webnovel

Tentang Keikhlasan

Pada kenyataannya luka itu tidak akan pernah hilang. Karena luka itu akan membekas. Yang sewaktu-waktu luka itu akan kembali datang. Di tempat yang sama, bahkan luka itu dapat lebih dalam lagi dan lebih menyakitkan dari sebelumnya. ~Rani Adhwa Salsabila Indah... Kata itu begitu melekat menggambarkan dirimu. Bagaikan lukisan jika dipandang, tidak akan membuat orang berpaling. Menelusuri setiap titik lukisanmu yang menyimpan sebuah rahasia. Di mana tidak semua orang bisa menemukan rahasia itu. Rahasia yang dapat menunjukkan senyuman sekaligus luka dalam waktu yang sama. ~Muhammad Ali Arifansyah

Cocha · 历史言情
分數不夠
17 Chs

Bagian 7 | Pertemuan [Flashback]

Selamat Membaca! 😊

_________________________

Suara azdan subuh sudah berkumandang, semua penghuni rumah bangun dan melaksanakan kewajibannya. Selepas menunaikan sholat, para penghuni melakukan aktivitas mereka masing masing.

Termasuk Ambar yang hari akan pergi ke pasar bersama Adhwa. Berhubung Safiya sedang tidak enak badan, jadi mereka hanya pergi berdua. Yang tentunya di antar oleh putra tercintanya, Arya.

Perjalanan kurang lebih membutuhkan waktu 20 menit. Selama perjalanan, Ambar menanyakan keadaan Adibah. Sebab, jika Ambar menanyakan langsung ke adik iparnya itu pasti langsung mengalihkan pembicaraan. Adibah selalu menghindar ketika ditanya tentang kesehatannya.

Dia selalu menyembunyikan kondisinya. Adik iparnya itu selalu berkata baik baik saja, padahal kondisinya sedang tidak sehat. Adibah selalu berusaha menolak untuk di bawa ke rumah sakit ketika kesehatannya sedang menurun.

"Insya Allah bunda kamu selalu baik baik saja. Berdoa terus, biar bunda kondisinya selalu stabil." Ucap Ambar seraya menggenggam punggung tangan Adhwa.

Gadis itu tersenyum. "Aamiin. Pasti bude." Adhwa ikut menggengam tangan Ambar di punggung tangannya.

"Jangan sungkan kalau butuh apa apa." Tuturnya dengan lembut.

Hatinya menghangat kala wanita itu berkata. Dia sangat beruntung memiliki keluarga yang begitu baik. Dari ayah dan bundanya, hanya ayahnya yang memiliki saudara. Bundanya anak tunggal, dia juga anak tunggal.

Keluarga yang tersisa hanya pakde, kakek dan nenek bundanya udah nggak ada. Yang masih ada dari sang ayah. Itu pun jauh, di Blitar. Jadi mereka ke sana hanya saat lebaran. Atau saat ada acara nikahan.

Adhwa tersenyum mengangguk. "Iya, bude."

"Dan kalau ada yang ganggu pikiran kamu itu cerita aja. Nggak usah disimpen. Imbasnya nanti ke kesehatan. Yang ada nanti kamu sakit." Tutur Arya di balik kemudi.

Padangannya beralih ke pria itu. "Iya, Mas Arya tersayang. Suaminya Mbak Safiya. Anaknya Bude Ambar sama Pakde Haidar. Ponakannya Bunda Adibah sama Ayah Restu." Pria membelakan mata. Setelahnya terkekeh karena mendengar begitu banyak gelar yang Adhwa ucapkan.

"Panjang bener, gelarnya."

"La emang bener, kan?"

"Ya, iya sih. Tapi ya nggak usah disebutin semua."

Ambar geleng geleng kepala. Dia menghembuskan nafas pelan. "Udah. Nggak usah diterusin. Ntar urusannya panjang kayak sinetron." Keduanya adik kakak itu terkekeh.

"Oh ya, Mbak Safiya gimana? Udah enakan belum?" Tanya Adhwa kepada pria itu.

"Udah lumayan. Tapi kadang juga masih mual." Jawab Arya. Bertepatan saat mobil berhenti di depan pasar.

