webnovel

Keributan adalah kesempatan dalam kesempitan?

BRAKK...

Acio mengerang ketika badannya di dorong keras ke dinding besi di belakangnya. Dia meringis, menahan diri agar tidak emosi. Lima orang di depannya menatap tajam mengintimidasi, mereka terlihat curiga. Sementara yang lain berpencar mengerjakan task.

"Lo salah satu impostornya 'kan?!" Tuduh Galaksi dengan marah, dia belum terima Bara, sahabat baiknya, terbunuh di depan matanya.

Tak hanya Acio yang ia tuduh, Evan termasuk salah satu orang yang akan ia vote nanti. Dia marah, bahkan dia sempat meninju Evan.

"Bukan!" Jawab Acio lantang.

"Maaf kak, tempat lo sekolah memungkinkan kalau lo impostornya," kata Tama yakin dengan dugaannya.

"Awalnya gue gak mau curiga sama lo, tapi gue setuju sama Tama," ucap Genta mengangguk-angguk.

"Gue juga, lo satu-satunya orang yang perilakunya aneh sejak awal pertemuan," sambung Mashiho.

Gendra diam saja, mau bicara tapi semua sudah diwakilkan. Mending diam saja, tangannya masih sakit karena kesetrum tadi.

"Lo, Kak Evan, sama Yetfa, gue curiga kalian bertiga," ucap Mashiho sedikit maju ke depan.

"Ada bukti gak?!" Tanya Acio membentak. Sudah cukup, dia tidak tahan lagi.

"Ada, lo aneh. Dan lo sekolah di tempat hama lingkungan itu," kata Galaksi dengan entengnya.

"Lo tau apa?! Lo sekolah di sana?!"

"Gak sih... tapi kelakuan anak-anak di sekolah lo di luar udah jel—"

"Emangnya lo tau apa yang mereka lakuin?! Lo liat langsung?!" Cerca Acio emosi.

"Tawuran besar waktu itu didalangi siapa? Sekolah lo!" Balas Galaksi ikut emosi.

"Gal, udah. Kita harus kerjain task, jangan buang-buang waktu," bujuk Genta menarik pelan Galaksi agar mundur.

"Haha, lo percaya gitu aja?"

"Ya, iyalah!"

Acio terkekeh, menunjuk Galaksi. "Lo, anak bandel yang diem-diem suka bully orang. Iya 'kan?"

BUGH!!

Galaksi tak bisa menahan diri lagi. Pukulan ia layangkan, cukup keras sampai Acio jatuh tersungkur di lantai. Tak berhenti sampai disitu, dia kembali melayangkan pukulannya berkali-kali.

"Berita hoax apa yang lo buat?! Gue buka orang kayak lo, anjing!" Kata Galaksi disertai umpatan.

"Galaksi, udah cukup!" Seru Mashiho panik. Badan Galaksi dia tarik, tapi Galaksi cukup kuat menahannya, bahkan terlihat tak peduli dan terus memukuli Acio tanpa belas kasihan.

"Lo cuma sampah masyarakat! Seharusnya lo mati diawal!"

"Udah, Gal! Berhenti!" Mashiho frustasi. "Bantuin dong! Jangan nonton doang!"

"Saha ieu saha?!" Seru Genta menarik-narik tangan Galaksi.

"KALIAN NGAPAIN, HAH?!"

Nah lo, ketua BEM kita datang.

•••

"Gimana, kak?"

"Hmm.."

Nares meneliti kertas pemberian Yetfa, berbagai hipotesis muncul di benaknya. Huruf D, darah, kertas lecek dan lama. Sepertinya menuju ke impostor.

"Sebagai calon detektif yang baik, gue bakal cari tahu apa maksud kertas ini," ucapnya kemudian, menyodorkan kertas tersebut ke Yetfa.

Asahi mengernyit. "Jadi?"

"Gue yakin huruf D ini menuju ke seseorang yang punya karakter penting atau tokoh utama permainan ini. Bisa aja, kan? Atau mungkin, huruf D ini menunju ke siapa impostornya. Tapi, kalau di lihat dari darah yang udah kering, ini darah lama."

"Kak, lo 'kan anak kriminologi nih, gue minta tolong bantuannya, ya. Gue gak tau harus percaya siapa lagi selain lo," pinta Yetfa memelas.

"Acio? Bukannya lo bareng dia terus?"

"Sebenarnya gue takut, kalau nanti gue dibully gimana?"

Nares terkekeh sambil geleng-geleng kepala. "Yetfa... Yetfa. Acio anak baik-baik, kok."

Asahi mengangguk setuju. "Gue yang bareng dia gak kenapa-kenapa, dia juga gak keluyuran."

