webnovel

S2. lima belas

Cinta, adalah satu hal yang membuat Arga yakin, bahwa dia akan datang menemuinya. Meski ia tahu betapa kecewanya pria itu ketika mengetahui dirinya di atas panggung, namun melihat bagaimana sorot matanya menatap, pria itu percaya, bahwa masih ada cinta untuk dirinya. Sama seperti ia, yang tetap membiarkan Eza mengisi ruang di hatinya. Lima tahun lalu, hingga detik ini.

Dan sungguh! Perceraian Eza dengan istrinya, bukanlah berita yang ia harapakan. Sebagai orang yang sangat menyayangi, tentu saja ia ingin selalu melihatnya bahagia. Mendukung apapun, semua yang dilakukan olehnya. Termasuk pernikahannya. Meskipun rindu dan cinta terhadapnya masih begitu besar.

Nyatanya, pria itu bisa bertahan dengan hatinya, sampai saat ini.

Sebenarnya, Arga juga tidak pernah mengharapkan ada pertemuan semacam ini. Tapi, jika semua sudah terjadi, mungkin ini yang disebut dengan takdir.

"Kamu yakin mas, mau ke Jogja?" Tanya Doni setelah pria itu sedang memasukkan beberapa potong pakaian ke dalam tas ranselnya. "Apa kamu yakin Eza bakal ke sana."

Doni menghela napas. Pemuda itu merasa kecewa, lantaran seperti diabaikan.

"Mas!" Panggil Doni mencoba mendapatkan perhatian darinya. Dan benar saja, Arga langsung menatapnya, datar. "Kamu nggak lagi main drama korea mas. Nggak ada skenario dari sutradara, yang nyuruh Eza tiba-tiba nanti dateng ke sana. Kamu masih belum paham sama kata-kata Tias?"

Arga hanya mematung, masih menatap pada Doni yang tengah duduk di tepi ranjang.

"-jangan naif mas. Kamu nggak pantes kayak gini." Lanjut Doni. Bola matanya mulai terliht berkaca. "Kita hidup di dunia nyata, dimana hati sama pikiran kita yang menggerakan. Bukan sepeti sinetron yang jalan ceritanya uda disusun rapih sama sutradara. Tolong pikirin lagi, mas."

Apa yang Doni sampaikan barusan, tidak mampu membohongi hatinya kalau sebenarnya ia merasa takut. Pemuda itu khawatir, kalau Eza benar-benar datang menemui Arga.

Menarik napas dalam-dalam, sebelum akhirnya Arga hembuskan secara perlahan. Pria itu meraih kepala Doni, menariknya perlahan hingga menyandar di perutnya.

"Aku nggak tau dia bakal dateng apa enggak. Tapi di Jogja, kita punya banyak kenangan. Di sana, kita juga perah janji. Aku cuma berharap, Eza inget sama rumah yang pernah kita tempati dulu."

"Kamu, sama sekali nggak peduli sama perasaanku, mas?" Ucap Doni sambil melingkarkan kedua tangannya di pinggang Arga, lalu memeluknya erat. "Apa selama ini, kamu nggak ada perasaan apa-apa, sama aku? Kita jalan udah lama, mas."

"Don, maaf. Kamu tau kan, gimana perasaan aku sama Eza. Sebelum kita kenal deket kaya gini, aku udah kasih tau semua sama kamu."

Doni mengurai pelukannya. Pemuda itu mendongak, menatap Arga yang berdiri tegap di sampingnya. "Kamu nggak mau kasih aku kesempatan, mas?" Mohonnya.

Arga menghela. "Don, kamu baik. Terima kasih udah mau deket sama aku. Tapi aku cuma anggap kamu sebagai temen."

Pengakuan Arga sukses membuat bibir Doni bergetar. Bulir-bulir air mulai mengumpul di kelopak matanya. "Temen enggak ciuman pakai nafsu, mas_"

"Aku lakuin itu ke semua pelanggan," potong Arga.

Air mata Doni kini lolos begitu saja. Apa yang ia dengar barusan, sangat menyakitkan untuk hatinya. Selama ini, pemuda itu selalu menggunakan perasaan tiap kali bersentuhan. Tapi nyatanya, pria itu masih menganggapnya sama seperti pelanggan lain.

"-astaga Don." Tentu saja, air mata itu membuat hati Arga merasa tersentu. Ia baru sadar kalimatnya barusan, sudah melukai hati pemuda itu. "Bukan gitu maksudku." Arga kembali menyandarkan kepala Doni di perutnya. "Kamu beda dari yang lain. Makanya aku nggak mau nyakitin kamu. Tolong jangan salah paham."

