"Kamu ke sini sama siapa, ganteng?" Ucap Arga setelah mendudukan Arga kecil, di atas pahanya.
"Bibi?" Sahut Arga kecil. "Aku liat om Aga, jadi aku kecini?" Beritahunya dengan gaya polos.
Padahal baru dua kali Arga kecil melihat pria yang sedang memanggku dirinya. Bahkan pada pertemuan kedua durasinyapun benar-benar singkat. Tapi anehnya, anak itu bisa langsung memahami sosok Arga. Mungkin karena mereka mempunyai nama yang sama, sehingga walaupun singkat, terasa berkesan.
Arga tersenyum nyengir, menggunakan telapak tangan ia membersihkan keringat di kening anak itu. "Kamu bilang nggak, sama bibi?"
Arga kecil menggelengkan kepalanya.
"Lho, kok gitu. Ntar kalau bibi nyariin gimana?"
Arga kecil hanya tersenyum, memamerkan gigi ompongnya.
"Mas," celetuk Doni yang sejak tadi hanya bengong menyaksikan interaksi Arga dengan boca kecil itu. "Dia namanya, Arga?"
Arga tersenyum nyengir memandang wajah polos anak itu. "Iya, dia namanya Arga, sama kayak aku."
Doni hanya mengangguk-anggukan kepal. Setelahnya pemuda itu kembali fokus menyimak keakraban yang terjalin antara Arga dengan Arga kecil.
"Yaudah, Aga sini aja, biar bibi yang nyari ke sini."
Arga kecil mengangguk patuh. Tingkahnya yang menggemaskan, membuat pria itu ingin mendaratkan ciuman di puncak kepalanya.
"Ya ampun, Arga di sini. Bibi nyariin."
Suara seorang wanita memaksa Arga melepaskan ciumannya dari kepala anak itu. Pria itu lantas menoleh ke sumber suara, lalu melihat seorang wanita, yang sedang berjalan tergesa, mendekati mereka.
"-eh, ada om Arga." Ucap bi Itum. Kemudian ia menghela napas lega. "Bibi udah takut, nyariin Arga tadi."
"Iya kata Aga, tadi dia ke sini karena liat aku, bu."
"Oalah gitu, pantes. Arga yuk nanti mami Tias nyariin. Bibi takut kena marah." Kedua tangan bu Itum mengulur, hendak menggendong Arga kecil, namun menggantung di udara karena Arga mencegahnya.
"Bentar bu, aku mau nanya sesuatu, boleh?"
"Soal apa ya, om?"
Arga menggeser posisi duduknya, memberi tempat untuk bu Itum. Paham dengan maksudnya, wanita paru baya itu langsung mendudukan dirinya di sana.
"-jangan lama-lama tapi ya, om. Takut bu Tias nanti nyariin. Soalnya kita di suruh nunggu di parkiran tadi."
Arga mengulas senyum, "enggak bu," janjinya. "Aku cuma mau tanya, kalau boleh tau, nama ayahnya Arga ini siapa, bu?"
"Oh itu, namanya pak Reza om. Nama panjangnya Reza Ramadhan."
Jawaban bu Itum membuat Arga menelan ludah. Dadanya mendadak terasa sesak, dan wajahnya berubah murung. Pantas saja Tias tidak mau memberitahu apapun tentang Eza. Jadi ini jawabannya.
"-om Arga kenal juga?" Tanya bu Itum kemudian.
Arga mengangguk pelan. "Iya bu, aku, Tias, sama..." pria itu menghela napas sebelum akhirnya melanjutkan. "Sama Eza berteman. Tapi aku enggak nyangka kalau Eza malah nikah sama, Tias."
Pernyataan Arga membuat kening bu Itum berkerut. Wanita itu tersenyum geli menatap pria gagah, itu. "Om Arga ini gimana, pak Reza sama bu Tias itu enggak nikah, om. Bu Tias udah punya suami, namanya pak Ferry."
Ada setitik perasaan legah, setelah Arga mendengar keterangan ibu Itum. Rupanya cuma salah paham. Pria itu tersenyum nyengir, dan rona merah terlihat di raut wajahnya. "Ku kira mereka nikah, bu. Soalnya, Arga manggilnya mami, ke Tias."
