webnovel

Jangan Lari Dariku!

Vino meletakan sendoknya sebagai tanda bahwa ia telah selesai menyantap makan siangnya. Hari ini Vino akan berangkat ke New York untuk melakukan perjalanan bisnis. Namun sebelum berangkat ia berniat untuk menemui seseorang.

Setelah selesai makan siang, sosok yang ditunggunya sejak tadi akhirnya tiba. Dia adalah Harry Pandanan, seorang pengacara yang cukup terkenal. Dia juga akan segera bergabung dengan Tim hukum Sky Els Group.

"Selamat siang tuan." Sapa Harry. Dia menundukan kepala seraya memberi hormat padanya.

"Ohh pak Harry, silahkan duduk." Vino mempersilahkan Harry untuk duduk. "Jadi bagaimana? Apa ada yang bisa kita lakukan?" Vino langsung melontarkan pertanyaan pada Harry.

"Seperti yang sudah saya sampaikan sebelumnya tuan, tidak mudah untuk menguasai semua saham milik Sky Els group. Saham terbesar saat ini masih di pegang oleh nyonya Elsa." Harry mulai menjelaskan.

"Tapi kondisi Elsa jelas tidak akan membuatnya bisa pulih dalam waktu dekat ini. Bukankah dewan direksi harusnya mempertimbangkan hal ini?" tanya Vino dengan raut wajah serius.

"Memang benar tuan, tapi.." Harry terlihat ragu untuk mengatakannya.

"Tapi apa?"

Belum sempat Harry menjawab, ponselnya tampak berdering. Ia melirik untuk melihat siapa menghubunginya. Nama Gracia muncul disana.

"Apa lagi yang diperbuat anak itu?" gumam Vino pelan, Harry melihat ekspresi tidak senang diwajah Vino. Ia lalu mengangkat panggilan tersebut.

"Yah bu Gracia. Aku harap ini sesuatu yang penting, karena saat ini aku pun sedang dalam pertemuan penting saat mengangkat panggilamu bu Gracia." Ucap Vino memberikan Isyarat bahwa dirinya tengah sibuk saat ini dan Gracia sudah menggangguanya.

"Maafkan aku tuan, ini mengenai bu Andini dan juga Gibran." Sahut Gracia dari ujung telepon.

Vino tiba-tiba terdiam mendengar Gracia menyebut nama Andini dan Gibran. Gracia mulai menjelaskan duduk permasalahannya. Setelah mendengar penjelasan Gracia, Vino terlihat diam memikirkan sesuatu.

"Hmm, aku tidak ingin kau mengusiknya dalam artian memecatnya tanpa seizinku bu Gracia. Tapi masalah ini, aku percayakan kepadamu untuk memberikan hukuman yang tidak begitu berat. Anda mengerti maksudku bukan?" Vino berbicara dengan suara santai, hal itu membuat Gracia di seberan panggilan merasa bingung.

Gracia takut salah mengambil langkah yang berpotensi membuat Vino marah besar. Tapi mendengar perintah Vino demikian, akhirnya Gracia harus memutuskan hukuman yang tepat untuk Andini.

"Baik tuan. Saya akan memberikan hukuman yang sesuai untuk bu Andini." ucapnya sebelum mengakhiri panggilan.

Vino menghela napas, tiba-tiba ia tertawa tanpa sebab. Membuat Harry keheranan.

"Apa ada hal baik yang terjadi tuan?" tanya Harry sekedar basa-basi.

"Ahh, tidak. Hanya saja ada sesuatu yang membuatku ingin tertawa." Sahutnya tanpa menjelaskan secara detail. "Coba jelaskan kendala yang anda maksud tadi pak Harry." Vino mempersilahkan Harry untuk melanjutkan penjelasannya.

"Masalahnya, semua saham itu akan dibalik nama atas nama tuan Gibran saat beliau berusia 18 tahun. Sepertinya nyonya Elsa sudah mengatur hal ini sejak lama." Jelas Harry.

Vino terlihat tidak begitu terkejut, dia seolah sudah menduga hal ini. Tentu saja ini bukan sesuatu yang disenanginya, karena posisinya saat ini mungkin akan terancam.

"Tuan." Panggil Harry ketika melihat Vino tidak memberi tanggapan.

"Aku sudah menduganya, jadi apakah ada yang bisa kita lakukan mengenai hal ini?" tanya Vino kemudian.

"Kami masih membahas mengenai cara untuk mengambil alih saham itu sebelum usia tuan muda 18 tahun." Jawab Harry.

**

Andini berjalan dengan langkah gontai, dia harus menerima hukuman berhenti mengajar selama 3 hari. Sepanjang perjalanannya menuju keluar sekolah, tatapan heran dan tidak percaya yang datang dari siswa juga para guru membuat suasana hati Andini semakin kacau.

