Sergei dan Huddwake berdiri berhadap-hadapan, saling menatap tajam satu sama lain. Aku berdiri di jajaran kursi penonton di ruang kompetisi adu kekuatan, agak jauh dari mereka. Simulator memilih setelan suasana badai salju. Kepala Huddwake sudah separuh tertumpuk butiran salju.
Tubuh Sergei yang lebih kecil dari Huddwake terlihat mulai terseok-seok, ia kedinginan dan bibirnya membiru. Sergei tiba-tiba mengalihkan mata birunya dari mata abu-abu Huddwake, mungkin mengantisipasi agar Huddwake tidak mengambil alih kesadarannya.
Sergei memejamkan mata. Huddwake kelihatannya tidak memberikan Sergei kesempatan untuk menggunakan kekuatannya, ia menerjang Sergei dengan pukulannya. Sergei mengelak, namun kehilangan keseimbangan dan terjatuh. Huddwake mencengkeram kerah kemeja Sergei.
Namun, tiba-tiba cengkeraman Huddwake melemah. Ia menatap Sergei dengan tidak percaya. Sergei sudah sempurna mengubah wujudnya menjadi seorang laki-laki, yang aku tak mengenalnya. Namun, Huddwake terlihat jelas mengenalnya.
Huddwake mundur selangkah, menjaga jarak dengan Sergei. Sergei punya kesempatan untuk mengatur napas. Kemudian, mereka bercakap-cakap membicarakan sesuatu, aku tak bisa mendengarnya. Entah kenapa tiba-tiba Huddwake menerjang Sergei lagi. Ia memukuli Sergei tanpa ampun, seperti orang kalap.
Aku ketakutan. Dengan gugup aku turun dari kursi penonton dan berlari mendekati mereka, tepat ketika Huddwake sedang merasuki pikiran Sergei yang sedang menyerupai seorang laki-laki. Aku bisa melihat mata laki-laki itu kosong—Huddwake sudah berhasil merasuki pikirannya. Tiba-tiba laki-laki itu meraung keras. Ia mencakari wajah dan memukuli dirinya sendiri. Laki-laki itu membenturkan kepalanya ke batu, kemudian mencengkeram lehernya—mencekik dirinya sendiri.
Aku membeku di tengah dinginnya badai salju, menatap ketakutan ke arah lelaki yang sedang menyiksa dirinya sendiri. Sementara Huddwake hanya menatapnya dengan tatapan kosong.
Aku menatap laki-laki itu lagi. Jantungku berdegup kencang.
Takut.
Dia Sergei!
Laki-laki itu adalah Sergei!
"Sergei!" aku berteriak ngeri. Sergei menggapaikan tangannya ke arahku. Gemetaran, meminta pertolonganku. Namun aku tidak bisa beranjak barang sedikitpun. Kakiku terasa sangat berat.
"Huddwake!" aku berteriak lagi. "Tolong hentikan!" teriakku memohon.
Huddwake tersenyum, ia menghampiriku dengan senyuman arogan.
"Tolong hentikan. Sergei…" aku memohon dengan sangat amat. Air mataku meleleh. Sergei terbatuk-batuk mulai kehabisan udara. "Tolong... akan kulakukan apapun yang kau mau, tapi tolong Sergei..."
Huddwake menyentuh pipiku dengan tangannya yang sudah membiru, sangat dingin. Kenapa simulatornya tidak dihentikan? Sergei sudah sekarat dan kami semua bisa mati kedinginan.
Huddwake menelengkan kepala, menatapku lamat-lamat.
"Apapun...?"
Aku melirik Sergei dari sudut mataku. "Ya…tapi tolong hentikan. Ia menderita, Huddwake," suaraku bergetar ketakutan.
Huddwake tersenyum.
"Kalau begitu, aku ingin kau saja yang mengakhiri penderitaannya."
Aku membeku. Tidak!
"Tidak! Sergei!"
"Serina?"
Sayup-sayup aku mendengar suara. Sepertinya aku mengenalnya.
"Serina!"
Dara? Ya, itu suara Dara! Bisakah ia menolong kami?
"Serina! Bangun!!"
Dara mengguncang-guncangkan badanku. Aku susah payah membuka mata. Cahaya lampu tidur yang remang-remang menyambutku. Aku mengerjapkan mata.
"Mimpi buruk?" Dara bertanya. Ia duduk di kasurku. Martha masih tidur pulas, mendengkur di ranjang sebelah kananku. Aku baru teringat semalam setelah aku menumpang kartu ID Martha untuk masuk ke asrama, aku langsung tertidur. Terlalu lelah, bahkan aku belum sempat mengganti baju. "Kau berteriak menyebut Sergei tadi."
