Sepanjang jalan Sullivan menceritakan pertemuannya dengan Shireen. Walaupun nada bicaranya penuh tekanan amarah, Zhiefany tahu perasaan Sullivan yang sesungguhnya. Hanya saja tertutup oleh sikap dingin wajahnya.
Pencarian mereka berakhir pada kedai bakso yang cukup jauh dari lokasi kantor. Sullivan lebih suka berjalan kaki dari pada menggunakan kendaraan. Menurutnya, jalan kaki bisa menyehatkan fisik.
Selain itu dia memang senang bersosialisasi dengan orang sekitar. Sampai saat ini, meskipun sering berinteraksi dengan banyak orang. Tidak ada satu pun orang yang tahu, siapa dirinya yang sebenarnya.
Sullivan dan Zhiefany memilih meja paling pojok di kedai. Area depan nampak lumayan ramai, sedangkan di bangku belakang. Hanya ada dua orang yang duduk, berselang dua meja dari mereka.
Aroma wangi kuah bakso tercium sampai ke hidungnya, perut Sullivan semakin lapar dia rasakan. Zhiefany tersenyum melihat ekspresi gelisah mantan bos nya. Sullivan mengangkat sebelah alisnya, melemparkan tanya lewat gerakan kepalanya.
"Bos, kalo lu lapar jadi oneng yah muka lu, hahahaha." Zhiefany tertawa renyah.
"Gak usah dibahas, dimana-dimana orang yang lapar ya galak. Kalau udah kenyang baru bego," balas Sullivan.
"Hmm, gimana tadi abis ketemu dia?" tanya Zhiefany, tangannya ia lipat diatas meja.
"Ngapain nanya lagi."
"Perasaan lu seneng, kan, bos," cetus Zhiefany cengengesan.
"Sotoy!" tukas Sullivan.
"Hahaha." Zhiefany kembali tertawa. Sullivan memalingkan wajah dari hadapannya. Tatapannya lurus pada jalanan yang berdebu. Pernyataan Zhiefany, dia rasa tidak penting sama sekali.
Seorang pelayan datang dengan nampan berisi dua mangkok bakso. Satu mangkok milik Zhiefany berisi bakso urat jumbo lengkap dengan mie juga sayuran toge dan sawi hijau. Sedangkan milik Sullivan berisi bakso urat kerikil dilengkapi sayuran saja, karena dia tidak terlalu menyukai mie.
Sullivan hanya menambahkan sedikit cabai juga kecap ke dalam mangkuknya. Pria itu tidak suka dengan makanan yang terlalu pedas. Berbeda dengan Zhiefany yang mengisi mangkuknya penuh dengan saos, sehingga kuah bakso yang tadinya terlihat bening.
Berubah warna merah kehitaman dari perpaduan saos juga kecap. Mereka menikmati makanannya masing-masing, sambil sesekali berbincang membahas kehidupan rumah tangga Zhiefany yang menyebabkan dirinya resign dari kantor.
"Tumbenan, lo bisa keluar, Zhie. Laki lo nggak marah?" tanya Sullivan, tangannya menyeka mulut membersihkan sisa kuah bakso yang menempel.
"Yah, gue guncang lagi, bos. Gue pikir setelah resign, dia bakal berubah. Nyatanya tetap aja," jawab Zhiefany, dia menghentikan suapannya.
"Udah lo lakuin apa yang pernah gua suruh?" Pandangan Sullivan lurus menatap wanita didepannya, yang berubah murung.
"Udah, gue capek, bos," jawabnya lagi, bola matanya mulai mengembun.
"Mau lo, apa?"
"Pisah."
"Ya udah."
"Tapi gue masih cinta dia."
"Ya bertahan."
"Tapi, nggak tahan ama sikapnya."
"Ya udah jangan ngeluh."
"Ishy." Zhiefany mencebik kesal.
"Lah." Sullivan mengernyitkan dahinya.
"Kagak jelas lo," tukas Zhiefany, wajahnya cemberut.
"Lo yang gak jelas, mau pisah tapi masih cinta. Tapi juga ngeluh, gajebo banget," tandas Sullivan, menyuapkan bakso terakhirnya. Tangannya meraih gelas besar berisi es teh manis.
"Gue bingung gimana nanti kehidupan anak-anak, bos," keluh Zhiefany.
"Lo masih muda, cantik, gampang cari kerja. Segala sesuatu itu nggak usah di bikin ribet, Zhie."
"Yah gimana lagi, bos," sahut Zhiefany, seringai giginya yang berderat rapi terlihat manis. Sullivan menggelengkan kepalanya pelan.
"Gue cuma bisa bilang, jalani saja sudah. Jangan lo jadikan anak sebagai pertahanan rumah tangga," pesan Sullivan. Zhiefany menatapnya lekat.
Usai makan bareng, mereka berpisah didepan kantor. Zhiefany melanjutkan tujuannya dengan menaiki taksi online. Sullivan melambaikan tangan saat wanita itu sudah masuk ke dalam mobil. Sesampainya di lobi, dia menanyakan pada Yudi ada yang mencari atau ada sebuah pesan untuknya.
