Setelah kejadian semalam, Alan sudah mulai bersikap sedikit hangat kepadaku. Subuh ini, ia membangunkan dengan cara lebih manusiawi. Tidak seperti kemaren, mencipratkan air ke wajahku.
Kehangatan tubuhnya mengalir lewat sentuhan telapak tangan itu di pipi. Seakan memanggil ruh untuk kembali ke raga. Ketika kelopak mata mulai terbuka perlahan, wajah tampan ini tersenyum. Aku mengedipkan mata berkali-kali, bukan bermaksud genit, tapi ingin memastikan bahwa yang saat ini kulihat bukanlah sebuah mimpi.
"Bangun, sebentar lagi subuh."
Ia berkata, sesaat setelah mataku terbuka lebar. Tubuh ini terangkat kemudian, lalu duduk sejenak. Satu kaki telah kuturunkan. Meski masih mengantuk, tapi karena Alan sudah bangun, rasanya tidak enak tidur lagi.
Ya. Kehidupan setelah bersuami memang begini. Terlebih apabila mendapat suami seperti Alan. Baru tiga malam tidur bersamanya, belum pernah sekalipun aku bangun lebih dulu daripada dia.
Seperti biasa, ia berpamitan pergi ke masjid bersama Ayah, sementara aku dan Ibu shalat subuh di rumah saja. Sehabis shalat, aku membantu Ibu di dapur menyiapkan sarapan.
Kehidupan yang kujalani, benar-benar berubah seratus delapan puluh derjat. Biasanya, sehabis subuh, kasur nan empuk itu selalu memanggil kembali untuk ditiduri, begitupun dengan mata yang tak pernah bisa diajak berdamai. Godaan untuk mengulang tidur rasanya memang sangat besar.
Berkejaran dengan waktu saat berangkat kerja sudah menjadi hal yang tak perlu dipertanyakan lagi padaku. Bahkan, Ibu selalu berteriak setiap pagi untuk membangunkan kembali.
Sekarang, pernikahan ini membawaku ke jalan yang benar. Meski berat, tapi aku berusaha untuk menjalaninya dengan ikhlas. Tidak ingin membuat Ayah dan Ibu malu, karena memberikan seorang gadis pemalas pada Alan, yang ternyata memang terbaik itu.
Alan berkata ia akan berangkat kerja.
Mendengarnya saja, membuatku merasa kecewa berat. Bagaimana tidak, kupikir setelah menikah akan ada yang namanya bulan madu. Namun, ternyata zonk. Padahal aku sudah memilih untuk menghabiskan semua jatah cuti tahunan, ditambah dengan bonus cuti menikah selama tiga hari.
Rasanya lumayan untuk menghabiskan waktu bersama dan saling mengenal satu dengan yang lain. Kenyataan yang kudapati, malah seperti ini. Menyedihkan sekali.
"Aa' serius udah masuk kerja aja?" tanyaku mengiba. Tolonglah, ajak jalan-jalan. Ingin juga merasakan bepergian dari rumah, diantar dengan senyumam oleh Ayah dan Ibu, serta tidak ada rasa was-was ketika bersama dengan lelaki di luaran.
"Iya, kenapa?" tanyanya sambil memeriksa beberapa berkas, yang ada di dalam tas kerjanya.
"Memangnya Aa' nggak ada cuti?"
"Ada, Nada." Begitu saja jawabannya, tanpa melihatku. Sibuk saja matanya itu mengamati isi file-file yang sudah ia kembangkan.
"Ya udah, aku tunggu Aa' di meja makan. Sarapan dulu," ujarku seraya melangkah keluar kamar. Kecewa sekali rasanya, tapi lidahku kelu untuk mengajak bepergian duluan.
Namun, belum lagi sempat menggapai gagang pintu, tanganku terasa ditarik pelan dari belakang.
"Saya masuk cuma hari ini aja, kok."
Wah, apa? Aku berbalik dan seketika melompat memeluknya. Senyumku melebar kala membayangkan bisa melakukan sesuatu hal, yang sangat ingin kulakukan.
"Makasih, A'," ucapku senang sekali.
"Makasih untuk apa?"
Kemudian aku tersadar. Benar juga, untuk apa kuucapkan terima kasih padanya. Tidak ada ajakan bepergian pun.
Perlahan, pelukan itu kulepaskan. Walau agak malu-maluin, tapi lumayanlah, bisa juga merasakan memeluk seorang lelaki tanpa dosa, dan dapat pahala pula.
"Anu, itu, hmm ... ya udah, sarapan dulu yuk, nanti Aa' bisa telat lho ke kantornya."
Dengan wajah merah menahan malu, akhirnya aku memilih keluar lebih dulu.
*
Aku sedang berbaring di atas ranjang, saat Alan masuk ke kamar. Ia baru pulang dari masjid.
