webnovel

The Curse of Warlord

Cerita Dewasa 18+ Kutukan sang Panglima Perang Ribuan nyawa melayang dari tangannya, hingga Tuhan menghukumnya, saat nyawa tak berdosa ikut ia hilangkan, dan kutukan membawanya bersama dengan wanita yang tak mungkin ia biarkan terluka. Namun keadaan membuatnya menyeret wanita itu kepada lembah kematian yang kapan saja bisa menjemputnya. Siapa sangka, jika Jeon sang 'Calon' panglima perang yang kuat, harus menggantungkan hidupnya pada wanita yang bahkan asing baginya. Roseanna, putri dari Katua suku Chris. Kutukan itu membuat keduanya harus saling berhubungan, saling menyatu dalam benang merah tak kasat mata. Apakah ada cinta di antara kutukan yang memaksa mereka untuk bercinta? Ini adalah kutukan bagi Jeon, namun bagi Rose, kutukan ini adalah impiannya, di mana ia bisa terjun langsung menuju medan perang berupa perampokan yang puluhan tahun desa itu geluti. Rasa cintanya pada pedang, membuat Rose ingin menjadi perajurit yang kuat. Namun di sisi lain, sang Ayah begitu amat mengkhawatirkan keselamatannya. Hingga dendam yang hilang kembali datang, Vante, sang dendam yang datang untuk menghantui Jeon dan desanya. Sampai kapan kutukan indah namun pedih itu akan menghantui Jeon dan Rose? Akankah kutukan itu dapat di lenyapkan?

Ucil_ · 奇幻言情
分數不夠
19 Chs

Kekuatan Panglima

Rose menggerang kencang, memenuhi keheningan gedung terbengkalai yang kini terasa panas. Entah hanya mereka berdua yang merasakan atau memang suasana saat ini panas? Yang pasti kedua insan yang sedang bergumul itu kini diliputi tetesan keringat.

Rose mengernyit berkali-kali saat merasakan perih pada luka lengannya yang mengangga, buliran keringat yang asin beberapa kali mengalir meresap kedalam lukanya. Namun perih pada lengannya tak membuatnya berhenti melakukan aktivitasnya bersama lelaki itu, Jeon.

Lelaki itu tak tinggal diam, ia turut andil mencengkram pinggul Rose dan membantu wanita itu bekerja, dapat ia lihat wajah Rose kini begitu sexy dengan buliran keringat di wajahnya.

Hingga sesuatu yang mereka tunggu-tunggupun datang, mencoba saling mendahului, dan Rose lah yang pertama ambruk menumpukan badannya diatas badan Jeon, dengan geraman yang menandakan keletihan. Tak mau kalah, Jeon kembali mencengkram pinggul Rose, berusaha mengejar puncaknya. Ia harus cepat.

Permainan cepat untuk Rose, namun butuh waktu lama untuk Jeon Alarich.

Setelah bergelut dalam gairah, puncak itu akhirnya menjemputnya, dan erangan panjang menjadi buktinya. Segera diangkat badan Rose dan direbahkan kelantai.

Jeon tak mau mengambil waktu lama untuk menikmatinya, karena yang diluar sana sudah menunggunya untuk berperang. Ditutupi badan Rose dengan pakaiannya, karena memang tak ada penutup lain ditempat terbengkalai ini. Dikecup kening Rose, kedua mata yang masih terpejam, dan diusap pipi Rose lembut.

"Aku akan kembali dengan barang rampasan kita." bisiknya, lalu mengecup kening Rose cukup lama.

Setelah dirasa cukup, Jeon segera berbenah diri dan mengambil dua pedang milik Rose yang sudah berwarna merah. Satu garis senyum melengkung dari bibir Jeon, ia sangatlah bangga dengan Rose yang begitu kuat dan gigih. Ditoleh sekali lagi Rose yang masih memejamkan matanya diatas lantai, lalu tatapannya menajam dan menatap pintu besi di hadapannya.

Melangkah lebar dan membuka pintu itu, suara gemuruh teriakan dan seruan kesakitan saling bersautan begitu pintu terbuka. Memacu Jeon untuk berlari mendekat kearah gerombolan orang yang tak mempunyai lelah untuk saling beradu.

Gerakan lincah dan terarah dari Jeon berhasil membuatnya dapat melayangkan kedua pedang dengan mudah dan membuat lawan berjatuhan, lawannya tak hanya satu. Sekali datang, ada 3 sampai 4 orang yang menyerangnya langsung, namun begitu mudahnya Jeon lawan, bahkan badannya tak sedikitpun tergores.

Krakk

Bunyi patahan terdengar begitu jeon menendang kaki lawannya. Ya, tulang itu kini telah patah, sebegitu besarlah kekuatan seorang Jeon Alarich, hingga dapat mematahkan tulang yang masih berbalut kulit, daging dan otot itu.

Pergerakan Jeon semakin lincah, dan beberapa nyawa telah melayang hanya karena kibasan pedang dan tendangannya.