"Mbakmu kan emang gitu. Kayak kamu, makannya suka nggak teratur." Timpal Ambar. Adhwa menyengir sebagai respon.

"Udah yuk." Ambar membuka pintu mobil, begitupun dengan Adhwa. Keduanya keluar dari mobil dan menepi ke dekat pasar.

"Arya tungguin di parkiran tempat biasa." Ucap Arya sebelum mobil berlalu.

Selepas putranya menghilang, Ambar menggandeng Adhwa untuk masuk dan mulai membeli apa saja yang akan dimasak hari ini. Dari mulai wortel, buncis, kembang kol, kubis, dan lain lain. Sampai diakhir berbelanja dan berniat untuk pulang, ada kejadian hampir memalukan.

Itu bertepatan saat Ambar sedang membeli ikan dan Adhwa menunggu di tempat lain. Gadis itu berniatan untuk menyusul Ambar karena budenya itu nggak muncul muncul.

Lantas dia membawa lagi dua kantong kresek yang sebelumnya dia letakkan di bawah. Dan kebetulan lumayan berat. Kemudian saat dia hendak melangkah, ternyata ada batu yang mencuat lalu membuatnya tersandung dan hampir saja terjatuh.

Jika saja tidak ada yang menahan lengannya, mungkin saja tidak ada kata hampir, tapi sudah. Lalu menangis karena menahan malu. Dia menegakkan tubuh dan menetralkan jantungnya yang berdetak kencang. Juga nafas yang sedikit tak beraturan.

Saat nafasnya kembali normal, dia menyadari jika lengan kirinya masih dalam genggaman seseorang.

Lalu dia menoleh ke orang itu. Dan dilihatnya seorang pria memakai kaos hitam polos. Dengan celana jeans warna biru muda. Lalu rambut hitam pekat yang sedikit berantakan dan juga keringat yang membasahi dahinya. Mungkin karena ramainya pasar yang membuat suasana menjadi pengap. Berhubung ini juga pasar tradisional yang lantainya juga bukan keramik melainkan batu bata yang sudah ada beberapa yang mencuat.

"Kamu nggak pa pa?" Tanya pria itu. Sambil melepas genggamannya.

"Nggak pa pa, mas. Makasih." Jawab Adhwa disertai senyum kaku.

"Lain kali hati-hati. Atau mau saya bantu?"

Gadis itu langsung menggeleng cepat. Tidak mungkin dia menerima tawaran bantuan dari orang yang baru dia kenal. Bukan karena dia berburuk sangka, tapi memang dia tidak terlalu suka berurusan dengan orang baru. Adhwa segera mengangkat kembali kantong kreseknya dan berjalan pergi. Tapi sebelum dia melangkah, Ambar sudah berjalan mengampirinya.

"Nduk, kenapa?" Tanya budhe dengan kening berkerut.

"Nggak pa pa bude, ini aku tadi kesandung. Terus di tolongin masnya ini."

Kepala budhe otomatis menoleh ke samping kanan. Melihat seorang pria berdiri tegak dan tersenyum kepadanya.

Dan satu lagi, pria itu cukup tinggi. Adhwa hanya sedagunya. Padahal gadis itu juga tidak pendek-pendek banget. Tingginya sekitar 165 cm.

"Terima kasih sudah menolong keponakan saya." Bude tersenyum ramah.

"Sama-sama, bu." Sahut pria itu seraya tersenyum kembali.

"Kalau gitu kami permisi dulu." Gadis itu menggandeng budhe dan tersenyum. Pria itu mengangguk dengan senyuman manis.

Selepas keduanya pergi, pria itu masih setia menatap mereka. Sampai saat lengannya ditepuk dan diikuti suara yang sangat dia kenal.

"Hayo, disuruh beli ikan malah diem di sini." Seorang wanita berambut lurus sebahu.

"Ali habis nolongin orang, ma." Jawabnya.

Pandangan mamanya itu mengamati sekeliling. "Mana orangnya?"

"Ya udah pergilah, ma."

"Perempuan apa laki laki?" Tanya mamanya dengan penasaran.