"Bu Tias emang sayang banget, sama Arga-"
Bersamaan dengan kalimat itu, kedua tangan Arga menambahkan pelukkan erat pada bocah kecil, yang masih duduk di atas pangkuannya. Menyadari bahwa ternyata anak ini adalah putra dari pria yang ia cinta, rasa kasih dan sayang, seperti sedang bersemi di hatinya. Tidak puas hanya dengan peluk, pria itu lalu memberikan ciumannya di puncak kepala Arga kecil, sambil memejamkan mata. Meresapinya.
Melihat itu, Doni menelan ludah.
"-jadi, bu Tias pengennya dipanggil mami. Setauku sih gitu, om. Soalnya, aku ikut keluarga pak Reza baru dua tahun." Lanjut bu Itum menjelaskan.
"Terus mereka ke Cilegon mau ngapain, bu?" Tanya Arga di tengah ciuman yang enggan ia lepaskan.
"Pak Reza sama bu Tias mau buka cabang, katanya. Aku sih enggak ngerti om, wong tugasku cuma ngasuh Arga," Jelas bu Itum.
Arga tersenyum nyengir. "Mama nya Arga enggak ikut?"
Ibu Itum mengulas senyum. "Ya enggak lah om, pak Reza kan, udah lama cerai sama istrinya."
Deg!
"Apa?! Eza udah cerai?"
Walaupun perasaan cinta itu masih tahta di hatinya, namun sumpah demi apa, perceraian Eza bukan kabar bahagia untuknya.
"Iya om... pas aku masuk kerja, pak Reza udah jadi duda. Sampai sekarang, belum nikah lagi. Enggak tahu kenapa. Padahal orangnya itu ganteng banget, pasti banyak perempuan yang mau. Udah gitu, sukses lagi-"
Rupanya kabar perceraian itu tidak hanya mengejutkan Arga. Dengan rasa yang berbeda, Doni yang sejak tadi menyimak pun ikut terkejut. Mengetahui jika pria yang dicintai Arga sudah menjadi duda, hatinya mendadak resah.
"-bu Tias juga sering, ngenalin teman-teman perempuan ke pak Reza. Tapi tetep, enggak pernah ditanggepin, sama_"
"Mbak Itum!"
Teguran yang datang tiba-tiba, lantas membuat wanita bernama Itum itu tersentak kaget. Ia menoleh ke si pemilik suara, yang sedang menatapnya kesal. Sejak kapan wanita itu berdiri di sana, baik Bu Itum dan Arga tidak ada yang menyadarinya.
"Eh, bu Tias." Wajah tidak bersahabat yang dipasang Tias, membuat wanita paru baya itu menjadi salah tingkah. "Maaf bu Tias, tadi Arga tiba-tiba ke sini, eh ketemu om Arga," jelasnya dengan polos, tanpa tahu kesalahan apa sebenarnya yang sudah ia lakukan, hingga membuat Tias terlihat marah ke padanya.
Wanita paru baya itu beranjak dari duduknya. Meraih tubuh mungil Arga kecil dari pangkuan Arga, lalu menggendongnya. Tanpa berkata apapun, ibu Itum berlalu meninggalkan Arga, melewati Tias.
"Tias," ucap Arga kemudian.
Tias mengulas senyum. "Seneng bisa ketemu sama kamu lagi, Arga." Kemudian ia melihat arloji yang melingkari pergelangannya, seraya berkata, "Tapi maaf, udah sore. Aku duluan, yah. Mudah-mudahan kita bisa ketemu lagi, nanti lain waktu." Ucapnya beralasan.
"Tias tunggu," cegah Arga yang membuat Tias urung melangkah.
Tias menghela napas. "Kenapa, Ga?"
Arga beranjak dari tempat duduknya. Ia berjalan mendekati wanita, yang masih mengenakan pakaian formal itu. "Aku uda tau semuanya, apa kamu bisa jelasin, sama aku?" Pria itu kini sudah berdiri tepat di hadapan Tias.
"-kenapa Eza bisa sampai, cerai?" Tanyanya kemudian.
"Arga, aku enggak tau," bohong Tias. "Aku sama Eza bersahabat, tapi bukan berati aku tau semua urusan dia. Apalagi, ini soal rumah tangga, aku nggak mau ikut campur."
Jawaban Tidak memuaskan, membuat Arga menghela kecewa. Dengan wajah murung, pria itu meraih pergelangan Tias dalam genggaman. "Yas, aku kangen sama dia. Aku pengen ketemu."
