Jakarta
Karina POV
Mbak Nia masih di rumah sakit mengurus Kasih yang sedang sakit ketika aku sampai di Jakarta. Aku lalu menimbang-nimbang hendak menghubungi Juna dan dia yang malah menghubungiku lebih dulu. Aku memandangi ponselku cukup lama. Apakah mencoba melanjutkan hidup dengan melibatkan Juna adalah tindakan yang benar? Karena kelihatannya, aku malah memanfaatkannya dengan memberi harapan sementara aku tahu hatiku belum benar-benar ikhlas melepas masa lalu.
"Hi.." Rasanya tidak mungkin mengabaikan teleponnya juga. Hubungan kami sebagai teman selama ini baik-baik saja.
"Bagaimana, jadi ke Jakarta? Mau aku jemput?"
Aku meringis. Kalau sudah seperti ini, aku memang tidak mungkin menghindari pertemuan dengannya.
"Aku sudah di Jakarta."
"Kenapa tidak bilang-bilang? Harusnya kamu telepon dulu sebelum jalan. Sekarang kamu di mana?"
"Di Gramedia dekat rumah Mbak Nia." Akhir-akhir ini, aku sedang suka membaca buku-buku pertanian dan bisnis, sesuai dengan usaha yang aku kelola.
"Aku jemput, ya? Kamu makan siang di restoranku. Kamu belum makan, kan?"
Juna selalu terdengar antusias saat bicara. Mungkin itu yang membuatku cocok dengannya. Kepercayaan diri dan optimisme sudah menjadi ciri khasnya. Kalau tidak percaya diri dan optimis, dia pasti sudah menjauh saat aku berkali-kali menolak ketika dia mengusulkan meningkatkan status hubungan kami. Namun tidak, Juna tidak pernah putus asa. Dia sepertinya yakin aku akan luluh kalau dia terus berada di dekatku. Dan, dia tidak sepenuhnya salah. Beberapa hari lalu, aku memang sudah berpikir untuk memberinya kesempatan kan?
"Tidak usah dijemput. Aku akan ke restoran baru kamu setelah belanja." Juna pernah menunjukkan restoran itu saat masih dalam proses renovasi bulan lalu. "Aku bawa mobil."
Hanya butuh waktu setengah jam dari Gramedia yang aku kunjungi ke restoran Juna. Dia rupanya sudah menungguku karena duduk di salah satu meja, bukannya di dalam ruang kantornya.
"Bagus banget." kataku sambil mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan. Kesan retro yang kental terlihat dari furnitur dan aneka dekorasi yang dipilih. Tempat ini berbeda dengan semua restoran yang dimiliki Keluarga Wijaya yang berkonsep modern.
Juna menarik kursi untukku. "Ini hasil kerjasama aku, ibuku dan teman ibuku yang sangat berdedikasi." Dia kemudian menyusul duduk di depanku.
"Kalau makanannya sebagus interiornya yang instagram-able gini, restoran kamu yang ini juga pasti akan ramai terus."
"Tentu saja makanannya enak. Aku jualan makanan, bukan spot buat foto-foto saja." Juna mengulurkan buku menu yang juga didesain istimewa. "Aku tidak akan merekomendasikan salah satu menu, karena semuanya istimewa. Kamu tidak akan kecewa. Dijamin."
Aku tersenyum mendengar ucapannya yang berbau iklan. Khas Juna yang percaya diri. Setelah meneliti gambar menu makanan yang pasti dikerjakan oleh fotografer profesional, aku menunjuk salah satu gambar iga bakar yang kelihatannya menggiurkan. Juga segelas jus jeruk. Aku tahu jeruknya berasal dari perkebunanku.
Ya, tidak ada salahnya menyebut tempat itu sebagai perkebunanku, kan? Toh, tetap aku yang mengelolanya, meskipun Ka Rangga mengatakan dia sedang mengurus berkas-berkas pengembilalihan tempat itu. Aku yakin, Juan tidak akan kembali ke Jakarta dalam waktu dekat setelah pergi dua hari yang lalu. Dia pasti tenggelam dalam kesibukannya di Lombok.
"Mbak Nia sudah ke sini?" Aku mengembalikan buku menu kepada pelayan yang mencatat pesananku.
"Belum sempat. Ada apa yaa?" Juna balik bertanya.
"Anak mereka sakit, sedang dirawat di rumah sakit."
"Semoga Kasih cepat sembuh ya. Oh ya, Rangga bilang dia melepas agrowisatanya ke rekan bisnisnya?"