Pak Yudi mengatakan ada seorang wanita muda mencarinya dan menitipkan selembar kertas. Sullivan mengucapkan terima kasih, lalu berjalan menuju lift. Tangannya masih memegang kertas, tapi dia enggan membukanya.
Saat lift terbuka, dia kembali ke dalam ruangannya. Waktu menunjukkan pukul satu dini hari. Sullivan menyimpan kertas ke dalam tas selempang kecil yang selalu tersampir di pinggangnya, tak luput juga ponsel yang dia matikan sejak tadi disimpannya diatas nakas.
Cuaca ibukota memang tidak pernah sejuk, jika tidak menggunakan pendingin ruangan ataupun menunggu turunnya hujan. Sullivan bergegas masuk ke dalam kamar mandi, membersihkan dirinya. Usai mandi dia duduk di bawah ranjang kecil dekat meja kerja.
Tangannya meraih tas selempang yang dia simpan diatas nakas. Dia menyalakan ponselnya yang langsung berdering heboh. Lalu, membuka selembar kertas yang diberikan oleh Pak Yudi. Dari tulisan itu dia tahu, siapa penulisnya.
[Om, maukah sehari saja temui aku di taman biasanya. Aku rindu sekali sama Om, tolong jangan siksa aku dengan perasaan ini. Kumohon dengan sangat, Om Suu. Hanya sehari saja, aku janji tidak akan mengganggu hidupmu lagi]
Sudut bibir Sullivan terangkat, menyunggingkan senyum simpul. Kepalanya menggeleng pelan, lalu meremas kertas tersebut dan membuangnya ke tempat sampah. Dia meraih sekotak rokok dari dalam tas selempang dan menyalakannya cepat. Kepulan asap langsung membumbung di udara.
'Sedari dulu, ucapan lo orang nggak bisa dipegang. Gimana bisa, gua percaya sama lo, suing,' gumamnya dalam hati.
Dia merasa muak dengan janji-janji yang Shireen ucapkan. Sejak pertama mereka bertemu, wanita itu sering dengan mudahnya mengucapkan sumpah dan janji. Bahkan, untuk urusan sepele sekalipun. Dia segera menepis bayang Shireen dari pikirannya.
Dari seberang sana, Sullivan tidak menyadari ada sepasang mata yang memperhatikannya. Dialah Shireen yang selama ini mencari keberadaannya. Sejak pertemuan tidak sengaja di mini market kemarin, membuatnya kembali berharap bisa bersama pria yang sangat dia sayangi.
Jendela kantor yang tidak pernah Sullivan tutup, kecuali saat dia tidur. Membuat Shireen bisa melihat jelas, sedang apa dirinya di sana. Teringat pada tragedi terakhir yang membuat mereka terpisah. Bagi Shireen semua hanyalah kesalahpahaman belaka.
***
Bulan Februari 2015 di rumah Sullivan.
"Om, katakan yang sejujurnya dimana anakku," ucap Shireen, air mata membanjiri wajahnya yang pucat. Wanita itu sama sekali tidak peduli dengan sakit yang dia rasakan pasca melahirkan.
"Anak lo sudah mati, lo sudah lihat jasadnya, kan," jawab Sullivan, dia memalingkan wajah darinya.
"Bohong, aku yakin Om bohong. Aku bisa rasain, anakku masih hidup." Shireen bersikeras dengan pendapatnya.
"Terserah lo."
"Om, please, jangan pisahkan aku sama anakku. Aku sayang sama dia, Om," pinta Shireen, memelas memeluk kaki Sullivan. Namun, pria itu bergeming di tempatnya.
"Gua sudah katakan, tapi kalau lo nggak percaya. Itu urusan lo sendiri, jadi sekarang pergi dari sini dan jangan ganggu hidup gua!" tukas Sullivan, kakinya menendang kasar, Shireen yang ada dibawahnya terjerembab. Darah segar kembali mengalir dari belahan kakinya. Sullivan sama sekali tidak peduli dengan keadaan wanita itu.
Pria itu mengusirnya dengan sangat kasar, walaupun lama terduduk di teras rumah. Tak sekalipun Sullivan kembali menengok dirinya yang sedang meringis kesakitan. Dia tertatih berusaha bangkit, meninggalkan rumah Sullivan.
Perbuatan yang dia lakukan pada Sullivan, harus dibayar kontan dengan kabar kematian anaknya. Saat itu hati Shireen belum hancur, semangatnya mencari tahu keberadaan buah hati, hasil pernikahannya dengan Ghailan, suaminya. Yang tidak dia tahu jenis kelaminnya sejak lahir, masih menggebu-gebu.
Karena kelelahan pasca berjuang selama enam belas jam untuk melahirkan anaknya. Shireen kehabisan tenaga dan tak sadarkan diri, begitu tangis bayi pecah di telinganya. Dia sama sekali tidak mengingat apapun, saat sadar dokter mengabarkan bahwa anaknya meninggal.
Shireen berontak tidak terima, karena jelas telinganya sempat mendengar suara tangisan bayi yang cukup kencang. Namun, saat dia dibawa ke kamar mayat. Di sana tergeletak jasad bayi, yang masih baru dilahirkan dengan tali pusar yang masih terlihat basah.