Menggunakan telapak tangan, Doni menyeka air yang membasahi wajahnya. "Nggak apa-apa." Isak Doni. "Aku tetep masih mau nunggu kamu, mas. Tapi, kalau nanti Eza enggak nusul kamu ke Jogja, tolong kasih tau ya. Biar aku yang nusul kamu ke sana."

Arga menghela napas. Pria itu termenung, dan tatapan matanya kosong.

"-kayaknya, empat hari cukup buat kamu nunggu. Empat hari juga waktu cukup buat Eza berpikir." Lanjut Doni. Pelukannya semakin erat di tubuh gagah pemuda itu. "Mudah-mudahan Tias mau nyampein pesen kamu buat Eza. Aku enggak apa-apa kalau dia nanti nemuin kamu. Aku ikhlas. Tapi jangan lupa, aku juga selalu siap dateng, kapan pun kamu butuh aku."

***

"Uhk... ukh...!!"

Eza membaringkan tubuhnya pada sofa memanjang di ruang tengah--menggunakan pegangan sofa sebagai bantalan kepalanya. Tatapan matanya kosong, menatap langit-langit ruangan.

"Ukh... ukh...!!" Melipat kedua tanganya di perut, Eza memeluk dirinya sendiri, untuk mendapatkan kehangatan. Meski pria itu sudah memakai switer tebal, namun tetap, tidak mampu mengusir hawa dingin, yang berasal dari dalam tubuhnya.

Sekuat tenang, pria itu mencoba melupakan apa yang pernah dilihat olehnya. Namun, semakin melupakan, bayang-bayang itu, semakin nyata hadir dibenanknya.

Eza sama sekali tidak menyangka, pria yang menjadi salah satu alasan kuat mengapa ia harus mengakhiri rumah tangganya, masuk ke dalam lembah nista. Menjul tubuh--merelakan tangan-tangan jahil menjamahnya, bahkan sampai kebagian paling intim. Hanya demi uang.

Memgingat itu, tubuhnya mengejang, pelukan semkain kuat, ketika hawa dingin kembali meresap keseluruh tulang persendiannya, membuat tubuhnya terasa semakin menggigil.

Tias benar, lima tahun waktu yang cukup lama untuk mengubah seseorang. Buktinya, ia sudah melihat sendiri di depan mata. Mungkin ia yang terlalu bodoh. Membiarkan cinta itu tetap bertahan, dan semakin mendarah daging di tubuhnya.

Lalu apa pria itu merasa menyesal? Anehnya, hatinya berkata tidak. Bahkan cinta itu masih tetap ada, meski ia sudah melihat semuanya. Itu yang membuat tubuhnya menggigil, ketika bayang-bayang menyedihkan itu, kembali hadir di benaknya.

Sampai kapan cinta itu akan bertahan, pria itu tidak mampu menjawabnya.

Di tempat yang sama, Tias sedang berdiri mematung. Wanita itu menatap miris pada sahabatnya yang masih meringkuk di sana. Sudah tiga hari ini, ia merasa bimbang.

Mungkin tidak menyampikan pesan dari Arga adalah keputusan yang tepat baginya. Tapi, hatinya juga tidak bisa berbohong. Ia merasa gelisah karena hingga tiga hari ini, amanat yang dititipkan padanya, masih belum ia sampaikan. Tias punya alasan. Wanita itu cuma ingin, sahabatnya itu tidak menjalin asmara yang tak semestinya.

Namun.

Wanita itu menghela napas. Perasaan gelisah itu, yang akhirnya mendorong ia untuk berjalan mendekati sahabtanya.

"Eza..."

Suara lembut Tias membuat Eza tersentak sadar. Pria itu lantas menoleh ke arah Tias yang sudah berdiri di samping sofa.

"Eh, Tias," ucap Eza sambil bangun dari tidurannya, lalu duduk menyandar pada sandaran sofa. Bersamaan dengan itu, Tias ikut mendudukkan dirinya di sampingnya. "Belum tidur?" Ia menelan ludah, saat manik matanya, melirik telapak tangan Tias, yang sedang meremas kotak berwarna hitam. Ternyata, Tias masih menyimpan cincin berhuruf E itu.

"Kamu sakit Za?" Tanya Tias kemduian.

"Cuma demam, tadi udah minum obat. Besok juga sembuh."

Tias mengangguk-anggukan kepalanya. Kemudian wanita itu meletakkan kotak hitam tersebut di atas meja. "Kamu simpen sendiri aja ya, cincinnya. Aku udah nggak bisa simpen lagi."

