Ngomong-ngomong saudara bapak yang lelaki, apa yang perempuan?" Sepulang kami dari mengambil baju di butik langganan ibu Hermawan aku bertanya pada Bryan. Bryan asyik mengemudi tanpa menjawab pertanyanku. Aku melihat kearah wajahnya lalu Bryan menoleh dan kembali melihat kedepan.
"Ih mulai deh,"aku mulai sebal melihat tampang Bryan yang seperti itu , apa senyumannya cuma kalau dirumah saja, aku memalingkan wajahku kearah luar. Tiba-tiba aku merasa ada yang membelai kepalaku.
"Kamu bisa gak kalau lagi berdua jangan panggil Bapak?" pinta Bryan ketika aku menoleh kearahnya.
"Emang mau dipanggil apa?" Sejak aku menjadi sekretarisnya aku tidak pernah memanggil nama lain kecuali bapak.
"Apa kek, mas kek, abang kek, sayang kek, kakak kek," aku tertawa mendengar permintaannya.
"Okey mas Bryan" aku membuat lingkaran dengan menyatukan jempol dengan jari telunjukku.
"Ih geli ya dengernya," tiba-tiba aku sadar dengan yang aku ucapkan kami akhirnya malah tertawa.
"Jadi yang nikah itu cowok, umurnya dibawah aku makanya mama sibuk cariin aku jodoh, emang sih umurku sudah masuk 30, tapi bukan berarti aku musti nikah dengan terpaksakan?" Aku diam mendengarkan omongannya.
"Trus kok kamu bisa tau ukuran cincin aku?" Tanya aku penasaran secara dia tidak pernah mengukur jariku.
"Kamu kan sering tuh ngelepasin cincin kalau pas mau wudhu, aku cobain dijari kelingking aku ternyata cuma setengah masuk dijari kelingking aku. Kamu banyak makan ya biar seksian dikit gitu," dia nyengir memandangku sebentar.
"Udah tau gak seksi kenapa mau," aku sebal mendengarnya.
"Yaaa gimana ya...." Bryan menggantungkan omongannya.
"Terpaksa....?" Mataku melotot melihatnya. Bryan malah tertawa.
"Bukan, abisnya kalau lihat kamu sekarang ini aku pengennya pites sangking kecilnya" Bryan tertawa, aku memukul lengannya karena kesal.
"Emang aku kutu," jawabku kesal namun kami akhirnya tertawa dan dia kembali mengelus-elus kepalaku.
***
Sudah sebulan sejak Bryan melamarku, kami bekerja kembali seperti biasa dan seperti biasa pula aku dikurungnya di dalam ruangan kerjanya, bangku kerja ku cuma jadi pajangan saja namun kali ini sudah tidak ada tatapan dingin lagi dari matanya, dia selalu tersenyum dan mengucapkan terima kasih setiap aku membantu atau menyelesaikan pekerjaannya. hingga pada suatu sore ketika kami sedang duduk nonton TV di apartemenku, tiba-tiba dia bertanya.
"Kalau nanti aku melamarmu, aku harus bertemu siapa?" aku terdiam sejenak dan aku baru sadar bawa aku Aku tidak memiliki siapa-siapa kecuali keluarga di Panti, walaupun aku memiliki seorang paman namun aku tidak pernah bertemu semenjak aku dimasukkan ke rumah Panti olehnya.
"Nanti aku tanyakan dulu pada ibu panti karena selama ini yang membesarkan aku adalah beliau," Bryan tersenyum dan membelai kepalaku.
"Siapapun yang yang menjadi wali mu nanti, itu tidak penting karena aku sangat menyayangimu," kali ini ini dia menatapku untuk lebih meyakinkanku.
Aku sangat bersyukur dicintai oleh pria seperti Bryan, walaupun awalnya dia seperti Kanebo kering yang lama tidak kena air namun sekarang aku berharap jika tutup usia nanti laki-laki yang akan mendekapku aku adalah dirinya. Dan aku berharap surga kunanti ada padanya.
