"Bodoh banget sih kamu! Masa semua jawaban ... kamu tanya Zayn, malu saya punya anak kaya kamu!"
Zara terisak, ia menangis sekarang. Bukan karena tamparan dan jambakan yang ia terima dari kedua orang tuanya beserta Citra. Kali ini Zara tak bisa berpikir bahkan hanya sekedar mengapa Agra tak ikut menyiksanya juga seperti biasa. Lelaki itu hanya berdiri di depannya sembari memalingkan muka, enggan melihat penyiksaan yang dilakukan kedua orang tuanya beserta adiknya pada Zara.
Zara lebih menangisi ponselnya sekarang. Ponselnya rusak, bentuknya sudah tak beraturan. Gadis itu berlari menghampiri ponselnya. Buru-buru mencari kartu memori di sana. Namun, ia tak menemukannya.
Ponselnya sudah hancur, dan kemungkinan kartu memorinya bisa saja terjatuh di sekitarnya. Zara mencari ke sana ke mari, tak menghiraukan bentakan atau teriakan kedua orang tuanya. Dengan air mata yang terus menetes, ia tak menyerah untuk mencari.
Ponsel tak berharga, hanya saja ... ada kenangannya dan Kai di memori itu. Poto-potonya dan Kai saat jalan-jalan kemana saja.
"Kak Kai." Zara menggumam lirih.
Namun, pergerakan gadis itu terhenti tatkala Papa menarik tangannya untuk menghadap ke arah mereka.
"Nggak sopan! Orang tua ngomong itu di dengerin, Zara!" Seperti biasa, Papa menggunakan nada tingginya.
Zara menunduk dalam, sembari menangis yang ia tahan sebisa mungkin. Poto Kai di bingkai sudah dirusak oleh Citra, kali ini ... ia kehilangan kenangan bergambar itu. Kenangannya dengan Kai. Poto-poto sosok kakaknya.
Sekarang ... hanya ada Kai dalam ingatannya.
Plak.
Sekali lagi, pipinya yang sudah lebam kembali di tampar. Zara mendongak setelah Papanya melayangkan tamparan untuknya. Tak ia pedulikan sudut bibirnya yang terasa perih.
"Lagi, Pa, sampai Zara mati juga nggak papa." Gadis itu berkata demikian dengan nada lirih.
Semuanya yang ada di sana tampak terpaku sebentar. Namun setelahnya, sang kepala keluarga lebih dulu buka suara.
"Kalau aja nggak ada hukum atau polisi di dunia ini, saya mau aja bunuh anak nggak menguntungkan kaya kamu!" ujar Papa dengan senyum miring.
Zara terkekeh, ia melirik jam dinding di kamarnya. Sudah pukul 7, dan kedua kakaknya masih di sini. Menontonnya macam orang bodoh.
"Bilang aja kalau aku bunuh diri. Ayo bunuh aku, Pa, siksa aku semau kalian. Nggak papa kalau itu bikin kalian puas," ujar Zara dengan senyum tipis.
Ia tak bercanda. Kalau ada yang mau membunuhnya silahkan saja. Sudah sejak awal ia lelah di dunia fana ini. Katakan ia terlalu berlebihan. Tapi ... Zara sudah terlalu bosan dengan hidupnya yang penuh penderitaan.
Papa tampak terdiam sejenak, ia sempat melirik keluarganya yang lain. Pria paruh baya itu tampak ragu. Seolah sedang menimang-nimang sebuah keputusan.
"Ayo, bunuh aku. Cemen banget, masa gitu aja nggak berani." Zara kembali berujar begitu. Kali ini dengan nada menantang yang berhasil menyulut emosi sang Papa.
Lelaki itu melangkah maju mendekat pada Zara. Ia bersiap untuk kembali melayangkan tangannya.
"Kamu hina papa, kamu bakal tahu akibatnya!" ujar sang Papa sebelum melayangkan tamparan.
Zara tersenyum di sela tangisannya yang tak bisa ia hentikan, gadis itu berjalan ke sudut lemari, mengambil sesuatu di sana. Lantas memberikannya pada sang Papa.
"Ayo, bunuh aku pakai pisau ini, Pa," ujar Zara.
