webnovel

Diary

Jakarta

Hara POV

Tentang Kehilangan dan Pengorbanan

Ceritakan padaku tentang pedihnya sebuah kehilangan

Yang terbang diatas awan senja merah saga

Dan menyisakan ngilu menikam didada

Dalam derap waktu yang bergegas

Agar segera kubaluri hatimu

Dengan sejuk bening embun

Dan tulus cintaku

Ceritakan padaku tentang perihnya sebuah pengorbanan

Yang membakar habis segenap asamu

Dan meninggalkan sepotong lara mengendap di dasar kalbu

Agar kubuatkan untukmu

Rumah diatas awan

Tepat dipuncak larik pelangi

Yang kubangun dari setiap desir rindu dan

Khayalan merangkai impian bersamamu

Dari bilik hatiku, yang senantiasa percaya

Kebahagiaan kita adalah

Keniscayaan tak terlerai

***

Puisi ini kutuliskan untuk Sultan, saat aku duduk di bangku kelas 3 SMA. Puisi ini bukan untuk Bayu apalagi Arya. Kurang lebih, seperti itulah perasaan yang kurasakan saat puisi itu ditulis. Perasaan cintaku kepada Sultan begitu dalam. Setidaknya, aku membutuhkan waktu hingga dua puluh enam tahun untuk recovery dan move on dari bayangan Sultan. Kututup buku harianku.

***

Wardana's House

Author POV

Hp di kamar Satya berdering. Satya membuka matanya yang masih setengah mengantuk. Dia melihat jam dinding di kamar tidurnya. Baru pukul 06.00. Satya baru bangun tidur selama tiga jam.

"Halo," katanya. Dia menguap dan berusaha menutupi dengan tangannya.

"Ini aku".

Sultan langsung terjaga. Dia memang berniat menghubungi Sultan pagi ini, tapi ternyata Sultan sudah menghubunginya lebih dulu.

"Temui aku setengah jam lagi di meja makan". Sultan lalu menutup teleponnya.

Satya menutup teleponnya juga dan bergegas ke kamar mandi.

Setengah jam kemudian, keduanya bertatap muka dengan serius di meja makan.

"Apa yang mau Om bicarakan?" tanya Satya langsung tanpa basa basi.

Sultan menatap Satya dengan tajam. "Aku tidak mau berpura-pura lagi".

"Apa maksud Om?" tanya Satya lagi.

"Aku sudah mengenal Hara sejak lama". Sultan tidak mengalihkan pandangannya dari Satya sedikit pun.

"Aku tidak bisa berpura-pura tidak mengenalnya di depanmu".

Satya melipat kedua tangannya di depan dada. "Aku sudah tahu".

Perkataan Satya membuat Sultan terperangah. "kau sudah tahu?".

"Aku baru saja mengetahuinya kemarin" ucap Satya. Dia memandang pria di depannya dengan tatapan dingin.

"Hara memberitahu mu?" tanya Sultan bingung. Dia tidak menyangka Hara akan memberitahu Satya, apalagi setelah usaha kerasnya untuk berpura-pura tidak mengenalnya.

Satya menggeleng. "Aku mengetahuinya sendiri. Kalian pernah satu sekolah saat di Bandung."

Saking terkejut, Sultan juga merasa lega Satya mengetahui yang sebenarnya. "Baguslah kalau 

begitu. Aku memanggil mu kemari karena aku tidak akan menyerah untuk mendapatkan Hara".

Satya mengernyit keheranan. "Apa maksudnya? Bukankah hubungan Om dengan Tante Hara sudah 

berakhir?".

Sultan tertawa pendek. "Tidak. Hubungan ku dengannya takkan pernah berakhir. Aku datang 

untuk memberimu peringatan. Aku tidak suka mengejar Hara secara diam-diam di belakangmu. 

Itu bukan gayaku. Aku ingin kau tahu bahwa aku mengejarnya. Dan aku tidak akan meminta maaf padamu untuk itu."

Satya bersandar di kursi. Matanya menatap Sultan dengan sedikit bingung. Tapi kebingungan tersebut hanya bertahan sebentar. Sultan berpikir Satya tidak merestui hubungan mereka. Senyum Satya mengembang perlahan. 

Bagaimana sekarang Sultan bisa tahu Satya memutuskan untuk tidak memberi tahu Sultan yang 

sebenarnya. Selain karena itu bukan urusan Sultan, dia juga ingin tahu sejauh mana Sultan akan 

menantangnya. Satya selalu menyukai tantangan baru.

"Apakah menurut Om, bisa mendapatkan Tante Hara kembali?" pancing nya.

Senyum Sultan mengembang perlahan. "Ya. Aku pasti bisa mendapatkan Hara kembali. Dia tidak pernah melupakan ku."

Satya tersenyum singkat. "Apakah Om berkata begitu untuk membuatku kesal?".

Satya menggeleng. "Aku berkata demikian karena itulah yang sebenarnya. Aku mencintai Hara. Kau 

memang menyayanginya karena Anika. Tapi... Kau tidak mencintainya".

Satya diam tidak berkutik. Dia telah mendapat lawan yang sebanding. "Aku tidak akan membiarkan Om Sultan mendapatkan Tante Hara. Om sudah membuatnya patah hati, aku tidak ingin hubungan kalian nanti akan mengagalkan rencana pernikahanku dengan Anika"

"Aku tahu". Tatapan Sultan berubah sedih. "Itulah sebabnya aku tidak akan melakukan kesalahan 

yang sama lagi."