"Memang apa salahnya seorang siswa berada diruangan guru berdua? Kenapa mereka menuduhku seperti itu sih? Apa mereka tidak berpikir kalau mungkin Gibran hanya siswa yang sedang mengantar tugas kepada gurunya." Gerutu Andini, hari-harinya selalu saja kacau karena keberadaan Gibran.

Tapi ia teringat akan situasi pagi tadi. Benar saja, mana ada siswa yang makan bekal milik guru di ruangan yang juga hanya diperuntukkan untuk para guru? Mana ada juga guru yang berani menyentuh wajah dan pakaian siswanya hanya karena alasan pakaiannya yang basah?

Andini sampai meremas-remas tasnya saking kesalnya. Dia menyadari kebodohannya sendiri, padahal dia sudah berniat menjauhi Gibran mulai saat ini. Tapi ia justru lagi-lagi berakhir pada tuduhan palsu. Jika kemarin dia dituduh sebagai pelakor, sekarang ia dituduh memiliki hubungan lain dengan muridnya sendiri.

"Apa sebaiknya aku berhenti mengajar disini yah?" Andini sampai pada titik frustasi. Tanpa sadar Gibran sudah mengikutinya sejak tadi.

"Jangan coba-coba lari dariku!" Gibran tiba-tiba muncul dan langsung merangkul Andini. Untung saja mereka sudah berada diluar pelataran sekolah, dan jam pelajaran yang sedang berlangsung membuat lingkungan sekolah masih tampak sepi.

Andini yang kaget melihat Gibran dengan spontan langsung mendorong Gibran untuk menjauh, hingga ia jatuh terjerembab ke tanah.

"Aagghhh.."

"Jangan sembarang menyentuhku!" Seru Andini.

"Kau.. tenagamu seperti laki-laki saja." Gibran sempat meringis kesakitan sebelum akhirnya bangkit berdiri.

Andini mempercepat langkahnya menuju ke pangkalan ojek yang berada tidak begitu jauh dari sekolah. Gibran juga tidak menyerah, ia terus mengikuti Andini. Sialnya setibanya disana, tidak ada satupun tukang ojek yang bisa mengantarnya untuk pulang.

"Biar aku antar saja." ucap Gibran dengan niat yang tulus.

"Jangan bersikap sok baik didepanku, apa kau tau karena siapa aku sampai dapat hukuman seperti ini?" Andini tanpa ragu menyantlap Gibran.

"Hey aku juga dapat hukuman yang sama, bahkan aku lebih lama di skorsing."

Darah Andini benar-benar meluap, Gibran bahkan tetap merasa tidak bersalah.

'Sabaaaarr.. sabar Andini.' dalam hati Andini terus membesarkan hatinya.

"Tunggu disini, biar aku ambil mobilku dulu."

"Tidak, aku tidak akan pulang denganmu!!" Teriak Andini, tapi Gibran hanya sepintas menoleh. Dia bahkan hanya tertawa mendengar ucapan Andini. Membuat Andini jadi diam tidak habis pikir.

Bukan Andini namanya jika tidak keras kepala, ia berniat untuk pergi meninggalkan Gibran. Namun, langkahnya terhenti karena dihadang oleh beberapa siswa berseragam SMA. Andini menatap wajah mereka satu persatu, tapi dia tau bahwa tidak ada satupun yang dikenalinya diantara para siswa tersebut, itu artinya mereka bukan siswa yang diajar olehnya.

"Mau apa kalian?" tanya Andini dengan tatapan berani, walau dalam hati dia bisa menduga kalau niat mereka pastilah bukan niat yang baik. Posisi saat itu yang cukup sepi, membuat salah satu dari mereka dengan gampangnya menarik Andini. Salah seorang lagi menodongkan senjata tajam ke arahnya.

"Kalau berani teriak, kau akan langsung mati!" ucapnya dengan tatapan menyeramkan.

"Apa yang kalian inginkan?" Tanya Andini mencoba untuk tetap tenang, walau dalam hati ia sudah ketakutan setengah mati.

"Diam dan ikuti saja!" Andini diam tak berani bersuara, ia menyesal karena menolak tawaran Gibran. Saat ini pun dia seolah berharap Gibran datang untuk menyelamatkannya.

Andini diminta untuk masuk kesebuah mobil yang diparkir tidak begitu jauh dari tempat Andini dihadang, saat ia masuk kedalam mobil ia baru menyadari satu sosok yang dikenalinya. Sosok itu ternyata menunggu didalam mobil sementara teman-temannya menarik paksa Andini. Wajahnya menyeringai, membuat Andini bergidik ngeri melihatnya.