" Besok Sabtu aku ada janji dengan mama," Bryan menatapku, mama adalah panggilan ku kepada ibunya Bryan seperti permintaan beliau ketika aku dikenalkan pada keluarga besarnya sebagai calon dari Bryan.
"Kok aku nggak tahu, kapan mama memintamu untuk datang ke rumah?" Bryan masih menatapku.
"2 hari yang lalu dia bilang sih ingin makan siang denganku, karena sudah lama sejak jadi sekretaris mu aku tidak pernah makan siang lagi dengan mama," Aku Tersenyum sementara Bryan hanya mengangguk-anggukan kepalanya.
" Ya sudah nanti aku temani kamu ke sana," Bryan berdiri dari sofa lalu mengambil buku majalah.
"Kemarin Mama kasih ini untukku, coba kamu lihat-lihat ada yang bagus tidak untuk pernikahan kita nanti," Brian kembali duduk di sampingku sambil ikut melihat majalah yang tadi diberikan olehnya padaku.
"Memang kita mau pakai nuansa warna apa nanti?" Aku ingin tahu apa pendapatnya.
" Aku kurang paham kalau soal itu, 0aku ikut saja apa yang kamu mau pasti akan bagus nantinya" mata Bryan masih melihat pada majalah yang sedang aku buka.
"Ini bagus ya. Tapi memangnya kita mau pesta malam atau siang," Tanyaku lagi.
"Sebenarnya aku lebih suka siang, karena akan banyak waktu jika diadakan kan siang hari," Bryan memberi pendapatnya.
"Iya sih, tapi coba besok kita tanyakan dulu sama mama sebaiknya pestanya diadakan malam atau siang," aku memberi pendapat, lalu kembali membuka lembaran majalah berikutnya.
" Yang ini bagus ya aku suka warnanya lembut dan anggun, untuk yang prianya juga kesannya lebih gagah, karena kan wajah kamu cantik nanti kalau nuansanya lembut nanti aku kalah cantik dong sama kamu?" Bryan tertawa mendengar ocehanku.
"Kamu ya, enggak ada sopan-sopan nya masa aku dibilang cantik. Apa perlu bukti kalau aku lelaki tulen?" Bryan membuka kancing bajunya.
"Ih kamu mau ngapain?" aku memundurkan badanku dia tertawa sambil memegang pipiku dengan kedua tangannya karena gemas.
"Ya Allah, cepatkan lah waktu agar perempuan didepanku bisa segera menjadi Istriku," aku hanya tertawa melihat kelakuannya yang konyol.
***
Aku melihat bunga-bunga putih dan wangi bunga sedap malam dan melati, dikamar hotel yang sekaligus kamar pengantin dan tempat aku dirias.
"Mba Nita mukanya mungil, hidungnya mancung, bibir tipis irit ini sama kosmetik," Ibu Rengganis yang merias ku mengomentari bentuk wajahku. Aku hanya tersenyum.
"Mba mau minum dulu tidak atau mau ketoilet biar nanti kalau sudah dipakaikan baju tidak kebelet pengen pipis," Tanyanya sambil menunjukan air meneral padaku.
"Saya minum dulu boleh Bu?" Tanyaku lalu asisten ibu Rengganis membukakan sebotol air mineral kemudian memberi padaku berikut sedotannya .
"Terima kasih mba," aku meminumnya sejak tadi habis sholat subuh aku memang belum minum atau pun sarapan karena jujur saja aku seperti bermimpi padahal sebulan yang lalu aku bukan apa-apa nya Bryan, hanya sekretarisnya saja tapi rupanya Tuhan punya rencana lain untukku.
"Mba sudah sarapan?" Asisten bu Rengganis seolah membaca pikiranku.
"Belum mba," aku melirik baki berisi sarapan yang diantar ketika aku sudah mulai dirias.
"Saya suapin ya mba, gak papakan?" Aku mengiyakan dari pada nanti pas acara aku pingsan karena kelaparan kan gak lucu.
setelah hampir satu jam aku dirias akhirnya selesai juga, kebaya brukat putih sudah aku kenakan hatiku berdegug tak karuan.
