepat agar segera sampai menuju kamar dan itu membuat para dayang yang berjalan di belakangnya mengikuti pergerakan cepat sang putri mahkota. Dengan wajah yang suram dan mata yang sayu, dia berjalan dengan penuh kekosongan.

Entah sudah berapa hari sejak dia mengurung diri di dalam ruang kerja setelah mendapat kabar jika sang suami akan menikah lagi. Dan hari ini adalah hari pertunangannya. Hatinya sakit bagai ditimpa batu besar, tapi dia tak bisa membantah, apalagi menolak. Karena sang raja sudah merestui hubungan mereka.

Aku sudah dicampakkan, begitulah pikirnya.

Brak!

Pintu kamar dibanting dengan keras tanpa peduli orang yang mungkin berdiri di belakangnya.

Wanita itu merentangkan tangannya, memberi tanda bagi para pelayan yang sudah berjejer di sana untuk melepaskan pakaiannya.

Satu per satu helai kain mulai terlepas dan menampakkan kulit putihnya yang bersih tanpa noda satu pun. Itu hak yang biasa karena dia adalah putri dari seorang bangsawan yang memiliki kekuatan cukup hebat di bidang sihir.

Dia menoleh ke sekitar dengan wajah datarnya. Agni tahu betul apa arti dari ekspresi yang ditampakkan oleh para dayang dan pelayan. Itu adalah rasa iba. Mereka iba dengan keadaan sang putri mahkota karena pangeran tak meminta izin secara langsung barang sedikit pun untuk menikahi wanita ke dua.

'Menyedihkan.'

Segera pergi ke bak mandi yang terletak di dalam kamarnya, ditemani oleh para pelayan dan dayangnya.

Tubuhnya yang kering perlahan membasah karena masuk ke dalam bak mandi. Tatapannya hanga tertuju pada satu arah, yaitu dinding kokoh di hadapannya.

"Yang Mulia, Tuan Arga ingin menemui anda," kata salah satu dayang yang mendekat padanya.

Wanita yang disebut Yang Mulia itu hanya melirik sekilas, kemudian menatap air yang merendam tubuhnya.

'Apakah ini akhirnya? Bahkan aku tak berguna sama sekali untuk kebangkitan keluarga.'

"... yah, biarkan dia menungguku di dalam kamar."

Mungkin setelah ini hidupnya akan beribu-ribu kali lebih menderita dan dihantui dengan perasaan bersalah selama hidupnya sampai-sampai dia ingin mati, tapi tak mampu. Karena Arga adalah orang yang dikenalnya sebagai raja iblis dari golongan manusia.

***

"Tiga hari dari sekarang. Lebih cepat lebih baik, karena banyak yang harus aku urus di istana."

Saran dari Raja Jahankara membuat para tamu berbisik-bisik di tempat. Ucapannya lebih terdengar seperti perintah daripada saran.

Pernikahan kerajaan yang akan diselenggarakan dalam waktu tiga hari setelah pertunangan? Bukankah itu terdengar sangat mustahil?

"Saya setuju dengan ucapan Yang Mulia," sahut Gasendra yang langsung mendapat tatapan tajam dari Yasawirya.

Pria tua itu masih gigih untuk tak melepaskan putri satu-satunya, walaupun mereka sudah diikat oleh cincin pertunangan yang baru tersemat  beberapa menit lalu.

"Apakah dari pihak Arya setuju dengan gagasan tersebut?" tanya Pendeta, menoleh pada Tuan Arya.

Yasawirya berpaling dan pura-pura batuk. Tapi, sebenarnya dia sedang bergumam dan mengumpat. Dia menoleh lagi, kemudian tersenyum amat pahit.

"Bukankah keputusannya akan ditetapkan?"

Gasendra tersenyum tipis sambil melirik, sementara Jahankara terkekeh dengan tanggapan Tuan Arya.

"Walaupun kami memiliki otoritas yang paling tinggi, tapi kami juga harus menanyakan pada kau selaku tuan rumah," timpal Jahankara dengan tak berdosa. Padahal siapapun tahu jika otoritas yang paling tinggi bisa mengalahkan otoritas yang lebih rendah daripadanya walau dalam kondisi apapun.

"Ya, baiklah, baiklah." Yasawirya menanggapi dengan enteng dan membuat putrinya menatapnya dengan teguran. Kemana sikap bangsawan Arya yang dikenal akan kesopanannya?

Dia berdeham dan menoleh pada pendeta. "Apa tiga hari setelah ini adalah hari yang bagus?"

"Sangat bagus, Tuan Arya!" jawab sang pendeta dengan mata berbinar.

"Hmm, seberapa bagus hari itu?" tanya Gasendra penasaran.

Pendeta melihat gulungan kertas yang ada di tangannya, kemudian tersenyum lebar. Dia merasa sangat puas dengan apa yang diramalkan oleh gulungan kertas yang sudah tua itu.

"Itu adalah hari yang paling bagus selama dua puluh tahun terakhir. Jika anda sekalian ingin mengundur karena belum siap, mungkin tahun depan di musim gugur akan ada waktu yang baik. Walaupun tidak sebaik sekarang."

"Tidak, itu terlalu lama. Tidak ada yang perlu diundur lagi," tolak Jahankara sambil melihat Arunika dan Gasendra dengan bangga.

Sudah dibilang kan ... jika otoritas yang lebih tinggi akan menang di situasi apapun.

