1 Wanita Berambisi

Suara pergesekan dua benda tajam nan runcing tedengar nyaring dan bersaut-saut, segerombolan manusia yang lebih dari 100 orang kini tengah saling bersembunyi ditempat mereka masing-masing. Kedua tangan dan punggung mereka sudah disiapi dengan persenjataan lengkap, pedang, panah, samurai, kapak, tombak, maupun kunai.

Salah satu lelaki yang memiliki badan jangkung dengan lengan kekarnya mengarahkan teropong didepan kedua matanya, mengamati keadaan sekitar padang gersang sejauh lebih dari 5 kilo meter dihadapannya.

Hanya ada kepulan asap dari jalanan tandus, namun menunjukkan bahwa ada pergerakan disana, dan segera ia menyatukan kedua pedangnya untuk menjadi sinyal kepada regunya.

Tringgg... tringg.. tringgg...

Suara dua pedang bergesekan menjadikan penanda pada beberapa orang disekitarnya yang sedang bersembunyi di semak, batu maupun pohon untuk segera bersiap. Seperti telah menangkap sinyal, beberapa orang yang menjadi perwakilan tiap regunya ikut melakukan hal yang sama, menggesekkan pedang maupun senyata tajamnya.

Lelaki jangkung berbadan kekar tadi berjalan mendekati pohon rindang di sampingnya, dan segera merayap memanjat dengan lihainya, tanpa membunyikan suara sedikitpun.

"Mana Jeon?"

Seorang wanita yang memakai kain kuning di lengannya, dengan surai pirang yang digulung di atas kepalanya dan wajah putih yang bercampur debu, memberikan kesan kotor itu menoleh pada sang penanya. Paras wanita itu sangat rupawan, dengan wajah tirus, mata tak terlalu besar namun sorotnya sangat tajam, hidung mancung nan tinggi, dan bibir yang merekah, menambah kesan sexy yang membuat siapa saja ingin mengecupnya. Kulitnya begitu putih, bahkan sangat tidak cocok dengan lingkungan sekitarnya yang kelam dan berdebu.

"Haish aku tak tau, Tck! Kita akan mati kalau dia tak kunjung datang!" Kesalnya, seraya menoleh kesana kemari.

"Tenanglah, akan kuatasi dulu, kalau dia datang, segera eksekusi di dalam sana" lelaki jangkung itu menunjuk sebuah gudang kumuh terbengkalai yang tadi sempat ia periksa keadaannya, masih layak pakai.

"Tenaganya sisa semalam pasti sudah hampir habis, harus mengisi ulang tenaga." tambahnya.

"Emmm.." jawab wanita itu cuek.

"Kau jangan turun Rose, tunggu Jeon datang!"

Wanita bernama Rose itu mengernyit tak suka, ia kini telah memegang dua pedang yang sangat tajam, bahkan sudah puluhan kali ia mengasahnya tadi. Adrenalinnya sangat terpacu kala mereka siap melaksanakan kegiatan rutinitas mereka, merampok.

Namun lelaki dihadapannya menyuruhnya berdiam diri diatas pohon? Dia kira Rose monyet? Ayolah, mana mungkin Rose mau?

"Apa maksdmu? Aku sudah siap s—"

"Menurutlah! Biar kita yang mengurus dulu, 100 orang cukup untuk melawan 3 truk penuh manusia didalam sana." tunjuk lelaki itu kearah timur, yang jika dari atas pohon ini mulai terlihat kepulan debu yang membumbung tinggi, beserta suara samar deru mesin yang semakin mendekat.

Wanita bernama Rose itu mendengus tak suka, selalu saja ia diremehkan oleh pasukan ini. Atas dasar dia adalah wanita, membuat semua orang menganggapnya lemah dan tak kompeten.

Padahal Rose sudah siap, bahkan ia siap jika harus diadu kekuatan dengan lelaki dihadapannya ini untuk melakukan tanding satu lawan satu. Sekedar informasi, Ayahnya adalah Panglima Perang sekaligus Ketua Suku di perkampungan mereka, bahkan Ayahnya lah yang mengomandoi semua pasukan di kampung kecil mereka. Kampung kecil yang semua masyarakatnya memiliki persenjataan lengkap dimasing-masing rumahnya.