Eza mendesis. "Kamu bisa buang, itu cincin nggak ada harganya," ucapnya menatap sinis kotak hitam tersebut.

Tias menghela napas, mengabaikan kalimat sahabatnya, yang ia rasa tidak berasal dari hatinya. "Za, apa kamu masih kepikiran sama dia."

"Tolong jangan dibahas ya," serga Eza. "Aku nggak mau denger apa-apa lagi soal dia. Kamu bener, lima tahun itu waktu yang lama buat ngerubah seseorang. Bahkan sangat drastis."

"Trus, setelah kamu liat semuanya, apa kamu masih cinta sama dia. Masih sayang?"

Eza terdiam, ia menghela napas panjang sambil memejamkan mata. Setelah ia bertanya pada hatinya, pria itu pun menjawab.

"Ternyata bener ya, cinta itu enggak bisa liat. Kadang, cinta juga egois, dia nggak mau diajak kerjasama dengan otak kita. Dia sesukanya, jatuh kemanapun yang dia mau_"

Lagi, Eza menghela napas, sebelum akhirnya, ia melanjutkan. "Walaupun cinta ada dihati kita, tapi susah dikontrol-"

Tias terdiam, menatap sahabatnya dengan tatapan yang sulit diartikan. Lebih tepatnya, iba. Meski jawaban Eza terkesan berputar-putar, tapi wanita itu bisa mengambil kesimpulan, bahwa cinta itu masih ada.

"-udah, jangan bahas cinta. Seumuran kita, udah nggak pantes lagi bahas itu." Setelah mengatakan itu Eza mendesis, menertawakan dirinya sendiri.

"Tadi kamu bilang, cinta nggak bisa liat. Berarti, cinta juga nggak padang umur, dong." Timpal Tias yang yang membuat Eza tersenyum simpul.

"Iya, aku tau." Balas Eza. "Tapi kamu enggak usah khawatir. Walaupun aku masih cinta sama dia, tapi aku bisa ikhlas sama kehidupan yang dia pilih." Eza teridam, sambil berpikir beberpa saat. Kemudian, tanpa melupakan rasa cinta yang selalu ada, pria itu melanjutkan. "Selama lima tahun ini, aku juga udah ikhlas sama kehidupan dia yang nggak aku liat. Sebenernya, selama ini aku juga sering bayangin dia. Mungkin, dia udah nikah terus punya anak_" Eza harus menjedah kalimatnya, rasa sesak yang tiba-tiba datang, membuat ia sulit untuk bersuara. Bersamaan dengan itu, bulir-bulir air sudah menggenang di kelopak mayatnya.

"-tapi aku enggak pernah bayangin, kalau dia, jadi_" air mata itu kini mengalir begitu saja, tanpa mau dibendung lagi. Kalimat yang menggantung, hanya mampu ia teruskan dengan tangis sesenggukan.

Tias menarik napas panjang. Rasa sedih yang dirasakan oleh Eza, kini menular kepadanya. Kemudian ia mengulurkan tangan, meraih pergelangan Eza dalam genggaman.

"Za..." panggil Tias kemudian. "Sebenarnya, ada yang mau aku omongin sama kamu. Tiga hari yang lalu, aku ketemu sama Arga di alun-alun. Aku minta maaf, mungkin aku telat ngasih tau sama kamu. Soalnya, jujur tadinya, aku uda niat nggak mau kasih tau ke kamu." Tias menghela sebelum akhirnya melanjutkan. "Arga titip pesen buat kamu."

Eza menelan ludah, "aku nggak mau denger. Udah aku kasih tau tadi, aku udah ikhlas. Dia juga uda ada orang lain. Sayangnya orang lain itu laki, bukan perempuan yang sering aku bayangin."

"Tapi Za..." potong Tias. "Aku enggak tenang kalau enggak ngomong. Aku juga jadi ngerasa bersalah sama Arga. Dia pengen kamu nemuin dia."

Eza mendesis, "buat apa?"

"Dia pengen kamu ke Jogja."

"Ngapain?"

"Dia di sana nungguin kamu." Jelas Tias. Kemudian ia membuang napas lega. "Maaf Za, aku telat ngasih taunya. Setelah ini, terserah kamu mau nemuin dia apa enggak." Tias menghela, "kayaknya dia nunggu di rumah yang kamu beli, deh."

Tentu saja Tias tahu tentang rumah itu. Bahkan ia pernah ke sana, untuk berbulan madu.

Eza terdiam, tatapannya kosong, memandang wajah Tias yang terlihat merasa bersalah.