Gasendra memundurkan tubuhnya dan berbisik pada sang ayah.

"Ku mohon bersikap lah seperti seorang raja. Aku masih tak nyaman kalau Ayah bersikap sebagai seorang Ayah setelah apa yang terjadi selama ini."

"Aku mengerti."

"Aku belum memaafkan Ayah dengan sesungguhnya."

"Tidak masalah."

Gasendra berdecak sebal, kemudian menormalkan kembali tubuhnya yang agak limbung.

Semua orang menoleh pada Tuan Arya untuk menunggu persetujuan darinya. Sementara yang dipandang, melirik ke orang-orang lalu menarik napasnya dalam-dalam.

"Baiklah, baiklah ... saya setuju. Pernikahan putri tunggal akan dilaksanakan tiga hari lagi."

Semua orang yang ada di ruang aula utama itu bersorak gembira.

"Saya belum bilang syaratnya!" tegas Tuan Arya sambil berdiri. Membuat para tamu berhenti bersorak-sorak dan sang raja menatapnya dengan tak suka.

Yasawirya paham betul jika kelakuannya sudah di luar batas normal. Dia menunduk hormat untuk meminta maaf atas kelancangannya pada keluarga kerajaan.

"Mohon izin untuk mengajukan syarat, Yang Mulia."

Tercetak jelas di wajah Jahankara jika dia ingin segera mengajak Tuan Arya berduel langsung di lapangan latihan. Tapi, dia berhasil meredam emosi hasil dari Tuan Arya yang berkelakuan seperti menghalangi pernikahan putra dan putrinya.

"Katakan."

"Saya ingin mereka dipingit."

"Apa?!"

Tentu saja Gasendra yang paling ketar-ketir dengan permintaan Tuan Arya. Bagaimana bisa selama tiga hari dia tak melihat wajah sang calon istri sama sekali?

Tidak, tidak. Bisa-bisa dia mati penasaran sebelum pernikahan dilangsungkan karena terlalu lelah menahan rindu sebab tak bisa melihat wajah Arunika sama sekali.

"Haruskah?"

"Harus, Yang Mulia! Tiga hari itu bukan waktu yang lama. Tiga hari itu singkat dan alangkah baiknya jika kedua mempelai tidak bertemu sampai hari pernikahan dilangsungkan."

'Aku bersumpah jika tiga hari itu akan terasa seperti tiga tahun!'

"Alasannya?"

Yasawirya melirik Carelia dari sudut matanya. Wanita itu melebarkan mata pada suaminya dan menahan agar tidak mengumpat dengan kata-kata kasar secara langsung.

"Em, itu ... agar mereka semakin penasaran."

'Jika sudah tahu kenapa masih dilakukan? Sudah ku katakan aku akan mati penasaran sebelum pernikahan dilangsungkan karena ide darimu, Tuan Arya!' batin Gasendra bergejolak. Tapi, dia hanya duduk bertumpu lutut di hadapan calon mertuanya itu.

"Tidak buruk. Ayo kita lakukan acara pingit sebelum pernikahan itu."

"Yang Mulia, tapi ...." Gasendra berusaha untuk menyanggahnya, tapi digagalkan dengan sindiran tak langsung dari Tuan Arya.

"Pangeran ... urusan pernikahan lebih baik direncanakan oleh yang lebih tua saja. Pangeran itu kan mempelai, jadi tinggal duduk manis dan berdandan agar terlihat tampan dan gagah," ujar Tuan Arya sumringah. Dia melirik putrinya yang masih menatap sang ayah dengan teguran.

"Pokoknya kedua mempelai di hari itu harus terlihat bersinar dari berlian apapun di dunia ini!" sambungnya lagi.

"Ayah ...." Kini giliran Arunika yang menegurnya. Yasawirya hanya tersenyum singkat, kemudian duduk lagi di tempatnya tadi.

Di belakang Gasendra, Balges hanya bisa tertawa dalam hati. Dia yakin seratus persen jika mereka tak bertemu sebelum hari pernikahan, wajah keduanya tidak akan terlihat bersinar, tapi akan terlihat layu karena kurang tidur yang ditambahi dengan racikan rasa rindu yang bertubi-tubi.

"Jika kami yang masih muda tak bisa ikut menyiapkan acara pernikahan. Maka saya izin undur diri bersama Arunika." Dengan gerakan cepat Gasendra berdiri dan berjalan menuju Arunika serta membawanya keluar dari ruang aula utama.

Seperti masuk ke dalam jebakan, Tuan Arya merasa kesal dengan jawaban yang dilontarkan dari mulutnya belum lama tadi.

Balges yang melihat kejadian itu pun mengukir senyum yang amat tipis.

'Ini menarik,' pikirnya.

———

T/N : Dayang dan pelayan itu beda ya. Kalau dayang itu yang membantu tugas seorang putri/ratu/pangeran/raja (biasanya pangkat bangsawan mereka lebih tinggi daripada pelayan). Dan pelayan tugasnya bantu-bantu, beres-beres, ya kurang lebih kayak pembantu deh (biasanya berasal dari bangsawan yang sudah bangkrut ataupun rakyat jelata). Nah di atas mereka itu ada kepala pelayan dan kepala dayang yang tentunya jabatan mereka lebih tinggi lagi, cmiiw.

avataravatar
Next chapter