Memang bukan sebuah kerajaan besar, tempat hunian mereka adalah perkampungan kecil yang damai. Namun mereka menggunakan istilah Ketua Suku maupun Panglima Perang untuk menyebut perwakilan maupun pimpinan desa itu.

Rose adalah salah satu ahli pedang, tak hanya pedang, bela diri juga dialah yang paling jago untuk ukuran wanita di kampungnya. Bahkan ia sering menang saat tanding tangan kosong dengan ketua regu yang kini berada dibawah sana. Rose sangatlah ambisius, segala jenis persenjataan ia tekuni dengan sungguh-sungguh untuk melancarkan aksinya dalam berperang. Atau lebih sering disebut berperang untuk menjarah harta milik musuh.

"Tck! Kapan kalian akan menganggapku pantas? Apa kita harus tanding dulu Josh?" Sinis Rose.

Lelaki dihadapan Rose yang bernama Joshi—ketua regu tengah dari pasukan ini—pun menghela nafas panjang mendengar ucapan Rose yang terkesan di baluti amarah. Wanita satu ini memanglah selalu ambisius dan bahkan tak ada jiwa kewanita-wanitaannya sama sekali. Ketika wanita lain akan berdiam diri di rumah, memasak dan melayani pasangan mereka ketika pulang dari medan perang. Rose memilih turun langsung dalam medan perang, mengabaikan amarah Ayahnya yang tak segan memukulinya jika wanita itu pulang dengan badan berdarah-darah.

"Oke, kamu gunakan panah saja di sini, aku percayakan kau memegang kendali atas, bagimana?" Diserahkan seperangkat panah beserta anaknya, dan diterima dengan wajah kaku oleh Rose.

Wajah emosi Rose berangsur melunak, senyum cantiknya menguar dan anggukan mantap ia lontarkan.

"Oke!"

Hahhhhhh... wanita berambisi harus diberikan penawaran yang menarik, dan Rose selalu luluh jika sudah diberi iming-iming 'memegang kendali', gen panglima perang memanglah mengalir di darahnya dengan deras.

"Tapi ingat! Kalau Jeon kesini, langsung laksanakan, kita juga butuh dia."

Rose mengangguk patuh dan menerima acungan teropong dari Josh.

"Pantau keberadaannya."

Setelahnya Josh melompat turun dari pohon rindang yang memiliki ketinggian hampir 5 meter itu, dan mendarat selamat dengan mulusnya.

######

Suara gemuruh mesin dari kendaraan super besar semakin mendekat, 3 buah truk besar dengan masing-masing ban memiliki tinggi hampir 1,5 meter itu berjalan beriringan. Disetiap atas kepala truk terdapat 3 orang yang memantau keadaan sekitar, menjaga keamanan lokasi yang mereka lalui.

Dibagian dalam mobil, masing-masing orang yang memegang kendali pengemudi adalah orang yang berbadan gempal dengan kulit coklat gelap, dan wajah garang beserta lukisan hitam permanen di kulitnya.

Truk besar bagian tengah terdapat laki-laki yang memakai penutup kepala dengan dua gading yang menancap di penutup kepala itu, menandakan sebagai penanggung jawab atau ketua dari gerombolan. Satu tangannya sibuk memainkan kapak besarnya yang tajam dan mengkilap, dan satu tangannya menghisap rokok racikan yang digulung besar, dengan kepulan asap yang pekat.

Sudut bibir sebelah kirinya terdapat bekas luka yang dalam, membentuk garis lurus dari pipi hingga bawah bibirnya, menandakan ia pernah terluka di sana. Sorot matanya tajam, seperti seekor harimau yang sedang memantau musuh. Menjelajahi penjuru padang pasir gersang di hadapannya, hingga tatapannya jatuh pada oasis hijau yang tak jauh dari hadapan mereka.