"-maafin aku, Za," mohon Tias kembali.

***

Rumah sewa, sepertinya hanya akan menjadi tempat untuk menyimpan berkumpulnya semua kenangan lima tahun lalu. Mengharapkan semua itu kembali, dan terulang, mungkin akan menjadi hal yang mustahil. Pasalnya, Arga sudah menambah waktu menunggunya satu hari, dari waktu yang pernah ditentukan oleh Doni. Namun aroma datangnya laki-laki itu, belum juga tercium olehnya.

Arga mendesis, menertawakan apa yang tengah ia lakukan sekarang. Namun di dalam sana, hatinya merasa nelangsa. Dia tidak datang.

Menarik napas dalam-dalam, sebelum akhirnya Arga hembuskan secara perlahan. Pandangannya menebar di sekitar kamar, lalu berhenti pada HP yang ia taru di atas bantal. Ada satu pesan masuk, tertera di layar HP miliknya.

Mengambil HP tersebut, ibu  jarinya menyentuh layar pada tulisan kotak masuk tersebut.

Doni

Mas, apa dia udah dateng?

Belum

Kamu masih mau nunggu dia? Udah lima hari lho..

Nggak tau. Kamu bener ini bukan derama korea. Enggak ada sutradara yang nuyuruh dia kesini. Harusnya aku tau diri aku ini siapa? Aku rendah aku hina. Aku enggak pantes buat dia. Harusnya, kalau emang aku sayang sama dia, aku harus mikir. Dia nggak cocok sama pelacur kaya aku.

Udah lah mas, jangan terlalu merendahkan diri sendiri. Jangan lupa masih ada aku yang mau terima kamu apa adanya.

Kamu jadi ke Jogja?

Aku udah tiga hari di Joga. :)

Dasar.

Habis mau gimana lagi. Aku nggak bisa nunggu lama-lama. Makanya aku ke sini sekalian liburan.

Kamu di mana?

Aku nginep di hotel sumer season, deket malioboro. Aku kirim alamatnya, nanti kamu ke sini ya.

Arga terdiam. Enthalah, rasanya ia ingin berada di tempat itu, menunggunya. Pria itu masih sangat mengharapkan kehadirannya. Namun, setelah ia membaca ulang chatnya dengan Doni, akhirnya ibu jarinya mengetikkan kata 'Yaudah, aku kesana' meski dengan hati yang sangat berat, ia menyentuh tombol kirim pada layar HP nya.

Membuang napas gusar, Arga beranjak dari tempat tidur, lalu berjalan ke arah lemari. Setelah memasukan pakaiannya ke dalam tas ransel, pria itu berjalan keluar kamar. Masih dengan hati yang sangat berat.

Arga akan berusaha menganggap, bahwa ia tidak pernah lagi bertemu dengan Eza, setelah lima tahun lalu meninggalkan nya. Pria itu akan tetap menyimpan nama Eza, dan semua kenangannya, seperti lima tahun yang sudah ia jalani.

Sesak, yah rasanya begitu sesak, pada saat ia melihat ruang tamu di rumah sewa itu. Melihat ruangan kecil itu, semua kenangan indah bersamanya kembali hadir membayanginya. Mulai dari mengobrol biasa membahas pekrejaan, bercanda bersama, bahakan pertengkaran yang berakhir adegan ciuman, di dalam kamar.

Lagi, Arga menghela napas gusar. Dengan wajah yang murung pria itu berjalan ke arah pintu, sambil menyangkolkan tas ransel di sebelah pundak.

Di ambang pintu, pria itu terdiam. Tubuhnya terasa lemas, bahkan untuk meraih handle saja ia seperti tidak mampu. Ia kembali menghela napas, sebelum akhirnya memaksakan diri meraih handle pintu lalu menariknya, hingga setengah terbuka, lalu ia mematung, saat melihat seseorang ada sedang berdiri di depan pintu. Melihat tangannya yang menggantung di udara, sepertinya orang itu hendak mengetuk pintu tersebut.

Pria itu menelan ludah, sambil menatap orang itu, yang juga sedang menatapnya teduh. Pada detik berikutnya, bibirnya melengkung, membentuk senyuman getir.

Menatap wajah orang itu, membuat desir-desir haru bergemuruh di hatinya. Bola matanya mulai berkaca, dan bibirnya bergetar.

"Uhuk...!"

Suara batuk yang keluar dari mulut Eza memaksa Arga menjatuhkan tas ransel, lalu melangkah mendekatinya.

