"Will you marry me?" tanya Andrean sambil memohon, tak lupa ia pun berlutut di hadapan wanita cantik itu, siapa lagi kalau bukan Naya, namun bukannya segera menjawab, Naya malah berdiri mematung, memandang Andrean yang begitu tampan masih berlutut untuk menunggu jawaban darinya.
"Apa kau tidak mau menikah denganku?" Lagi-lagi Andrean bertanya.
"Ma-mau, apa ini serius Pak?" ucap Naya terdengar gugup dengan ekspresi wajah yang masih tak percaya.
"Tentu saja ini serius, apa kau mau menerima ku untuk menjadi pendamping hidupmu?"
Kembali Andrean bertanya dengan posisi masih berlutut.
Dengan cepat Naya mengangguk, ia pun memeluk Andrean dengan erat, wajahnya tak berhenti tersenyum, ia begitu bahagia, namun entah mengapa ia mendengar suara teriakan seseorang yang sedang memanggilnya.
Ia sangat mengenali suara itu, dan sesekali ia mendengar suara pintu yang digedor sangat kencang, ia bingung dari mana asal suara itu, sedangkan ia berada di suatu halaman yang sangat luas, tak ada pintu di sana, tak berapa lama suara teriakan itu kembali terdengar, bahkan semakin kencang.
"Naya, cepetan bangun!"
Teriakan sang mama berhasil membangunkan Naya.
Gubrakkk...
Seketika Naya terjatuh dari tempat tidurnya.
"Adaw sakit." Keluhnya saat ia sudah terjatuh di lantai, sungguh pendaratan yang sangat sempurna, Naya jatuh dengan posisi tubuh tengkurap mirip seperti cicak yang sedang menempel di dinding.
"Naya, bangun!"
Lagi-lagi teriakan sang mama terdengar begitu keras, entah sudah berapa kali mamanya berteriak pagi ini.
"Ia ma, Naya udah bangun,!"
Balas Naya dengan suara serak khas bangun tidur.
"Buruan mandi sana, sudah jam berapa sekarang, nanti kamu terlambat!"
Teriak sang mama lagi sambil berlalu dari depan pintu. Sedangkan Naya terdiam beberapa saat, ia masih belum beranjak dari tempatnya, masih terbaring di lantai sambil mengingat lagi mimpi yang baru saja ia alami, 'ternyata hanya mimpi, tapi mengapa rasanya begitu nyata,' bisiknya sambil tersipu malu, namun segera ia tersadar.
"OMG, jam berapa sekarang," pekiknya sambil berlari menuju kamar mandi.
Dengan kecepatan kilat Naya bergegas mandi dan bersiap-siap untuk segera ke kantor, tak lupa ia menyantap sarapannya terlebih dahulu di atas meja, di sana sudah ada Hartawan yang tak lain adalah papanya Naya, dan tentunya juga sang mama.
"Pagi pa, ma..." Sapa Naya saat ikut bergabung di meja makan.
"Pagi juga Nay," jawab keduanya secara bersamaan.
"Gimana kerjaan kamu Nay,?"
Tanya sang papa di sela-sela sarapan.
"Baik pa,"
Naya langsung mengunyah roti yang tersedia di atas meja, ia terlihat buru-buru, andai saja bisa, ingin dia menelan roti itu sekaligus biar cepat selesai.
"Gimana mau cepat dapat jodoh, kalau makannya saja seperti itu,"
Celetuk sang mama kesal, saat melihat mulut Naya yang sudah terisi penuh dengan roti.
Sedangkan papanya hanya geleng-geleng kepala dan tersenyum melihat tingkah anak gadisnya itu.
"Pa, ma, Naya berangkat dulu, dahh..." ucapnya sambil bergegas pergi.
"Liat tuh pa anak kamu, mana ada laki-laki yang tertarik melihatnya, kalau makannya saja masih begitu, gimana mau cepat dapat jodoh coba,"
"Udah, biarin aja lah ma, nanti juga akan ada saatnya, tugas kita sebagai orang tua hanya mendo'akan, agar Naya mendapatkan jodoh yang baik," ucap laki-laki yang akan genap berumur 45 tahun itu.
