webnovel

Silver Dynasty | Dinasti Perak

Pangeran Akasha. Jelmaan Pasyu. Pasukan Hitam. Entitas tak tampak : Mandhakarma yang keji. Tetiba dunia jungkir balik di hadapan Silva yang sedang berjuang mengatasi hidupnya yang kacau balau. Setelah 11.000 ribu tahun dunia dihancurkan tiga wangsa yang berseteru, hanya dua bulan waktu yang tersisa memecahkan mantra kuno milik Wangsa Akasha dan Pasyu! ______ Ribuan tahun silam, dunia dipimpin empat Wangsa Akasha yang sakti dan empat Wangsa Pasyu yang perkasa. Milind, panglima muda yang tampan dan ulung dari Akasha, mengawal kejayaan wangsa bersama tujuh pemimpin lainnya. Kehidupan damai penuh pesona, limpahan kekayaan dan kehidupan penuh martabat. Kecuali, bagi Wangsa Ketiga, budak Nistalit yang terpaksa menghamba. Kehidupan tetiba berdiri di jurang kemusnahan ketika Mandhakarma, kekuatan Gelombang Hitam, menyapu wilayah Akasha dan Pasyu dengan ganas. Satu-satunya penyelamat kejayaan para wangsa adalah unsur perak yang hanya dapat ditambang oleh para Nistalit. Nami, seorang budak perempuan Nistalit, menjadi tumpuan wangsa ketika keahliannya diperlukan untuk menemukan unsur perak. Hanya ada dua pilihan : memperbaiki hubungan dengan Nistalit ataukah membiarkan dunia dikuasai Mandhakarma. Ketika sebagian Akasha dan Pasyu terpaksa menjalin kerjasama dengan Nistalit, mereka memelajari hal-hal indah yang belum pernah dikenal sebelumnya : cinta dan harapan di tengah-tengah derita dan pengorbanan. Mandhakarma dan sekutunya, tak ingin membiarkan ketiga wangsa menguasai dunia; tidak di masa dahulu, tidak juga di masa kini. Perak, sebagai senjata pamungkas, tetiba menyusut dengan cepat justru ketika manusia sangat membutuhkannya. Sekali lagi, ketiga wangsa diuji untuk mempertahankan dunia dengan cara yang pernah mereka lakukan ratusan abad yang silam. ______ Cara membaca : ●Judul : kisah ribuan tahun silam Judul ( tanpa tanda ● di depan) : kisah di masa kini

lux_aeterna2022 · 奇幻言情
分數不夠
279 Chs

●Gelombang Hitam (13) : Keahlian Nistalit

"Serang aku!" teriak Janur. Kekesalannya memuncak.

Nami dan Dupa tak mampu mengangkat pedang Candhana yang dipersiapkan Janur, senjata khas milik prajurit Akasha Wanawa.

"Serang saja dia. Seperti kau membasmi Pasukan Hitam," geram Sin.

Janur mudah berkelit, naik ke dahan pohon, meloncat tinggi. Memukul Nami dan Dupa hingga terjungkal ke depan. Kedua Nistalit bergulingan di tanah tanpa sempat membela diri. Walau Nami dan Dupa ingin membalas, kenyataannya tak mudah. Wujud Akasha memiliki kemiripan dengan Nistalit, walau mereka memiliki penampilan yang jauh lebih halus dan rupawan. Kecepatan yang luar biasa dan kemampuan menembus ruang dan waktu, menyebabkan gerakannya sulit untuk ditebak. Bagai memukul angin. Bagai melawan kekosongan.

"Kau ingin melihat kami tampak buruk di mata Panglima Milind, heh??" teriak Sin, menendang Dupa kembali, menarik rambutnya.

Nami menubruk Dupa, mencoba merebut rekannya dari cengkraman tangan Sin. Rambutnya justru tertarik oleh sebelah tangan Sin.

"Apa kehebatan kalian justru menguap di Girimba?" bentak Sin. "Sepertinya kalian memang lebih baik kembali ke Gangika!"