"Sudah siap Nit? Aku menganggukan kepala ketika ibu Neti yang tidak lain adalah ibu Panti yang sudah aku anggap ibuku sendiri menghampiriku.
"Bismillah ya," Ibu menuntun ku kemeja penghulu, aku melihat Bryan sudah duduk dengan gagahnya dikursi yang telah disediakan.
Tak lama setelah mengecek kembali data kami, ijab qobulpun dimulai.
"Saya terima nikah dan kawinnya Arnita Kesumadewi Binti Sujatmika dengan mas kawin tersebut tunai," Bryan menyelesaikan ijab qobulnya dengan satu tarikan nafasnya jujur saja aku merasa terharu sekaligus lega, ibarat punya bisul yang akhirnya meletus juga.
"Sah saksi?" Bapak penghulu bertanya pada para saksi yang dijawab sah dan alhamdulillah.
Acara dilanjutkan keresepsi hingga selesai para tamu yang hadir lumayan banyak kerabat, kolega, mitra bisnis, sahabat dan keluarga besar semua hadir aku bahagia walaupun sempat terselip rasa sedih jika mengingat aku hanya sebatangkara dan sekarang aku sudah memiliki keluarga dan tidak sendiri lagi.
"Lu mau balik dirumah atau nginep dihotel," Damian kakak Bryan yang bekerja sebagai dokter menepuk pundak Bryan.
"Disini lah," Bryan menjawab sambil mengusap-usap punggungku karena pegal, setelah tadi berdiri lumayan lama menerima ucapan selamat dari para undangan.
"Mamah pulang ya sayang," aku mencium tangannya dan mama mencium pipiku.
Sementara ibu Neti sudah berpamitan pulang begitu pesta usai.
"Bro gue balik ya?" Adi dan beberapa teman dekat Bryan menghampiri dan berpamitan.
"Pelan-pelan bro masih disegel," seorang teman Bryan menggoda.
" Parah lu," Bryan meninju lengan temannya itu, aku memang belum mengenal teman-teman Bryan hanya Adi saja yang aku kenal, karena Adi bekerja dengan Bryan.
"Masih disegel kan belum lu tester," kembali salah satu dari mereka menggoda Bryan.
"Emangnya gue cowok apaan," Bryan menendang kaki temannya lalu mereka tertawa-tawa. Sementara aku hanya senyum-senyum melihatnya.
"Inget ya pesan gue? lu kan tinggi gede, pelan-pelan bini lu kecil mungil begini, jangan kasar kasihan," mereka lalu tertawa.
"Sompret lu pada, sana pulang ah padaan," Bryan mengusir dengan kakinya.
"Santai bro baru mau jam dua siang udah ngusir aja kagak sabaran banget," kembali mereka tertawa.
"Pak, mb Nita saya pulang ya," Indri mencium pipi kiri kananku, dia merupakan salah satu panitia pernikahan ku.
"Makasih ya Dri" aku memeluk Indri.
"Pelan-pelan ya Pak," Indri menggoda Bryan.
"Yu sayang kita kekamar disini pengacau semua," Bryan menarik tanganku
"Nit kalau besok dikantor dia masih perintah-perintah seenaknya jangan dikasih jatah ya," Adi menggodaku
"Jangan di denger Yang, mereka dajal semua," Bryan menutup telingaku dengan tangannya.
Setelah tinggal hanya beberara panitya dan petugas WO aku berpamitan kepada mereka , kakiku terasa pegal karena berdiri mengunakan highhill 10 cm, sepertinya kalau dipijit enak juga.
"Kamu pegal ya, aku gendong aja ya?" Bryan bersiap mengangkatku.
"Ih gak usah, malu diliatin orang-orang," aku berusaha menepis tangan Bryan tapi percuma dia sudah menggendongku.
"Mereka juga tahu kalau kita pengantin baru," Aku hanya menenggelamkan mukaku ke dada Bryan, parfum yang aku suka masuk kedalam penciumanku.
"Pencet lantai 6 beb," Bryan menyuruhku karena kedua tangannya sedang menggendongku. orang yang berpapasan dengan kami hanya tersenyum melihat kami berdua.
***