Saat jarak sudah sangat dekat, dengan wajah yang berkerut, secara bersamaan keduanya menghamburkan tubuh, berpelukan erat, seperti tidak ingin melepaskannya.

"Jangan pergi lagi," kata Eza dengan nada suara yang terbata.

Perasaan bahagia yang tidak terhingga membuat Arga tidak mempu berkata apapun. Pria itu hanya sanggup menggelangkan kepala, sebagai jawaban, bahwa ia tidak akan pergi lagi.

Selanjutnya, ditengah pelukan yang dilakukan oleh dua tubuh pria gagah itu, tangis sesenggukan, keluar dari mulut mereka. Arga dan Eza.

Perasaan haru dan bahagia, membuat kedua pria itu, tidak mampu berkata-kata lagi.

SELESAI

Entah sudah berapa lama Doni, berada di tempat itu. Duduk di sebuah cafe yang berada di dalam mall, Jalan Malioboro. Wajahnya murung, pandangannya kosong menatap indahnya Jalan Malliobro di malam hari.

Yah Jalan Malioboro memang sangat terlihat Indah jika di malam hari.

Doni membuang napas gusar, mengusir rasa bosan karena terlalu lama menunggu. Pemuda itu berharap cemas, antara yakin dan tidak yakin. Pasalnya, seseorang yang yang ia tunggu sejak tadi sore memberi kabar, hingga kini hari sudah berganti petang, Arga tidak kunjung menampakkan batang hidungnya.

Hatinya semakin gelisah, dan wajahnya terlihat murung.

Suara pesan masuk dari HP-nya, membuyarkan lamunannya. Pemuda itu merogoh kantung kemejanya, mengambil Phonsel yang ia simpan di sana.

Doni menghela napas, saat melihat tulisan satu pesan dari Mas Arga, tertera di layar HP nya. Setelah menyentuh tombol pada pesan, layar HP nya kini menampilkan deratan kalimat.

Mas Arga.

Don, aku nggak tahu mau ngomong apa sama kamu. Aku minta maaf, aku nggak bisa nemui kamu. Eza dateng nemui aku. Maafkan aku udah bikin kamu kecewa. Terima kasih banyak, atas semua kebaikan kamu. Aku senang bisa kenal sama kamu. Sekali lagi, aku minta maaf.

Setelah membaca pesan itu, Doni bisa lansung mengerti, bahwa sudah tidak akan ada lagi, harapan untuknya.

Lagi, Doni menghela napas, kali ini mengusir sesak yang tengah ia rasakan. Bola matanya berkaca, dan hatinya mulai gerimis. Setelah diam selama beberapa saat, pemuda itu mengetik balasan untuk sang pengirim pesan.

Waktu lima tahun bukan watuk yang singkat mas. Aku senang. Dan aku ngerti. Kamu berhak dapet yang kamu mau. Terimaksih sudah membuat indah hariku akhir-akhir ini. Senang bisa kenal dan dekat sama kamu.

Setelah mengirim pesan yang baru ia ketik, Doni menyimpan kembali HPnya ke dalam saku kemeja. Ia meyandarkan punggungnya pada sandaran kursi, duduk termenung, lalu memejakan mata.

Pemuda itu tidak ada gairah, lagi.

"Permisi."

Suara berat seseorang, membuat Doni tersentak sadar. Pemuda itu membuka mata, lalu melihat seorang pria, sudah berdiri di samping meja, sambil memegang gelas yang mengepulkan asap.

Doni terdiam menatap datar pria gagah, berpenampilan santai tersebut.

"Maaf, boleh duduk di sini?" Ucap pria itu sopan. Senyum manisnya, mampu mencuri perhatian pemuda itu. "Nggak ada tempat kosong lagi, soalnya."

Doni menebarkan pandangan di sekitar cafe tersebut. Ternyata memang benar, ia tidak melihat ada kursi kosong di cafe itu. Hanya ada satu kursi yang masih kosong, berada di mejanya.

Malam ini cafe terlihat sangat rame.

"Oh, boleh," ucap Doni kemudian.

Pria tampan berbewok tipis itu mengulas senyum. "Terima kasih."

Meletakan minumannya di atas meja, pria itu menarik kursi, lalu mendudukan dirinya di sana--berhadapan dengan Doni, terhalang meja kecil berbentuk bulat.

Beberapa menit berlalu, sikap ramah yang ada pada pria itu, membuat Doni sedikit demi sedikit mengulas senyum. Keakraban langsung terjalin, setelah keduanya saling bertukar kartu nama.

Setidaknya, ada sedikit obat yang mampu menyembuhkan luka hatinya malam itu.

Terima kasih

Next chapter