Semuanya tercekat. Tak menyangka kalau Zara benar-benar ingin bunuh diri. Tangan sang Papa bergetar, walau putri bungsunya ia tatap dengan tajam.
"Gila lo, Zara! Lo mau bokap gue di penjara, hah?" Citra berteriak kencang.
Zara tak menghiraukan ucapan kakak perempuannya, "Aku meringankan beban kalian. Dari pada tiap harinya waktu kalian diisi buat nyiksa aku, kenapa nggak langsug bunuh aja, kan?" ujarnya.
Mama menatap Zara dengan napas memburu. Wanita itu muak dengan tingkah Zara yang begini. Yang merasa seolah orang yang paling menderita di dunia ini.
Wanita paruh baya itu dengan gesit meraih pisau kecil di tangan sang suami. Ia memejamkan mata, mengarahkan pisaunya ke arah Zara yang sejak tadi memuakkan.
Namun, tangannya yang ditahan membuat matanya terbuka. Wanita itu terkejut tatkala melihat Agra di depannya, menahan tangannya. Bukan hanya sang Mama, Zara dan yang lainnya pun juga kaget.
"Mama mau jadi pembunuh kaya dia juga?" Agra menarik Zara yang berdiri di belakangnya untuk berdiri di sampingnya.
Bahu Zara merosot. Ia kira ... Agra peduli padanya. Tak ingin ia pergi begitu saja.
Atau ... lelaki itu melindunginya karena ingin melihat penderitaannya ... lebih lama lagi.
"Jangan bunuh Zara semudah itu," ujar Agra ... pada 'keluarganya'.
***
Zara tak sekolah hari ini. Katakan ia bolos karena tak memberikan keterangan apa pun. Tak apa, ia begitu pusing hari ini. Gadis itu memilih untuk pergi ke taman kota. Duduk sendirian di bawah panasnya matahari sembari menatap kosong ke depan. Dulu, ia sering ke sini bersama Kai. Duduk berdampingan di bangku taman untuk sekedar berbincang-bincang sedikit saja.
"Zara, kamu di sini ternyata!"
Zara menoleh ke belakang, ia menatap terkejut sosok Zayn. Lelaki itu berdiri sembari menumpu kedua tangannya di lutut. Posisinya ada di belakang bangku taman yang Zara duduki. Cukup terkejut tatkala menyadari Zayn masih memakai seragam sekolah.
"Zayn? Kamu ... bolos?" Zara bertanya tatkala Zayn mendudukkan diri di samping Zara.
Lelaki itu masih mengatur napasnya yang terlihat begitu tak beraturan.
"Gue panik tadi waktu ketemu Citra, dan dia bilang ... lo mau bunuh diri."
Zayn memegang kedua bahu Zara, menggoyang-goyangkannya, "Lo beneran mau bunuh diri?"
"Ya ampun Zara, gue kan udah bilang kalau lo bisa cerita semuanya ke gue. Semuanya. Gue akan jadi pendengar yang baik." Zayn menatap Zara serius.
Lelaki itu tersentak tatkala menyadari wajah Zara yang tampak lebam. Gadis itu terlihat berantakan. Zayn memejamkan mata, lantas segera menarik Zara ke dalam pelukannya.
"Zara ... luka lo sebesar apa sih?" Zayn mengusap punggung rapuh Zara.
Zara tak menolak, gadis itu malah terisak semakin kencang. Ia menumpahkan segala tangisannya ke bahu Zayn, membuat seragam laki-laki itu terasa basah.
"Ssstt ... ada gue, Zara, ada gue." Zayn mengucap kalimat penenang itu beberapa kali.
Beberapa menit berlalu, hanya ada isak tangis Zara. Keduanya mengabaikan para pengunjung lain yang menatap penuh tanda tanya ke arah mereka.
Zara menarik dirinya sendiri. Ia mengusap air matanya yang mengalir deras. Gadis itu menatap seragam Zayn yang basah di bagian bahunya.
"Maaf Kak, baju kamu ..."
Zayn menggeleng kuat, ia mengangkat tangannya untuk sekedar mengusap puncak kepala Zara, "Nggak apa-apa, kok, yang penting ... lo baik-baik aja," ujarnya.
Zara menatap Zayn lekat, lelaki itu begitu perhatian akhir-akhir ini.
"Makasih, Kak Zayn, terima kasih."