"Kita akan berhenti disana, siapkan persenjataan, di tempat indah biasanya banyak parasit." Ucapnya pada lelaki yang sejak tadi menggelantung di pinggiran pintu. Lelaki yang bertelanjang dada itu mengangguk, dan melompat naik keatas kepala truk.

Truk besar itu semakin mendekati padang oasis, lajunya semakin melambat, oasis yang cukup luas dengan ratusan pohon besar yang menjulang tinggi.

Duarrr! Duar! Duar!

Suara ranjau yang meledak di sekitar ban yang diinjak truk menyebabkan ledakan kencang menggema di padang pasir tak berujung. Ledakan itu bersamaan dengan melayangnya besi baja dari dalam tanah yang menusuk langsung ban truk yang besar itu, dan membuatnya seketika oleng.

"Keparat!" Umpat sang ketua gerombolan.

Tang.. tang.. tang!

Suara kapak yang dipukulkan pada cerobong asap berbahan besi pada truk menggema, dan dua suara dentingan menyusul sebagai jawaban dari kedua truk lainnya. Ketiga truk berhenti dan pintu besar bagian belakang dibuka, puluhan orang keluar dari masing-masing truk, dengan persenjataan yang tak kalah lengkapnya.

"Jadi, sekarang parasit suka cari perhatian?" Kekehnya sinis, matanya masih fokus menyapu hamparan oasis dihadapannya.

"Cepat instruksikan pasukan, pasti di sini banyak tikus kotor!" ucapnya pada lelaki yang sudah berdiri dibawah pintu truk.

Lelaki itu mendongak dan mengangguk, setelahnya berseru kencang, semua pasukan menyebar mendekati oasis hijau nan asri itu. Perang akan dimulai, dan regu yang masih hiduplah yang akan memenangkan pertarungan, dengan harta yang siap menjadi hak milik siapapun.

######

Jleb!

"Arrrgghhhhh!!"

Satu anak panah Rose menancap tepat sasaran pada dada salah satu lawannya. Suara erangan itu menjadi penanda bahwa perang sudah dimulai, dan setelahnya semua orang yang bersembunyi segera keluar dari persembunyiannya. Berseru dan mengacungkan senjata masing-masing.

Di bawah sana kini sangat riuh, saling adu kekuatan dan berlomba mewarnai masing-masing senjata tajam menjadi berwarna merah. Rose tak tinggal diam, bidikannya selalu tepat mengenai lawan, bagaimana ia tahu jika itu lawan? Karena semua pasukan dari desanya selalu memakai headband ataupun ikatan di lengan warna kuning terang, sebagai penanda bahwa mereka adalah keluarga.

"Haisshhhhhh!!! Mana si Jeon sialan itu!" Dengus Rose sesekali memeriksa teropong, mencari keberadaan lelaki bernama Jeon  yang tak kunjung terlihat batang hidungnya.

Matanya menangkap beberapa orang berheadband kuning sudah terkapar dengan darah dimana-mana. Rasanya Rose semakin gusar, ia harus ikut turun tangan sekarang, namun sosok Jeon belum juga terlihat keberadaannya.

Sialan!

Rose memutuskan segera turun dari tempat persembunyiannya, dan segera melemparkan bidikan panah ketika kakinya menapak ditanah.

Keadaan makin tak terkendali, rasanya pasukan lawan lebih banyak dan kemungkinan menang bisa saja sangat tipis kalau Jeon tak kunjung datang. Hingga lengannya merasakan sengatan perih yang menjalar.

"Akhhh!"

Rose berguling dan bersembunyi di balik batu besar, lengannya tergores dan menimbulkan noda merah dengan sobekan pada lengan bajunya. Rasa perih membuatnya mengernyit, lukanya lumayan dalam, dan mampu membuat Rose kesakitan.

"Terkutuk untuk orang yang bodoh itu!" Kesal Rose.

Untung yang mengarahkan panah padanya adalah orang bodoh! Jika tidak, mungkin jantungnya lah yang terpanah.

