Sesampainya di lokasi yang sudah disebutkan oleh temannya itu, aku mengikuti Alan masuk dengan rasa was-was. Rasanya tidak siap jika seandainya nanti terpaksa bertemu dan menyingkap fakta tersembunyi dari pribadi suamiku ini.
"Ayo, Nada."
Alan menarik tanganku, ia bahkan menggenggamnya erat. Kenapa? Apakah ini salah satu cara mengelabui kecurigaanku, karena tadi sempat tertangkap basah tengah menerima pesan dari temannya, yang sama-sama 'anu'.
Sesampainya di lokasi, di sebuah cafe yang berada di tepi pantai, ia terus menuntunku menuju lantai teratas. Terdapat tiga lantai di tempat ini, dan lokasi teratas merupakan sebuah rooftop.
Aku terpana ketika melihat banyak kelopak bunga mawar bertaburan dan disusun sedemikian rupa di lantai, ada bentuk hati di antara susunan huruf I dan U. Tubuhku tiba-tiba panas dingin. Ini begitu romantis. Aku tak pernah menerima hal ini sebelumnya.
Alan masih menggenggam jemariku, hingga kami sampai di satu meja. Ya, hanya satu meja di lokasi ini, dihiasi dengan berbagai lilin aromatherapy, juga lampu meja berwarna merah dengan tulisan 'love', serta satu tangkai mawar merah yang terletak di atas meja itu.
Alan hendak melepaskan tangannya, tapi kutahan. Jangan dulu, aku masih ingin merasakannya lebih lama. Sejenak pikiran buruk tentangnya terlupakan, karena mendapat kejutan super romantis seperti ini.
"Nad, silahkan duduk."
Telapak tangan Alan sudah terasa basah, saat kulihat ke wajahnya, ternyata juga sedang basah keringat.
Aku buru-buru melepaskan genggaman yang tadi sempat kupererat, lalu duduk di kursi yang tersedia di hadapan Alan. Terus saja kulihat Alan dengan tatapan haru. Sementara ia terlihat gelisah tak menentu, berkali-kali mengelap keringat.
"Aa' kepanasan?" tanyaku membuatnya tersentak, dan menatapku.
Ini rooftop, dan terletak di tepi pantai. Aku saja merasa dingin sekali, karena angin laut cukup berhembus kencang tanpa hambatan. Lalu, kenapa dia berkeringat, padahal pakaian yang ia kenakan, hanya stellan kemeja dan celana jins. Rasanya aneh kalau masih kepanasan sampai berkeringat begitu.
Alan menggeleng. Baru akan bertanya lagi, tiba-tiba pesanan datang.
"Maaf, Nad. Ini paket, dan sudah include dengan makanannya, jadi kita tidak bisa memilih menu. Tidak apa-apa, 'kan?" ucap Alan tampak tidak enak padaku, sesaat setelah melihat menu di meja yang hanya ada beberapa item saja, dan isi masing-masingnya juga cuma seiprit.
Aku tersenyum. "Nggak apa-apa, A'. Aku makannya 'kan juga nggak banyak."
Alan menatapku sekilas, lalu menghela nafas.
Kemudian, tanpa berkata apa-apa lagi, ia segera menyantap hidangan ala barat itu. Hmm, apa tadi nama-namanya? Pelayan yang mengantar makanan ini sempat memperkenalkan identitas masing-masing menu.
Garlic bread, makanan pembuka, yang sedang kuambil. Sepiring isinya empat. Pas kugigit, ah ini mah, roti bakar. Enakkan yang biasa kubeli sama akang-akang bergerobak yang biasa mangkal didepan kantor, kalau pagi hari. Gurihnya sama, rasa dan penampakkan saja yang berbeda.
"Gimana? Enak? Apa kamu suka?" tanya Alan setelah ia menyantap dua potong roti bakar.
Aku baru akan mengambil potongan ke dua, lalu mengangguk. "Iya, enak."
Kemudian, lanjut ke menu utama. Katanya, chiecken barbeque. Owalah, ini ayam bakar toh, ditemani kentang goreng, sayur buncis, wortel, dan jagung.
Ada lagi menu penutup, namanya apa ya tadi? Oreo cheesecake. Aku terkejut dan rasanya tidak terima, cuma sepotong kecil saja. Namun, ya sudahlah, bukan aku juga ya bayar.
Semua makanan telah habis disantap, berikut minumannya juga. Kupikir, akan ada hal yang ingin dibicarakan denganku. Tahu-tahunya, dia malah sibuk dengan HPnya. Apa dengan si Zydan itu?
Tidak bisa dibiarkan. Selagi aku istrinya, dia harus lurus.
"A', ke sana yuk."
Kuajak ia berdiri di tepi rooftop sambil menikmati deru ombak dan hembusan angin laut yang membuat jilbabku awut-awutan.
Ia menoleh sekilas, "Sebentar," jawabnya sambil terus mengetikkan sesuatu di layar ponsel.
Aku sengaja berjalan lambat ketika melewatinya, dan kembali mengintip isi pesan itu. Lagi, tertangkap basah, meski tidak begitu jelas semua isinya, tapi kata 'sayang' kembali terbaca.
Darahku semakin berdesir hebat, jantungku juga berdegup kencang. Ayah salah pilih.
"Nad, sudah jam sepuluh, kita pulang yuk."
Sedari tadi kutunggu ia di tepi rooftop, tidak juga datang. Sekalinya menghampiri hanya untuk mengajak pulang. Tak apa. Beberapa menit berdiri sendiri di sini, membuatku berhasil menyusun strategi untuk melakukan tindakan penyelidikan lebih dalam.