"Perempuan." Jawab pria itu dengan malas. Pasti nanti ujung ujungnya suruh kenalan.

"Kenapa nggak diajak kenalan aja?" Tuh kan, bener.

Pria yang bernama Ali itu menggaruk telinganya yang tak gatal. "Lanjut yuk, nanti keburu habis ikannya. Dimakan ikan yang lain." Ucapnya asal untuk mengalihkan pembicaraan.

Wanita itu sekali lagi memukul lengan putranya. "Mama belum selesai ngomong."

Ali merangkul pundak mamanya dan segera pergi. Jika diteruskan pembicaraan topik ini akan berurusan panjang. Mamanya ini 11 12 sama menantu kakaknya kakek. Selama dia belum ada tanda tanda punya pasangan, pasti dikenalin sama banyak perempuan. Usahanya adaaa aja. Tapi kalau mamanya itu secara halus, beda kalau istri sepupu mamanya itu, yang langsung terang terangan. Dia merasa kasihan juga sama Rafka. Tiap hari di omelin terus karena statusnya yang jomblo.

Beruntungnya dia karena mamanya sekarang sudah tidak terlalu mengejarnya segera menikah. Mungkin juga sudah lelah terus mengenalkannya dengan perempuan tapi selalu dia tolak.

Dan hari ini dia ambil cuti karena mamanya yang meminta. Untung saja pekerjaan di kantor hanya sedikit, kalau tidak dia bisa repot.

Mamanya meminta dia mengatarkannya ke rumah Oma Alice —omanya Reza, sahabat ter the bestnya. Alasan mamanya sih, katanya kangen sama Oma Alice. Kangen pengen masak bareng.

Awalnya dia menolak, tapi mamanya memaksa dan memasang mode 'ngambek'. Alhasil pria itu mau tak mau menuruti kemauan mamanya.

Selepas drama itu terjadi, keduanya berangkat. Tapi wanita yang begitu dicintainya itu memintanya untuk mengantar ke pasar dulu untuk membeli bahan bahan untuk memasak. Ali kira, belanjanya akan ke giant, atau pasar modern. Ternyata pasar tradisional. Ya sebenarnya dia tidak masalah. Tapi kan, yang dipakainya sekarang sepatu slip on. Tau begitu, dia pakai sendal saja. Apalagi saat tahu pasar yang disebutkan mama tercintanya itu. Saat Ali hendak protes, sudah didahului mamanya. Dirinya pun hanya bisa memberikan senyuman termanis.

***

Begitu masuk rumah, ketiganya mengucapkan salam dan dijawab oleh Haidar, Adibah serta Safiya. Kamudian Ambar langsung ke dapur bersama Adhwa. Disusul Adibah yang juga ikut membantu. Sedangkan Safiya yang masih merasa mual tetap duduk di kursi.

Setelah selesai memasak, mereka sarapan bersama. Selama sarapan, sesekali mereka bertanya tentang aktivitas masing masing. Sampai kurang lebih 15 menit, sarapan selesai.

Arya beranjak menuju kamar untuk siap siap berangkat kerja dengan diikuti Safiya. Sementara Haidar, dia bersiap akan pergi menemui temannya. Dan berhubung tempatnya searah ke tempat kerja anaknya, akhirnya Arya yang mengantar.

Selepas dua pria itu pergi, para wanita berkumpul di ruang keluarga.

"Oh ya, tadi waktu di pasar, kita ketemu orang ganteng banget. Udah gitu tinggi lagi. Pokoknya cakep deh." Ambar menatap keponakannya yang duduk di seberang. "Tadi lupa kenalan ya, nduk."

"Ngapain di bahas sih, bude."

"Beneran, bu?" Tanya Safiya berbinar.

Padangan Ambar berganti ke Safiya. "Iya. Beneran. Cocok deh, kalau Adhwa sama tuh orang."

Sedangkan Adibah menatap sang putri dengan kerutan di kening. Seolah bertanya lewat batin. "Enggak bunda. Kejadiannya tuh nggak sengaja." Jelas Adhwa mengerti tatapan sang bunda.

Tatapan Adibah beralih ke Ambar. "Emang kejadiannya gimana, mbak?"