Untung saja aku tidak sedang minum, karena kalau iya, aku pasti tersedak. Aku memang tidak pernah melarang Ka Rangga meceritakan pengambilalihan tempat yang aku kelola itu, tetapi juga tidak menduga dia akan menceritakan hal itu kepada Juna, padahal prosesnya belum benar-benar selesai.
"Ka Rangga bilang apa lagi?" tanyaku kemudian.
Hubungan Ka Rangga dan Juna cukup dekat semenjak mereka jadi kolega bisnis. Mungkin saja dia juga menceritakan kalau yang akan mengambil alih usaha agrowisata itu adalah mantan kekasihku.
"Tidak ada. Rangga hanya bilang kalau agro resort itu masuk dalam paket deal museum lukisan yang mau dia bangun. Jadi kamu gimana?"
"Maksud kamu?" Apakah Ka Rangga benar-benar memberi tahu Juna.
"Maksudku, kamu sudah bertemu dengan calon pemiliknya? Beda owner biasanya kebijakannya beda lagi."
Juna ternyata tidak tahu. Ka Rangga tidak membawa-bawa hubunganku dengan Juan saat memberi tahu Juna.
"Hm... sudah." Apakah aku harus memberi tahu Juna? Tapi untuk apa? Hubungan kami belum ke mana-mana.
"Orangnya gimana, menyenangkan?"
Bagaimana cara menggambarkan Juan. "Hm... begitulah."
"Begitulah, bagaimana? Iya, kamu memang tidak mungkin langsung tahu kepribadiannya dalam waktu singkat. Aku nanya kesan pertama kamu saja."
Kesan pertamaku saat melihat Juan dulu? Dia anak bos yang kurang ajar dengan selera yang tinggi untuk semua hal, termasuk wanita. Tidak heran, dia sudah mendapatkan semua yang terbaik sejak lahir. Seharusnya, aku memang curiga saat dia mengatakan tertarik padaku dan mengajakku menikah.
"Biasa saja."
"Dia pasti nyari tempat untuk menghabiskan hari tua. Lombok tempat yang cocok karena tenang. Asal dia tidak punya masalah dengan persendian saja. Udara yang dingin pasti tidak akan membuat dia nyaman kalau sendinya bermasalah. Sudah tua, ya?"
"..." Bagaimana cara menjelaskan bahwa Juan tidak setua itu
Untunglah, pelayan yang mengantarkan minuman datang sehingga percakapan tentang calon bosku langsung terhenti.
"Jusnya enak," kataku, sengaja mengalihkan percakapan.
"Kami hanya menyajikan yang terbaik di sini." Senyum Juna langsung lebar.
"Dan jeruk terbaik itu kami yang suplai."
Juna tertawa. "Oh iya, aku sampai lupa."
Aku menatapnya lekat. Dia sangat tampan. Kalau dunia keartisan hanya mengandalkan tampang semata, Juna pasti diterima dengan tangan terbuka di sana. Tapi kenapa hatiku masih belum tergetar? Dia jenis laki-laki yang bisa mendapatkan perempuan mana pun, dan dia menginginkan hubungan serius denganku. Seharusnya aku tidak ragu, kan? Pasti ada yang salah dengan setelan otakku.
"Kenapa melihatku seperti itu?" Juna rupanya menyadari aku mengamatinya. Dia mengedipkan sebelah mata padaku. "Sudah mulai tertarik?"
Aku hanya tersenyum, tidak menjawab. Seandainya aku bisa menjawab 'iya', aku akan mengatakannya dengan senang hati.
Persis saat pelayan datang kembali untuk mengantar makanan, ponselku berdering. Aku mendesah saat melihat nama yang muncul di layar. Baru saja aku berharap dia melupakan investasi yang sudah disasarnya, sekarang dia malah menghubungiku.
"Ya?" Aku tidak repot-repot mengucap salam.
"Aku dan Rangga baru menandatangani pengambilalihan agrowisata kamu." Cara Juan menyebut agrowisata itu seolah tempat itu memang milikku. "Termasuk tiga mobil operasional."
"Kami hanya punya satu mobil operasional."
"Kata Rangga, dua mobil baru dikirim kesini besok."
Astaga, tiga mobil terlalu banyak. Tamu biasanya datang dengan kendaraan sendiri ke Lombok. Namun, siapa aku untuk membantah?
"Besok pagi aku ke Lampung. Baliknya aku akan mampir ke Jakarta. Akan aku kabarin waktunya supaya kamu bisa suruh sopir menjemputku di bandara."
Apa-apaan ini?!