"Tante Hara sudah cukup bahagia bersama Anika," kata Satya kesal. "Kenapa Om bersikeras merebutnya dari Anika? Bukankah kalau mencintainya, Om akan membiarkan Tante Hara bahagia? Dengan siapapun?"

Kini giliran Sultan yang menatap Satya dengan dingin. "Hara sedang tidak baik-baik saja, sekarang mungkin dia bahagia bersama Anika. Tapi, setelah Anika menikah denganmu, dia akan kembali kesepian. Apakah kau tahu Hara tidak menyukai kopi? Kopi membuat perutnya mual. Dia tidak bisa menolerirnya. Tapi kemarin kau memintanya untuk meminum kopi yang kau pesan. Aku yakin Anika juga tidak tahu soal itu, Kalian tidak bisa menjaganya. Itulah sebabnya aku tidak akan menyerah mengejar Hara".

Satya syok mendengar penyataan Sultan. Hara tidak pernah memberitahu siapapun bahwa dia tidak bisa 

minum kopi. Satya ingat ketika dia menyerahkan kopi buatannya di rumah sakit dan Hara meminumnya tanpa ragu. Satya berhenti bernapas.

Saat itu Hara berusaha menahan rasa tidak sukanya hanya untuk membuat pacar anaknya senang. Satya jadi memikirkan hal apa lagi yang tidak dikatakan Hara pada Anika dan dirinya. Selama ini dia berusaha membuat keluarga Anika bahagia, tapi apa yang terjadi malah sebaliknya. Hara yang berusaha membuat Satya nyaman. Satya tidak tahu calon ibu mertuanya tengah menderita dibalik kebahagiaanya.

Satya tidak pernah menyadari perasaan Hara sesudah kecelakaan. Tentang bekas luka mengerikan di kakinya. Dan mengapa Hara tidak mau membiarkan seorang pun mendekatinya.

"Aku rasa aku sudah mengutarakan maksudku dengan jelas." Sultan berdiri, lalu pergi 

meninggalkan Satya yang tampak di merana sendirian. Setelah Sultan pergi, rasa bersalah Satya 

kembali merayap ke hatinya. Satya menggenggam cangkir kopi di depannya erat-erat, sampai tangannya gemetar sehingga cangkir tersebut jatuh dan pecah. 

Pelayan di belakangnya terlihat khawatir dan menanyakan keadaan Satya. Tapi Satya tidak 

menyadari apapun. Para pelayan lain membersihkan pecahan cangkir dan mengompres tangan Satya dengan air dingin. Satya baru sadar ketika rasa dingin menyentuh telapak tangannya. 

Tangannya tidak terasa sakit, padahal terdapat beberapa luka goresan. Dia membayangkan rasa 

sakit yang dialami Hara. Rasa sakit di tangannya tidak ada artinya dibandingkan dengan apa 

yang dirasakan Hara di kakinya. Wanita itu memendam rasa sakit tanpa seorang pun tahu, 

termasuk anak-anaknya. Di kamarnya, Satya memandangi keluarga Anika pada foto mejanya. Satya sudah bisa menguasai rasa bersalahnya. Kini dia sungguh-sungguh ingin membuat Anika dan keluarganya bahagia. 

Sebuah pesan masuk ke handphone nya. Satya melihat isinya. Dari Anika.

Bundaku membuat makan siang untukmu.

Aku sudah menaruhnya di meja kerjamu.

Jangan lupa makan, ya.

Setelah membaca pesan itu, untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Satya meneteskan air mata.

***

Hara POV

Aku memutuskan untuk kembali bekerja setelah mengantar makan siang untuk Anika. Aku sadar aku tidak bisa berpisah dari pekerjaan ini terlalu lama. Walaupun cutinya masih tersisa beberapa hari, 

Aku merindukan dapur restoran ini. Jadi, sepulangnya dari pasar, aku menuju Restoran Wijaya. Teman-temannya sedikit terkejut melihat kedatangannya. Mereka tahu seharusnya Hara cuti.

"Aku harus bilang apa...?" desah Hara. "Aku merindukan kalian. Aku tidak bisa berlama-lama 

berpisah dengan kalian."

Hara tersenyum melihat dapurnya. Masih bersih tanpa noda makanan. Hanya dia seorang diri 

ditemani peralatan masaknya. Hara menutup mata dan membukanya kembali. Ia selalu bahagia di dapur ini. Di tempat ini, ia bisa menjadi seorang chef yang membuat makanan lezat. Ia bisa menjadi dirinya sendiri. Bukan wanita rapuh di hadapan Sultan, atau ibu yang menyembunyikan 

kesengsaraan di hadapan anak-anaknya, ataupun istri yang merasa sedikit iri dengan kebahagiaan dan kebersamaaan keluarga Wardana.

Hara berjalan mengelilingi dapur dengan perlahan. Saat ia hendak mengambil peralatan masaknya, kaki kanannya tersandung kursi besi. Hara mengernyit kesakitan. Napasnya terengah-engah. Ia bersandar pada meja sampat rasa sakit di kakinya mereda. Ia mencoba mengatur napasnya. Hara mengambil obat dari tasnya dan langsung menelannya.

Perlahan rasa sakit di kakinya menghilang.

Hara berdiri perlahan, lalu mengambil celemek putih dari atas lemari dan mengenakannya. 

Perasaan sedikit lega. Saat ia memasak makanan pertama hari itu, hatinya sudah kembali normal. Aroma masakan di dapur menentramkan perasaannya.

To Be Continued