Saat ini, Cia merasa dirinya berada di antara hidup dan mati. Seluruh tulang di tubuhnya seakan ingin lepas, ditambah dengan napasnya yang mulai ngos-ngosan. Keringat membasahi keningnya sejak tadi. Mengeluarkan penerus kerajaan memanglah sulit. Saat perut sang ibu mulai kontraksi, takdir kehidupan mulai tertulis untuk bayi tersebut. Tak terkecuali bayi Cia dan Zeno. Tanggung jawab yang akan dipikul oleh bayi itu amatlah besar, hingga tidak mudah mengeluarkannya.
"Zeno," lirih Cia. Kepalanya menggeleng lemah, sungguh dia sudah tak kuat. Apa tidak bisa mereka berteleportasi ke rumah sakit, Cia ingin operasi caesar saja. "Aku nggak kuat."
"Sstt! Sayaang, demi aku."
Demi Zeno, Cia mengedan beberapa kali lagi, dia menggunakan tenaga dalam saat ini. Tak lama, healer memekik bahagia saat kepala bayi mulai keluar dari dalam sana. Healer meminta Cia agar lebih kuat lagi dan tentu saja saat itu Cia menurut.
Sebuah tangisan yang melengking merdu, membuat semua orang tersenyum haru. Cia senang, Zeno pun senang. Namun kelegaan itu tak berangsur lama, sebab perut Cia kembali melilit dengan hebat.
Healer yang melihat cahaya aneh dari luar perut Cia, tiba-tiba saja menegang. Ini, takdir yang rumit. Lalu, dengan sekali dorongan, bayi kedua itu lahir—perempuan.
Cia menatap haru pada anak-anaknya. Dia mengecup pucuk kepala masing-masing bayi tersebut. Zeno mengikuti tindakan Cia dengan lembut. Lelaki itu juga mengecup seluruh wajah Cia dan mengucapkan kalimat 'terima kasih'.
"Namanya?" tanya Cia.
"Lief Evander dan Lavatera Evander," sahut Zeno.
Healer mengangkat tangannya ke udara, dia ingin memperbaiki urat-urat takdir yang terlihat buruk. Namun, Cia menginterupsi untuk tidak melakukannya. Healer tersebut pun hanya diam, mengingat yang di hadapannya ini bukanlah manusia atau makhluk seperti mereka.
Cia mengusap jempolnya pada kening Lief. Seketika rune-rune indah menelusup masuk melalui kening bayi lelaki itu. Kemudian, Cia beralih pada Lavatera. Dia melakukan hal yang sama, tetapi yang keluar adalah ilustrasi pentagram dengan beberapa elemen.
"Takdir Lavatera sedikit buruk, Zen." Cia berkata dengan lesu, seolah dia ingin mengutuk Selena dan merubahnya menjadi cacing.
Zeno tersenyum, "Biarkan saja, Sayang. Ada kita."
***
Pemulihan Cia terlampau cepat. Bahkan beberapa jam setelah melahirkan waktu itu, dia langsung menyembuhkan diri dan merapatkan kembali inti tubuhnya. Hari ini, tepat satu minggu setelah dirinya melahirkan. Rencananya, mereka akan mengadakan pesta pada minggu depan. Mengundang semua kerabat tanpa terkecuali, Zeno menjamin jika acara ini lebih meriah dari pernikahan mereka.
"Lama banget Lief nyusu," protes Zeno.
Cia tertawa kecil, dia menyambut kecupan sang suami dengan senyuman. "Masih lapar kayaknya."
Zeno menatap lamat-lamat bibir Lief yang sedang menyesap milik istrinya. Dirasa sudah cukup, Zeno langsung mengambil Lief dan memindahkannya pada box bayi di sisi lain. Dia juga menatap Lave yang sedang tertidur. Kemudian, dia beralih pada istrinya yang ingin menutup benda favoritnya tersebut.
"Sekarang waktuku, 'kan?" Suara Zeno sudah berat dan dia merasa sesak setiap kali melihat dada Cia. "Pleasee."
Cia berdiri, lalu dengan perlahan dia melepas seluruh pakaiannya. "Aku milikmu, Zeno."
Hal itu pun terjadi. Zeno mendorong Cia dengan pelan ke atas kasur. Gerakan Zeno amat tergesa-gesa. Bagaimana tidak? Jika Cia adalah nikotin, morphin, dan dopping untuknya. Cia adalah segala yang dibutuhkan Zeno. Candu akan segala tentang Cia.
Jari Zeno bergerak di bawah sana, ritmenya membuat desahan Cia tak karuan. Belum lagi puncak dadanya yang di isap oleh Zeno. Rasanya bagaikan sedang terjun ketinggian, begitu nikmat dan geli di saat yang bersamaan.
"Zeno, please."
Dia tak ingin keluar begitu saja. Maka, ketika Zeno menarik diri, Cia segera menindih suaminya itu. Dia mengecupi tubuh kekar itu dari atas hingga ke bawah. Kemudian berhenti pada benda yang sedang berdiri tegak. Cia memegangnya, mengurut benda itu sejenak, dan menenggelamkan benda itu ke dalam mulutnya.
Di atas sana, Zeno mendesah pelan. Setiap kali Cia melakukan hal itu, dia tak bisa berkata-kata. Hanya tangannya yang berada di atas kepala Cia, meminta untuk memasukkan lebih dalam.
Setelah dirasa cukup, Cia beranjak, dan segera mendudukkan diri di atas tubuh Zeno. Menyatukan kedua inti mereka adalah momen yang paling disukai oleh keduanya. Cia mendesah, disusul dengan geraman rendah dari Zeno. Gerakan wanita itu yang semula pelan, makin lama makin tak terkendali. Dengan kuat dia mencengkeran bahu suaminya. Zeno yang tahu jika istrinya akan sampai, segera melumat salah satu dada Cia.
"Aaahh ... sshh," lirih Cia.
Gerakan Cia mulai melambat, dia masih menikmati pelepasan yang selalu nikmat ini. Di bawah sana, milik Cia sedang berdenyut. Hal itu membuat milik Zeno semakin terangsang. Jadi, Zeno meraih pinggang istrinya dan menggoyangkan naik-turun hingga dia mencapai klimaks.
Permainan ini selalu terasa nikmat dan semakin nikmat setiap harinya. Itu karena ketika melakukan hubungan badan, energi keduanya bercampur dan semakin mempererat chemistry keduanya.
"Aku menyayangimu, Arlcia."
"Aku lebih menyayangimu."
Ketika mereka berdua berpelukan, seekor burung kecil yang sedari tadi bertengger di jendela, segera terbang berlalu. Burung itu berwarna cokelat dengan sedikit warna kuning di beberapa bulu. Dia terbang semakin tinggi dan melesat hingga meninggalkan sedikit kepulan asap di udara.