Rose sedikit mengintip, mengamati keadaan sekitar, riuh tentu saja, karena kini dihadapannya adalah peperangan besar. Tanpa pikir panjang, Rose segera berlari mendekat dengan dua pedang ditangannya, meninggalkan panah yang tak menyisakan anaknya lagi. Hari ini pedangnya harus berubah warna, dan kemenangan harus mereka dapatkan.

Dengan badannya yang ramping, Rose bergerak lincah kesana kemari menyayatkan pedangnya dan mengambil warna merah dari tiap-tiap badan lawannya, namun kancil tak selamanya cerdik.

"Akhhhhhh!" lengan rose kembali tergores karena ramainya lawan yang mendekat kearahnya.

Bagai tak merasakan sakit, Rose kembali melompat kesana kemari menyayatkan pedangnya.

Bughhh!

Satu lemparan batu tepat mengenai kening mulusnya, karena tak berancang-ancang, Rose limbung dan terhuyung ketanah.

Matanya mengerjap berkali-kali karena pening yang dirasakannya, hingga matanya menangkap sosok lelaki tegap yang tak menggenakan baju. Tak ada persenjataan di tubuhnya, seakan ia menegaskan jika dirinya hanya bermodal kekuatan. Lengannya begitu subur berotot, perutnya dipenuhi cetakan kotak yang padat, matanya menatap tajam kearah Rose yang kini mengerjapkan matanya karena aliran darah yang hampir masuk kedalam matanya.

Lelaki itu sesekali memukul dan menendang lawan yang melintas di hadapannya, namun sorot matanya masih fokus kearah Rose yang bersimpuh di tanah.

Badan Rose melayang begitu lelaki kekar itu mendekat kearahnya, dengan langkah lari kencang lelaki itu membawa Rose manjauh dari kerumunan.

"Pergi kesana!" Tunjuk Rose pada gedung terbengkalai yang tak jauh dari keberadaan mereka.

Lelaki itu tak menatap Rose, wajahnya hanya fokus menatap depan, dengan guratan kekesalan, dan kening yang berkerut dalam. Sorot matanya begitu tajam, hingga membuat Rose menciut, padahal bukan dia yang sedang ditatap lelaki itu.

Brukkk!

Badan Eose terhempas dilantai, dan kegelapan segera ia sambut, karena pintu gedung yang tertutup.

Lelaki itu berjalan kearah jendela, membuat sedikit celah pada jendela lapuk itu dan memberikan sepercik cahaya terang karena suasana diluar sana sedang terik-teriknya. Setelah memeriksa keadaan sekitar lelaki itu mengalihkan pandangan kearah Rose yang ternyata kini sudah melucuti pakaiannya.

"Kau terluka!" Geram lelaki itu penuh amarah.

"Cepat lakukan Jeon! Kita harus kembali kesana secepatnya! Kau ingin mereka semua mati?!"

Lelaki yang Rose tunggu-tunggu, Jeon Alarich, calon pengganti panglima perang, kini menatap Rose tajam, kedua tangannya mengepal, giginya saling beradu dan menimbulkan gemeretak.

Mata lelaki bernama Jeon itu menelisik kepada kening Rose yang memerah dengan cairan merah yang mengalir. Beralih pada lengan Rose yang tak jauh berbeda, bahkan darah sudah mengucur turun membasahi lengan dan tangan Rose, bukan penampilan yang bagus.

Namun Rose hanya berwajah datar, seakan tak merasakan kesakitan sama sekali, entah memang kuat atau hanya mencoba terlihat kuat.

Jeon segera melangkah mendekat, dan mengulurkan tangannya mengusap darah yang mengalir hingga pipi Rose.

Rose memejamkan matanya saat jemari Jeon menyentuh kulitnya, mengernyit saat jempol Jeon mengusap lukanya lembut, dan setelahnya ia membuka mata menatap Jeon yang kini menatapnya teduh.

"Bisa bermain cepat?"

avataravatar
Next chapter