Campur aduk perasaan Janur menatap kejadian di depannya. Marah. Geram. Murka bukan kepalang. Ia tetap berusaha berpikiran jernih untuk menuntaskan tugas.

"Sin!" teriak Janur, terpikir sesuatu. "Lepaskan mereka. Kita coba cara lain!"

Sin melepaskan kedua Nistalit kasar hingga untuk kesekian kali, Nami dan Dupa terjerembab.

"Kalian bertarung satu sama lain, Nistalit!" perintah Janur.

Nami mengusap leher. Dupa mengelap ujung bibir. Menahan rasa kemarahan dan kebencian yang menggelembung di dalam dada, mengetuk-ngetuk bilik jantung meminta untuk diledakkan. Bila mampu, ingin rasanya membungkam kedua mulut hulubalang Akasha itu dengan tangan sendiri. Sedemikian rendahnya Nistalit di mata para Akasha hingga mereka diperlakukan seperti itu?

"Kalian dengan perintahku?" Janur mengulang, bersuara lebih keras.

Nami menahan napas, terengah. Berusaha mengangguk walau lelah. Dupa demikian.

"Jawab, Nistalit!"

"Siap, Hulubalang!"

Nami dan Dupa berhadapan. Mereka memilih tongkat tanpa mata tombak, yang biasa dipakai untuk membantu pengerjaan bendungan saat mengungkit. Dengan itu pula, Nistalit mencoba bertahan terhadap serangan binatang yang tetiba menyerang.

Pertarungan antara Nami dan Dupa berjalan lamban sebagai awalan. Beberapa waktu berselang, Dupa menguasai pertarungan dan mematahkan serangan Nami hingga tongkatnya terlontar. Merasa panas oleh situasi, Nami dan Dupa benar-benar ingin melampiaskan kemarahan antar mereka sendiri. Perkelahian tombak usai, dengan kemenangan di tangan Dupa. Nami mengambil pedang tanduk, sementara Dupa pun mengambil senjata yang sama. Putaran kedua dimainkan dengan gemulai dan lincah oleh Nami. Pedang tanduknya seperti selendang yang luwes dimainkan penari, Dupa beberapa kali terkecoh hingga dalam satu kesempatan Nami berhasil memukul ulu hatinya menggunakan gagang pedang tanduk.

Terhuyung.

Satu tendangan dilepaskan Nami hingga Dupa terjungkal.

Nami memburunya, mengarahkan ujung pedang tanduk ke arah Dupa, bagai menancapkan sebatang patahan dahan ke permukaan tanah yang gembur! Ujung pedang itu tertancap, sedikit di atas bahu Dupa yang memandang Nami gemetar. Gadis itu tersenyum dengan terengah, puas dan lelah. Meledek wajah Dupa yang tampak pucat pasi.

"Nistalit! Lihat ke mari!" Janur berteriak.

Hulubalang Akasha merapal mantra, butuh waktu sedikit lama untuk mengubah dirinya ke bentuk yang lain. Tak seperti Pasyu Aswa dan Paksi, yang mudah menguncupkan dan mengembangkan sayap, atau Pasyu Mina yang mudah beralih dari wujud makhluk air ke wujud yang lain.

"Lawan aku, Nistalit!"

Menyerupai sosok mirip Nistalit, Janur menantang Nami dan Dupa untuk bertarung kesekian kali.

❄️💫❄️

Milind dan beberapa prajurit pilihan Wanawa, didampingi Haga hal Paksi, mengawal Gosha menuju Akasha Girimba untuk sebuah urusan penting. Berita yang disampaikan pandhita Wihangga betul-betul tak dapat diabaikan. Pusaka-pusaka di Kawah Gambiralaya dan Gerbang Ambara tak dapat ditunda lagi untuk segera dibuka. Apapun yang terjadi, walau tak sempurna, pintu menuju kedua ceruk penyimpanan pusaka harus segera terkuak.

Selain membuka gerbang penyimpanan pusaka, urusan Mandhakarma benar-benar membutuhkan kesiapan banyak pihak. Senjata tambahan, pasukan tambahan bila memungkinkan.