Tak lama, ia pun berganti pakaian, tetapi bukan dengan pakaian rumah. Namun, busana untuk bepergian. Kulirik ia sambil mengernyitkan dahi.
"Aa' mau ke mana?" tanyaku penasaran.
"Kamu udah isya, belum?"
Dia malah balik bertanya. Aku menggeleng, tamu bulanan baru saja datang. Makanya bawaan malas dan lemas.
"Lho, kenapa? Shalat dulu." Ia menarik tanganku pelan.
"Lagi dapet, A'," jawabku terkesan malas. "Aa' mau ke mana? Kok udah rapi gini."
"Saya mau keluar."
"Sama siapa?"
"Sama kamu. Ayo, ganti pakaian. Mau jalan-jalan 'kan? Kasihan, di rumah terus."
Seketika senyumku kembali mengembang, rasa lemas dan malas lenyap sudah. Dengan semangat aku turun dari ranjang, dan menuju lemari pakaian. Malam ini harus tampil maksimal.
Tanpa malu, kubuka pakaian rumah yang tadi kukenakan. Kemudian mengenakan stellan tunik motif bunga anggrek bulan dan celana palazzo berwarna coklat kegemaranku. Tak lupa, jilbab yang berwarna senada dengan celana.
Sebelum menganakan jilbab, kusempatkan memoles make up tipis di wajah, agar terlihat fresh. Taraaa, selesai.
Kulihat, Alan mematung sambil berkeringat dingin berdiri di sisi ranjang.
"A', yok," ajakku sambil mendekatinya.
Ia kemudian menelan saliva saat melihatku berjalan ke arahnya.
"Ada apa, A'? Kayak abis lihat hantu aja."
"Hmm, kenapa tadi nggak ganti pakaian di kamar mandi aja?"
Kutatap ia sambil menautkan alis. Kenapa pertanyaan itu terdengar aneh di telingaku.
"Lho? Kenapa harus di kamar mandi?"
Aku jadi curiga dengan kepribadian Alan ini. Apa mungkin dia jadi begini karena melihatku berganti pakaian?
Bukankah hal biasa saja melakukannya di depan suami. Tidak ada yang salah, 'kan? Atau kesalahan itu ada di Alan? Dia tidak normal?
Mataku membulat saat membayangkan hal tersebut. Jangan-jangan benar dugaanku barusan. Dia bahkan memintaku berganti pakaian di dalam kamar mandi, seperti yang sering ia lakukan.
Ya Allah, kalau benar ternyata suamiku menyimpang, bagaimana bisa rumah tangga ini kujalani. Lebih baik bersama Aldo saja, yang jelas-jelas normal, dan suka padaku.
"Nggak ada. Ayok."
Ia mendahuluiku berjalan keluar kamar.
*
Sepanjang perjalanan, kuperhatikan ia. Benar tidak sih, dia ini menyimpang? Dari gelagatnya tampak normal saja, tapi sikap ia padaku memang agak sedikit mencurigakan. Berdalih mengatakan, seolah memberiku ruang agar merasa nyaman dengan pernikahan ini, padahal karena ia sendiri yang tidak nyaman untuk memulai menyentuhku.
Dramatis sekali rumah tangga ini, kalau memang dia ternyata seorang, anu. Aku tak bisa mengatakannya.
Selama dalam perjalanan, aku bahkan sengaja searching untuk mengetahui tanda-tanda penyimpangan pada suami. Semuanya tidak ada pada diri Alan, menurut pengamatanku.
Coba nanti kupastikan lagi, ketika melihat sosok pria, bagaimanakah sikapnya?
"Kita mau ke mana, A'?" tanyaku memecah keheningan.
"Makan malam," jawabnya tanpa menoleh padaku. Pandangannya tetap fokus ke jalan.
"Di mana?"
"Saya juga belum tahu, ini sedang menunggu share loc dari teman."
Lho, kok?
"Teman? Ini bukan acara kita berdua?"
Rasanya ingin protes saja kalau ternyata dia menjawab, tidak.
Belum sempat dijawab, ponselnya berbunyi. Ia segera meraih dan membuka pesan dari seseorang itu.
Jiwa ingin tahu yang teramat besarku pun meronta. Kulirik untuk mengintip isi pesannya tersebut.
Profilnya lelaki, namanya Zydan, tapi kenapa sekilas kulihat ada kata-kata 'sayang'nya. Astaghfirullah, aku segera membekap mulut. Benarkah ini semua? Atau aku yang salah lihat.
Aku harus segera mengklarifikasinya. Biar jelas semuanya, hingga bisa dipikirkan arah dan tujuan rumah tangga ini ke mana hendak dibawa.
------------
NB : Nama Zylan diganti Zydan ya Kakak2 semua. Bab2 awal nanti ada perbaikan alur sedikit..