Sepanjang perjalanan pulang, kuhanya diam. Kebahagiaan dan rasa haru karena kejutan manis tadi, seketika ambyar, karena Zydan. Aku tidak cemburu. Mana mungkin itu terjadi. Sedangkan perasaan saja belum terlalu ada untuknya, jadi mustahil kalau kekesalanku ini akibat rasa cemburu, pada laki-laki pula. Oh tidak.
Mataku tertuju pada cetakan benda pipih, yang tampak di saku celananya. Rasanya ingin segera kuperiksa isi chat bersama Zydan itu.
*
Pukul dua belas malam. Alan telah terlelap. Sementara aku, tak bisa tidur karena menunggu kesempatan untuk menjalankan rencana.
Alan biasa meletakkan ponsel di nakas sebelah ranjang. Perlahan aku turun dari tempat tidur, berjalan mengendap menuju ke sebelah. Posisi tidurnya menghadap ke kanan, ke arah aku berdiri kini.
Mataku menatap awas ke wajahnya, jangan sampai saat meraih ponsel itu, matanya malah terbuka lebar. Ah, jangan sampai.
Aku mencoba membuka pola sandi HPnya. Pernah kulihat ia saat mengusapkan jempolnya di atas layar touch screen ini, membentuk sebuah pola, tapi aku lupa polanya bagaimana.
Empat kali percobaan gagal. Giliranku yang berkeringat dingin. Kembali kulirik Alan, ia masih tampak tidur dengan tenang. Nafasnya begitu teratur, hanya sesekali dengkuran halus terdengar.
"Apa percobaannya berhasil?"
Aku terperanjat hingga melambungkan ponsel yang sedang kupegang. Beruntung ia segera bangun dan menangkapnya kembali.
Bodohnya!
Kenapa sampai ketahuan begini? Aku menunduk dalam, tak berani menatapnya.
"Ini."
Ia menyerahkan HP dalam keadaan sudah terbuka. Aku bergeming, masih tak berani mengangkat wajah.
"Mau menyelidiki apa? Silahkan aja."
Alan kembali duduk di atas ranjang, sambil terus menyodorkan ponselnya kepadaku.
"Saya nggak mau kamu terbebani karena belum dapat apa yang kamu cari. Silahkan, saya nggak keberatan sama sekali."
Terlanjur basah, rasa ingin tahuku pun harus terpenuhi. Akhirnya kuraih juga ponselnya itu. Dengan mengeyampingkan rasa tidak enak, kuperiksa pesan dari Zydan tadi.
Apa tadi, yang ada sayang-sayangnya?
"Duduk, Nad. Nanti kamu pusing."
Ia meraih tanganku, dan meminta untuk duduk di sebelahnya. Aku menurut.
Setelah membaca semuanya isi chat itu. Betapa malunya diriku.
Ternyata, kata-kata 'sayang' itu, adalah contoh percakapan yang diajarkan Zydan pada Alan untuk diucapkan kepadaku. Sayangnya, ia terus menjawab dengan kata, segan, dan segan.
Duh, berdosanya aku ke Zydan ini. Dia telah banyak membantu Alan untuk memberikan kejutan romantis untukku.
"Kamu mikir apa tadi?"
Lagi-lagi kutelan saliva beberapa kali, sampai terasa kering di kerongkongan.
"Bilang aja, Nad. Supaya kita bisa saling mengenal satu sama lain."
Aku lalu menyerahkan ponsel itu kembali kepada pemiliknya. Tidak ada ketertarikan untuk menyelidiki yang lain. Hanya yang itu saja, sebab sangat menganggu pikiran.
"Maaf, A', aku salah sangka."
Jawabnya begini saja. Terlalu keji jika kukatakan dugaanku yang sebenarnya.
"Nggak apa-apa. Saya paham, ada sesuatu hal yang mengganjal di hatimu dan harus dituntaskan segera. Itulah gunanya tabayyun, meski cara yang kamu lakukan sebenarnya salah. Tidak baik bagi seorang istri memeriksa ponsel suaminya tanpa izin."
Duh, diceramahi. Macam ustadz saja nich si Bapak.
"Maaf, A', nggak lagi-lagi deh."
Sebenarnya aku juga malas begini. Bukan sifatku untuk masuk dan mencampuri ranah pribadi seseorang. Namun, ini karena menyangkut masa depan kehidupan yang baru kumulai.
"Sebenarnya bagi saya nggak masalah, akan saya berikan sandinya padamu, dengan syarat bukanya izin dulu, ya."
Fix, kalau dia berkata seperti ini, tak ada lagi yang perlu dicurigai.
"Maafkan aku ya, A'."
Alan mengangguk sambil tersenyum.
*
Pagi ini, kami sarapan bersama. Aku masih merasa canggung atas kejadian semalam. Sementara Ayah dan Alan tampak semakin asik saja mengobrol tentang banyak hal. Sesekali Ibu pun menimpali.
Aku hanya diam seribu bahasa. Tidak tahu hendak mengatakan apa.
"Oh iya, Yah, Bu. Saya izin membawa Nada keluar."
Keluar?
Kenapa harus izin segala sama Ayah dan Ibu, kalau hanya mengajak keluar? Kadang kupikir, Alan ini terlalu kaku menyikapi segala sesuatu.
"Oh iya, apa rumahnya sudah selesai, Nak Alan?"
Kuangkat wajah demi melihat Ayah. Rumah apa yang di maksud oleh Ayah? Apa ada hal yang tak kuketahui? Apa ini bagian dari kejutan lagi?
"Alhamdulillah sudah siap huni, Yah. Saya juga mau mengajak Nada ke sana nanti. Dia 'kan belum tahu soal ini."
Apa?
Kulihat wajah Ayah, Ibu, dan Alan, sama-sama tersenyum menatapku. Kenapa rasanya aku seperti orang bodoh saja di antara keluargaku ini?
------------