"Mudah-mudahan saja lah pa,"
Suami istri itu pun melanjutkan kembali sarapan paginya, dengan menyimpan sebuah harapan agar anak gadisnya bisa segera menikah.
Di tempat yang berbeda, terlihat Naya yang baru saja turun dari mobilnya, ia terlihat bersemangat, mungkin di karenakan mimpinya tadi.
Naya tak henti-hentinya tersenyum, kala mengingat mimpi itu lagi, namun ia percaya kalau mimpinya tak akan menjadi nyata, hidupnya dan Andrean sungguh jauh berbeda, bagaikan langit dan bumi, belum lagi dengan sikap Andrean yang sering membuatnya kesal, sungguh hal yang sangat mustahil baginya untuk bisa bersanding dengan Andrean.
Naya berjalan dengan santainya, tapi baru saja ia ingin melewati tempat parkir, lagi-lagi ia melihat Andrean dan juga Riko yang sedang berbicara dengan seorang wanita, Naya hafal betul itu adalah wanita yang sama dengan yang di lihatnya tempo hari, siapa lagi kalau bukan Sarah, mantan pacarnya Andrean.
"Mau apa lagi itu cewek, gila bajunya benar-benar sexy, tak ubahnya seperti Stefi, dasar cewek gatel," Naya mengumpat sendiri, entah mengapa ia jadi tak suka melihat wanita itu, padahal Andrean bukanlah siapa-siapa baginya. 'apa ini yang namanya cemburu,' batinnya lagi.
Tapi, Naya tak mau ambil pusing, toh juga itu bukan urusannya, ia pun memutuskan untuk segera pergi dari sana, namun telat bagi Naya untuk pergi, sebab Andrean sudah keburu memanggilnya.
"Sayang, kamu udah nyampe,?"
Teriak Andrean, sambil mengedipkan sebelah matanya, seolah memberi isyarat pada Naya. Seketika Naya di buat melongo, entah apakah Andrean sedang berbicara padanya atau tidak.
"Aduh sayang, kok kamu diem aja, kamu masih ngambek ya sama aku," ucap Andrean lagi, kali ini dengan memegang tangan Naya, sontak hal itu langsung membuat jantung Naya berdebar hebat, darahnya mengalir lebih cepat, 'apa gue gak salah denger, pak Andrean manggil gue sayang, ini bukan karena mimpi gue tadi pagi kan,' batinnya bingung.
Sarah menatap ke arah Naya, dari ujung rambut hingga ujung kaki, tatapannya penuh angkuh, ia tak mungkin percaya begitu saja, apa lagi melihat Naya yang berpakaian seperti karyawan, sudah pasti itu bukan lah pacar Andrean pikirnya.
"Siapa wanita ini Rean,?"
Sarah menatap sinis ke arah Naya, sedangkan Naya masih terlihat bingung.
"Kenalin, dia pacar saya!"
Jawaban Andrean sontak membuat Sarah terkejut, bukan hanya Sarah, Naya pun tak kalah kagetnya, bagaimana mungkin dalam hitungan detik ia sudah menjadi pacarnya Andrean, pacar seorang bos nomor satu di perusahaan tempatnya bekerja.
"Apa gue gak salah denger,"
Sarah terdiam sesaat, ia kembali memandang ke arah Naya dengan angkuhnya, kemudian melanjutkan kembali kalimatnya.
"Ini pacar kamu ? gue tau banget tipe lo bukan seperti ini Rean!" Sarah menjawab dengan begitu yakin.
"Jangan sok tau, lebih baik kamu cepat pergi dari sini, atau kamu mau jadi obat nyamuk,? Betul kan sayang,?" Lagi-lagi Andrean bertingkah seperti layaknya sepasang kekasih. Sedangkan Naya hanya terlihat mengangguk sambil memasang muka aneh, masih bingung dengan apa yang sedang terjadi.
"Inget Rean, suatu saat lo bakal nyesel karena udah nolak gue," gerutu Sarah sambil bergegas pergi, tampak kemarahan di wajahnya, apa lagi saat melihat Naya, ia semakin tak rela jika Naya bersama Andrean, Sarah pun pergi dengan tatapan sinis namun penuh arti.
Riko yang sedari tadi hanya menjadi penonton, terlihat melemparkan senyuman ke arah Andrean yang masih saja memegang tangan Naya.