Pengakuan itu tentu saja membuat Doni--yang masih duduk pada posisinya, menjadi gelisah. Ada rasa nyeri seperti sedang menjalar di hatinya.
"-aku pengen ngobrol sama dia." Lanjut Arga.
"Kenapa kamu tinggalin dia? Kamu tau, dulu dia kayak orang gila, nyariin kamu_"
Mengingat itu, Arga menelan ludah. Dadanya mendadak terasa sesak. Menyesal. Itu yang tengah ia rasakan sekarang.
"-gara-gara surat kamu, Eza juga sempet kecelakan. Hampir satu bulan dia dirawat di rumah sakit."
Deg!
"Apa?"
Kali ini, pria itu tidak hanya menyesal. Ia merutuki diri sendiri akibat perbuatan bodohnya di masa lalu. Tiba-tiba saja ia jadi teringat pertemuannya dengan Eza di diskotik, tempo hari. Pria itu baru menyadari, ada tongkat yang membantu Eza berjalan.
Bodoh! Arga memaki dirinya sendiri. Bagiamana bisa, ia tidak menyadari hal itu.
"Tapi sudah lah Ga, semua udah lewat," ucap Tias sambil melepaskan telapak tangan Arga yang mencekal pergelangannya. "Jangan sampai pengorbanan kalian jadi sia-sia. Lupain semuanya. Seperti yang kamu mau, kamu pengen Eza hidup bahagia. Kamu juga enggak pengen ngecewain mama, kan?"
Tias menghela napas. Secara tidak sengaja manik matanya mencuri lirik pada sosok pemuda, yang sedang menatap nanar punggung pria yang berdiri di hadapanya. Entahlah, melihat bagaimana pemuda itu menatap, Tias bisa merasakan atmosfer yang berbeda, darinya. "Aku liat, kamu juga uda bahagia, sekarang."
Lagi, Tias menghela napas. "Please, semuanya uda lewat. Lupain dia."
Setelah mengatakan itu, Tias memutar tubuh, lalu melangkah pergi.
"Tias, aku cuma pengen tau, kenapa Eza cerai?" Ucap Arga mengabaikan kalimat Tias. Entahlah, pria itu seperti tidak yakin, kalau wanita itu tidak mengetahui penyebab perceraian Eza.
"-demi Tuhan, aku enggak pengen denger kabar, kalau Eza udah cerai." Lanjut Arga setelah Tias kembali menatap dirinya. "Tapi, apa itu karena aku?" Ucapnya to the point.
"Bukan." Tias berusaha menggunakan nada tegas, supaya pria itu percaya dengan kebohongannya. "Kamu nggak ada hubungannya sama sekali. Udah Arga, lupain semuanya. Kamu tahu, sebenarnya, Eza juga nggak mau ketemu kamu lagi, setelah dia liat kamu di diskotik, waktu itu."
Deg!
Arga menelan ludah, dadanya mendadak sesak, setelah ia mendengar kalimat terakhir dari Tias. Kalau sudah seperti itu, ia benar-benar merasa nista. Seprtinya tidak ada lagi harapan untuk dirinya. Pria itu terdiam, dengan raut wajah yang berkerut.
"-Arga udah, lupain. Biarin dia pilih jalannya sendiri," Tias kembali melirik kepada pemuda di belakangan Arga. "Dan kamu pilih jalan_"
"Oke," potong Arga. "Aku mau lupain dia, tapi setelah aku tahu, apa dia benar-benar nggak mau lagi ketemu sama aku. Aku juga pengen tau kenapa dia sampai bercerai sama istrinya..." Arga mengehela napas panjang sebelum akhirnya, ia melanjutkan. "Kasih tau Eza, aku nunggu dia di Jogja."
"Jangan konyol Arga, kamu kira ini sinetron_"
"Aku enggak peduli." Sambar Arga. "Aku cuma pengen tau, apa bener dia enggak mau ketemu sama aku."
Tias menghela napas. "Kamu ada-ada aja, Arga." Setelah mengatakan itu Tias memutar tubuh, lalu melangkah pergi.
"Aku tunggu dia di Jogja!" Teriak Arga sambil menatap punggung Tias, yang semakin menjauh.
Namun siapa sangka. Ternyata, tanpa ia sadari, apa yang ia lakukan, telah menyakiti perasaan, yang sudah terlanjur jatuh hati kepadanya. Menggunakan telapak tangan, Doni menyeka air mata, yang menggenang di pelupuk matanya.
Tbc