"Ya udah deh, ayo kerjain task lagi," kata Yetfa pada akhirnya, walau sebenarnya dia ragu dengan perkataan keduanya. Gimana, ya... bisa saja akting, kan?

Nares merangkul Yetfa. "Gitu dong."

"Btw kak, lo orang mana?"

"Bandung, lo sendiri?"

"Jak— tunggu, darimana?"

"Bandung, kenapa emangnya?"

Yetfa berubah tegang. Perkataan Gendra sebelumnya terngiang-ngiang di kepala. Huruf D bisa saja tempat lahir.

BanDung.

"Neo Gwaenchanha?" Tanya Nares khawatir, Yetfa melongo.

"A-apa?"

"Lo gak apa-apa?"

"Gak apa-apa, kok... kenapa tanyanya pake bahasa Korea?"

Nares senyum ganteng. "Gue asli dari sana, gue pindah ke Bandung umur sebelas tahun."

Yetfa diam saja.

"Kalau mau curiga gak apa-apa, di permainan ini emang susah untuk percaya sama orang lain."

"Ga-gak kok, bukan gitu maksudnya—"

"Gue ngerti, gue juga gak bisa paksa orang lain untuk percaya sama gue. Disini, gue bakal habisin sisa waktu hidup gue untuk bersenang-senang. Kita gak tau kapan giliran kita, kan?"

"Bersenang-senang, gimana?"

Nares tersenyum lebar. "Tidur."

Ada gitu ya orang yang memikirkan tidur disaat seperti ini. Kalau Yetfa jadi Nares, pasti dia sibuk mencari petunjuk kesana kemari, tidur justru berbahaya. Kalau nanti tidak bangun lagi, kan seram.

"Ini tempat apa? Ruangan buat apaan nih?" Tanya Nares terheran-heran.

"Coba masuk," suruh Asahi mendorong Nares untuk maju pertama.

"Kok gue sih?!"

"Kan lo yang paling tua," jawab Asahi sambil cengengesan.

Nares membeku. Ya ampun, Asahi lucu juga ya kalau tersenyum seperti itu.

"Utututu, imut banget anak orang. Jadi adik gue mau gak?"

"Gak."

"Bercanda doang, Sa. Gue udah punya satu, kok."

"Gue kasihan sama Tama, sabar banget dia punya kakak sepupu kayak lo," celetuk Yetfa.

"Heh, gini-gini gue pinter, banyak prestasi, dan kesayangan semua orang."

"Iyain aja deh," balas Yetfa acuh seraya membuka pintu ruangan lebar-lebar.

Dan ternyata ada orang lain di dalam, sedang jongkok di depan sesuatu, sepertinya sedang mengerjakan task. Tapi, ekspresinya malah terlihat seperti orang yang kepergok melakukan sesuatu.

"Kalian ngagetin aja! Ketuk pintu atau salam dulu dong!" Omel orang itu.

"Ngapain lo sendirian disini, Van?"

Evan berdecak sinis. "Lo gak liat? Mata lo katarak?"

"Buset, santai dong santai. Btw, ini kok ada banyak kasur? Ada satu, dua, tiga, ada sembilan."

"Buat tidur kali," Evan berdiri sambil menggeleng tanda tak tahu. "Oh ya, kalian bertiga udah ngerjain berapa task?"

"Baru satu di electrical. Padahal pengen lama-lama disana, tapi kayaknya ada keributan di lorong," jawab Yetfa.

Asahi menoleh cepat, "Keributan?"

"Tadi 'kan Acio di kerubungin, kayaknya mau di interogasi."

"Oh, bagus deh. Gue udah curiga sama itu anak sejak awal," kata Evan lega.

"Hah?"

"Kalian gak curiga? Anak IHS 'kan biang kerusuhan, dan dia murid sana. Otomatis dia—"

"Tolong dong, gak semua orang kayak gitu," potong Nares cepat, mulai kesal. "Emangnya lo tau dia kayak gimana? Baru ketemu sekali langsung di cap begitu, bikin orang sakit hati aja."

"Perasaan lo belain dia mulu."

"Gimana gue gak belain dia, dia gak ngelakuin apa-apa dituduh macem-macem."

"Kalau gue bilang dia habis—"

[Bzt!!]

Lampu tiba-tiba padam, gelap gulita. Ini kedua kalinya lampu padam di menit-menit terakhir sebelum waktu berdiskusi di mulai. Apa pemilik tempat ini belum bayar listrik? Mana mungkin.

"Gue paling males nih kalau begini," kata Nares menendang kaki kasur di depannya.

"Sebentar lagi ada pengumuman."

"Lo cenayang, Sa? Pengumuman ap—"

"AAAAKKHHHH! MAYAT!!!"

TET... TET.. TET...

"Michio Alister Shidra Hanendra Orlando [dead]"