Milind memanggil Janur ke bilik Kahayun, bilik pribadi sang panglima saat berhadapan dengan tamu-tamu pentingnya. Bilik itu tak besar, tak seperti balairung utama Girimba. Seluruh dindingnya berwarna hijau tua, dengan pilar-pilar kayu jati kokoh berukir setinggi pohon trembesi tua. Jendela-jendela besar menghubungkan bilik dengan dunia luar, terpisahkan oleh sepasang pintu kupu-kupu terbuat dari jati doreng yang kokoh bertekstur elok.

Tanpa istirahat, Milind memanggil Janur.

"Bagaimana perkembangan Nistalit?"

Janur memberi hormat, menjawab kemudian, "Mereka berlatih sangat baik!"

Milind mengamati wajah Janur hingga sang hulubalang jengah dibuatnya.

"Nistalit itu membuatmu babak belur?" tegur Milind, yang tetiba tertawa lepas.

Tawa yang sangat jarang terdengar hingga Janur merasa lega mendengarnya. Walau, wajah Janur merah padam mendengar ucapan Milind. Ia telah membaluri dirinya dengan mantra pengobat, apakah ada yang terlewat?

"Ada yang ingin kau sampaikan, Janur?" tanya Milind, setelah mampu menguasai diri, jejak senyum lebar masih tersungging.

Janur terlihat ragu sesaat.

"Panglima," sang hulubalang berujar hati-hati, "ketika mengajari Nistalit cara-cara Akasha, hasilnya sungguh tak baik. Mereka tak mampu memegang pedang Candana, tak mampu belajar mantra, tak dapat menunggang angin. Walaupun mereka telah tinggal di Girimba dan berlindung di tengah-tengan mantra Akasha."

Milind mendengarkan seksama.

"Ketika kami mencoba mengubah diri ke wujud kasar Nistalit, mereka benar-benar…sangat terampil menggunakan keahlian. Apalagi ketika mereka melakukannya bersamaan, hamba benar-benar kewalahan."

"Apa alasanmu mengubah wujud ke Nistalit?"

"Itu hanya perkiraan hamba, Panglima," Janur berujar. "Mungkin, dengan wujud yang lebih kasar, hamba dapat menjadi lawan tanding yang lebih imbang bagi Nistalit. Hamba benar-benar ingin melihat kemampuan mereka seperti kesaksian Panglima Milind dan Hulubalang Sin. Nistalit ini…bagaimana hamba mengatakannya? Banyak akal? Berani? Pantang menyerah?"

Milind menatap Janur dalam-dalam.

"Walau diam-diam, hamba merasa ada yang mengerikan dari dalam diri Nistalit. Apalagi bila memikirkan Mandhakarma. Entahlah…Mandhakarma ini, apakah mereka Akasha, Pasyu, ataukah …Nistalit? Ataukah …ada bentuk lain di dunia kita ini?"

Milind menarik napas panjang. Senyumnya menghilang.

Apa yang disampaikan Janur terlintas pula dalam benak Milind.

Mengapa Nistalit dapat melihat dan mengalahkan pasukan Mandhakarma, menariknya keluar dari buih-buih Gelombang Hitam sementara hal itu tak dapat dilakukan Akasha dan Pasyu? Benarkah pandangan mereka terkait Nistalit selama ini, bahwa mereka adalah makhluk lemah yang hanya pantas diperbudak? Jika hanya makhluk lemah tak berdaya, mengapa Vasuki yang beranggapan tahu Rahasia Langit, mati-matian menentang keberadaan Nistalit dan berusaha membasmi mereka dengan cara apapun?

Tala hal Vasuki, bahkan rela bermusuhan dengan semua wangsa dan dinasti, serta klan manapun yang membela Nistalit. Jangankan membela, Vasuki bahkan sama sekali tak mau memperbudak Nistalit seperti Giriya atau Gangika. Baginya, hanya ada satu kesimpulan terkait Nistalit : musnahkan.

Apakah, Vasuki benar-benar menyimpan berita langit sendirian?

Atau apakah anggapan Vasuki terkait Nistalit…benar adanya?

❄️💫❄️