"Kemana saja kau!" Teriak Josh begitu mendekati Jeon, lelaki itu kini sudah berlumuran darah, entah darahnya atau darah lawan, namun kedua tangannya masih awas memegang kapak ditangannya.

"Menambah tenaga."

"Dimana Rose?"

Josh masih saja bertanya, padahal dihadapan mereka masih banyak lawan yang menyerang. Namun mulutnya yang dipenuhi pertanyaan selaras dengan pergerakan tangannya melayangkan kapak besarnya.

"Dia terluka."

Jeon berlari menjauh dan terus melayangkan dua pedang milik Rose, ia tak punya rasa lelah sekarang, setelah tenaganya terisi penuh.

"Matilah kita!" Geram Josh seraya menatap Jeon, namun lengannya melayangkan kapak, dan sosok dibalakangnya seketika terkapar dengan darah yang mengucur dari lehernya.

Josh segera berlari mendekati ketua regu lainnya, dengan tangan yang masih aktif melayangkan kapak besarnya.

"Jim, Rose terluka!"

Lelaki yang dipanggil jim itu adalah jimmie, ketua regu sayap kiri, badannya tak terlalu kekar berisi, namun tangannya sangatlah lihai ketika melayangkan senjata, dan pergerakannya begitu mematikan jika sudah memegang sanjata ditangannya. Terbukti dengan banyaknya lawan yang tumbang akibat tebasan dari samurainya.

"Jeon sudah datang?" Tanya jimmie dengan wajah khawatir.

Josh menunjuk gerombolan yang kini ramai, di tengah gerombolan itu adalah sosok Jeon, sosok yang mereka tunggu-tunggu kedatangannya.

"Ya sudah kita istirahat dulu."

Jimmie melangkah mendekati pohon rindang begitu lawan semakin berkumpul untuk mendekati Jeon. Jimmie memutuskan untuk duduk dibawah pohon itu, diikuti oleh Josh. Lelaki itu menatap sekeliling, banyak korban berjatuhan, dengan lumuran darah di setiap badan yang terkapar.

Namun ia dapat tersenyum tipis, karena tak banyak mayat dengan kain berwarna kuning yang terkapar, walaupun ia cukup kecewa karena banyak nyawa yang berguguran. Segera Josh berdiri, menggesekkan kapaknya dengan pedang Jimmie. Beberapa pasukan berkain kuning menoleh, dan merapat kearah Josh dan Jimmie.

"Istirahatlah." ucap Josh, yang dipatuhi oleh semua pasukan, mengistirahatkan diri dipohon yang rindang dan meneguk air yang mereka sembunyikan sebagai bekal.

"Kau gila? Bagaimana bisa kita istirahat?"

Josh menepuk pundak lelaki dihadapannya "Jeon sudah turun tangan" ucapnya seraya menunjuk gerombolan yang tak jauh dari mereka.

"Ahhhh.... okelah, ayo kita istirahat!!" Seru lelaki bernama Rald, yang merupakan ketua regu sayap kanan.

Berakhirlah mereka menggerombol untuk menonton pertarungan Jeon melawan musuh.

Seorang diri.

######

Jeon kini dikepung oleh puluhan manusia, namun tak setetes darahpun terjatuh dari badannya, melainkan darah lawanlah yang menetes melalui pedangnya. Badannya seakan kebal saat pukulan ia dapat dibelakang kepalanya, dan karena kesal, balasan ia layangkan dengan memenggal kepala sang pelaku.

Sadis!

Keadaan semakin sepi, hanya ada pasukan bertali kuning yang lalu lalang di sekitarnya, hingga mata Jeon tertuju pada truk besar dihadapannya.

"Masih ada yang bernafas ternyata." Gumamnya dengan seringaian, tangannya mengusap pipinya yang terciprat darah lawan.

Jeon berjalan kearah mayat lawan yang tergeletak, mengumpulkan badan tak bernyawa itu dan mendudukinnya bagai sebuah kursi kemenangan. Setelahnya mengambil rokok racikan dikantung celananya dan menyalakannya. Rokok itu telah ringsek, mungkin karena tertekan saat ia bersama Rose tadi. Namun Jeon ingin terlihat keren, sehingga tetap saja rokok itu dinyalakan, diapitkan pada dua belah bibirnya.

Kepulan asap menyelimutinya, kedua pedangnya tertancap ditanah dengan seluruh badan pedang yang sudah penuh warna merah. Menunjukkan berapa kali ia mencelupkan pedang itu kebadan lawan.

"Panglima!"

Seorang lelaki berjalan tergopoh mendekati Jeon, beberapa sayatan dan darah hampir memenuhi lengannya.

"Istirahatlah, ajak semuanya."

Lelaki itu mengangguk dan membungkuk patuh, lalu berlalu meninggalkan Jeon yang masih asik menghisap rokok racikannya.

Tiga pria gempal berkulit gelap berjalan beriringan mendekati Jeon yang masih santai, dari masing-masing tangan ketiganya sudah membawa senjata masing-masing.

Kapak besar bergagang kayu.