"Detailnya sih, mbak nggak tahu. Karena mbak lagi di tempat lain. Terus pas mau balik ke Adhwa, udah ada tuh orang. Adhwa bilangnya sih habis kesandung, terus ditolongin sama orang itu."

"Tuh kan, nggak sengaja bundaa." Sahut sang putri.

"Kenapa nggak diajak kenalan dulu?" Tanya Safiya menambah kekesalan Adhwa.

Adhwa memberengut. "Apa sih, mbak. Orang cuma nolongin."

"Ya nggak pa pa. Siapa tahu cocok."

"Itu tuh, nggak sengaja ketemu. Dan bener bener nolongin biasa. Nggak ada yang gitu gitu." Kata Adhwa dengan penekanan.

"Justru yang nggak sengaja itu biasanya jodoh." Sahut Ambar.

"Naah, bener!" Timpal Safiya membuat suasana heboh.

"Enggak." Sanggah Adhwa.

Adibah yang melihat kekesalan putrinya terkekeh. "Bundaa, bunda percaya kan, sama Adhwa." Ucap Adhwa penuh harap.

Wanita itu tersenyum geli. "Percaya." Adhwa menunjukkan senyum kemenangan. "Tapi kalau yang di omongin bude kamu bener, ya, nggak masalah." Senyum Adhwa luntur seketika.

"Udah ah, males. Aku tuh nggak mau mikirin itu. Sekarang, aku cuma mau sama bunda aja. Cuma berdua. Nggak ada yang lain." Jelasnya dengan yakin.

Menanggapi ucapan putrinya, ada rasa sedih hinggap dihatinya. "Jangan gitu ah. Nggak boleh." Tegur Adibah.

"Ya kan, aku cuma mau sama bunda." Kekeh Adhwa.

"Nak, kehidupan itu terus berlanjut. Kamu nggak boleh ngomong maunya sama bunda aja. Emangnya kamu nggak mau, punya keluarga sendiri?" Tutur sang bunda.

Adhwa tertegun. Lidahnya mendadak kelu. Tidak tahu harus menjawab apa. Karena saat ini yang dia pikirkan hanya bundanya. Bahkan dia sempat berpikir hanya ingin hidup berdua saja dengan bundanya.

Meskipun itu berarti mendukung asumsi asumsi tetangga tentang dirinya. Tapi jika dipikir jernih, memang benar kata bundanya. Mau bagaimanapun, hidup terus berjalan.

Ambar menghembuskan nafas berat. "Nduk, udah ya. Kamu nggak capek?" Tanyanya penuh arti. "Sudahi rasa bencimu itu. Kasihan ayahmu juga. Dia juga mau anaknya ikhlas dan menjalani hidup dengan seharusnya." Tuturnya dengan lembut dan penuh kasih sayang.

"Bunda nggak menyuruhmu untuk mencarinya dan meminta kejelasan. Bunda cuma mau kamu coba untuk buang rasa benci itu." Tambah Adibah dengan tatapan sendu.

Adhwa menunduk. Dia tak sanggup mendongak, takut jika mereka tahu matanya sudah berkaca kaca.

"Nggak semua laki laki sama, dek." Safiya ikut bersuara. Dia menggenggam tangan Adhwa. "Luka itu disembuhkan dan diobati. Bukan disimpan dan dipendam." Ucapnya dengan tulus.

Hati Adhwa rasanya campur aduk. Tidak tahu harus menanggapi bagaimana. Jika dibilang trauma, tidak juga. Tapi, rasanya akan risih dan tidak suka jika dia harus memikirkan tentang pasangan. Entah kenapa, semenjak 2 tahun lalu, rasanya dia seperti sudah tidak berminat untuk menikah. Tapi disisi lain, dia juga ingin mewujudkan keinginan almarhum ayahnya. Dia bingung harus bagaimana.

Kejadian 2 tahun lalu benar benar membuatnya terpukul dan tertekan. Ada rasa kebencian, marah, kecewa, bercampur menjadi satu saat mengingat kejadisn itu. Andaikan hal bodoh itu tidak dia lakukan, mungkin semua ini tidak akan terjadi.