Mace, bola besi bergerigi yang menyambung dengan rantai dan pegangan besi.

Pedang.

Adalah senjata yang dibawa masing-masing dari ketiganya.

Jeon seakan tak terpengaruh, ia masih santai menghisap rokonya, dan sesekali mengepulkan asap keangkasa dengan angkuhnya.

"Hyaaaaa!!!!!"

Teriak salah satunya, seraya berlari mengacungkan senjatanya, dan diikuti oleh dua lainnya.

"Tck! Berisik" dengus Jeon seraya mengorek lubang telinganya.

Jeon segera kembali mengapit rokoknya dengan kedua bibirnya, dan mencabut pedang milik Rose, berlari kearah ketiga lawannya. Lawannya sudah siap melayangkan senjata, namun Jeon segera merendahkan badannya dan menyleding kaki salah satu dari pria berbadan gempal itu. Tulang lelaki gempal itu patah, dan erangan kesakitanpun terdengar nyaring.

Tak mau lama-lama mendengar teriakan cengeng itu, Jeon segera menancapkan pedangnya keleher lelaki itu, dan seketika erangan itu berhenti, berganti kucuran cairan berwarna merah pekat. Bersamaan dengan ambruknya badan itu menyentuh tanah.

"Waaaaaaawwwwww" teriakan dan tepuk tangan dibelakang sana membuat Jeon menyeringai kecil.

Para pasukannya sedang menonton live action dihadapan mata mereka langsung, dan pemeran utamanya adalah sang calon panglima perang, Jeon Alarich.

Wuttt

Suara mace yang Jeon hindari terdengar jelas ditelinganya, ia sempat lengah dan lawan memanfaatkannya. Mungkin jika mace mengenai kepala, kepala akan hancur tak bersisa, namun apakah akan sama jika mengenai kepala Jeon?

Jawabannya belum diketahui, karena Jeon tak akan membiarkan senjata itu menyentuhnya walau dengan lembutpun.

Tak butuh waktu lama untuk mengalahkan lawan, beruntung badan Jeon tidaklah segempal lawannya, sehingga ia dengan mudah melompat dan berlari kesana kemari, mengecoh lawan yang kelelahan akibat gerakan lincah Jeon.

Jeon berdiri dibadan tak bernyawa dari pria gempal yang sudah ia lenyapkan.

"Lelah?" Sindir Jeon dengan wajah mengejek.

"Mau istirahat selamanya?" Seringainya, lalu melompat dan menghunuskan pedangnya dengan lincah.

Darah memuncrat dari kedua badan gempal itu, dan bersamaan dengan ambruknya badan itu ketanah.

Brummmmmmmmm.....

Suara kencang sebuah motor terdengar menjauh, menyisakan kepulan asap dari tanah yang dilewatinya.

"Satu kutu melarikan diri " gumam Jeon seraya kembali menghisap rokoknya.

"HIDUP PANGLIMA PERANG!!!!" Seru salah seorang dari gerombolan.

Sorak kemenangan mendekat kearah Jeon, beberapa pasukan segera bergerak untuk menjarah ketiga truk besar yang teronggok tanpa pemilik, dan tiga ketua regu saling rangkul dan mendekat kearah Jeon.

"Kau datang telat, sehingga kita kehilangan banyak nyawa" ucap Josh seraya mengalungkan lengannya kebahu Jeon.

"Kebumikan mereka dengan layak, bagi hasil jarahan pada keluarga mereka."

Ketiga lelaki yang saling rangkul itu mengangguk setuju, dan Jimmie segera memukul dada telanjang Jeon keras-keras

"Rose!"

Jeon segera tersadar dan mencabut dua pedang yang tertancap pada badan tak bernyawa dihadapannya, berlari menjauh dengan tergesa-gesa menuju gedung kosong terbengkalai yang sempat menjadi saksi panasnya pergulatan Jeon dan Rose.

"Cepatlah! Kita harus segera pulang!" Teriak Rald, yang mendapat acungan jempol oleh Jeon.

"Senangnya jadi dia, aku juga mau mempunyai kekuatan sepertinya." cicit Jimmie.

Yang segera mendapat pukulan dibelakang kepala oleh Josh.

"Bodoh! Orang lain selalu menganggapnya lemah, kau mau mendapat kutukan itu?!" Kesal Josh.

Jimmie mengaduh sakit, melirik tajam Josh dan berdesis, "Kalau wanitanya secantik Rose aku sangat mau."

"Akan kuadukan pada Jeon! Berani-beraninya kau membayangkan rose menjadi milikmu?" Ancam Rald seraya berlari menjauh dari dua lelaki di sampingnya.

"Hey!!! Jangan!!" Jimmie segera menyusul Rald yang berlari dengan terkekeh menuju truk besar dihadapannya, "Jaga mulutmu Rald!!!"

Josh menggeleng dengan kekehan, kemudian menatap gedung terbengkalai itu, tatapannya datar, namun kemudian diusap wajahnya frustasi.

"Kutukan sialan!"