"Uh… benarkah?"
"Yup."
"Ya, aku mimpi buruk."
"Apa dia mengatakan sesuatu yang buruk tadi malam?"
Aku menggeleng pelan. "Tidak juga."
"Tidak juga?"
"Yeah, tidak juga."
"Oh, baiklah." Dara melengos. Ia beranjak dari ranjangku, kembali berbaring di kasurnya.
"Jam berapa ini?"
"Jam tiga pagi."
Aku menggaruk kepala. "Maaf, aku mengganggu tidurmu, Dara."
"Tak apa," kata Dara sambil memeluk gulingnya. "Kau tak tidur lagi?"
"Tidak sekarang, kau duluan saja, Dara," kataku sambil mengikat rambut. "Selamat tidur."
"Selamat tidur."
Beberapa menit kemudian Dara sudah tidak bergerak-gerak lagi, ia terlelap. Aku sendiri duduk termenung di karpet, bersandar pada ranjangku sambil memikirkan mimpiku tadi. Terlihat begitu nyata. Jantungku masih berdetak kencang ketika Dara membangunkanku tadi.
Bagaimana bisa aku memimpikan Huddwake dan Sergei seperti itu? Sepertinya aku terlalu memikirkan kata-kata Sergei—tentang 'Huddwake berbahaya'. Sementara alam bawah sadarku menerjemahkan kata 'berbahaya' itu ke arah jahat, melukai orang, kemudian mengirim sinyal-sinyalnya ke dalam tidur berupa mimpi buruk tadi.
Sungguh konyol. Terlebih lagi, aku memikirkan kompetisi adu kekuatan yang ternyata masuk ke dalam mimpiku juga. Gabungannya membuat mimpi yang mengerikan. Aku nyengir sendirian.
Tiba-tiba aku teringat, seharusnya Jake sudah mengunggah rekaman penampilan Allen di orientasi mahasiswa. Aku segera menyalakan laptop dan mengecek e-mail masuk. Ada dua e-mail baru di kotak masuk, dari Jake dan…
SamHuddwake@roxalen.xx?
Huddwake?
Aku mendesah berat, entah kenapa aku tidak ingin berurusan lagi dengannya. Baguslah, besok sudah hari terakhir orientasi. Aku mengeklik e-mail dari Huddwake.
AKU TAHU APA YANG KAU PIKIRKAN. MAAF KALAU SIKAP MEGAN TADI MENGGANGGUMU. TERIMA KASIH SUDAH MENGEMBALIKAN SAPUTANGANKU, TAPI AKU AKAN MENARUHNYA LAGI DI LAUNDROMAT (MEGAN YANG MEMAKSA)
-SAM-
Aku terbengong membaca e-mail dari Huddwake, apalagi di bagian kata MAAF. Jadi dia bisa minta maaf? Aku tertawa mendengus, Martinez sungguh konyol. Mungkin ia menganggap saputangan itu masih berkuman walaupun sudah kucuci bersih dan wangi, persis seperti perintah cowoknya. Yah, paling tidak e-mail permintaan maaf ini membuatku sedikit merasa ringan.
Aku membuka e-mail dari Jacob dengan penuh semangat.
AKU SUDAH MEMBAGIKAN AKSES VIDEONYA DI CLOUD. TONTONLAH SEGERA DAN TINGGALKAN KOMENTAR. BEGITU KATA ALLEN.
-JACOB-
Aku tertawa membayangkan Allen memaksa untuk mendikte isi e-mail Jake untukku. Mereka pasti bertengkar konyol, walaupun hanya sedikit.
Aku memasang earphone agar Dara dan Martha tidak terganggu suara video Allen. Gambar-gambar orang konyol seperti lidi yang dulu digambar Allen sebelum mengusirku dari kamarnya menjelma menjadi tarian yang sangat keren. Allen tampil sebagai penari tunggal, sempurna sendirian. Ia bahkan memilih dan memadukan lagunya sendirian. Koreografer, kostum, komposer musik, dan penari, aku tak menyangka memiliki saudara sedarah dengan bakat seluar biasa itu. Aku masih tertegun beberapa detik, menatap ke layar walaupun video berdurasi enam menit itu sudah habis.
"Star of the Year" di unversitasnya, bukan tidak mungkin. Kurasa Allen akan mendapatkan Alienware-nya.
***
Aku kesiangan. Aku baru bangun jam delapan pagi dan mendapati kamar yang sudah kosong tanpa Dara dan Martha. Hanya ada roti lapis telur dan susu jatah sarapan pagiku, juga secarik kertas memo yang ditempel di pintu lemariku.
AKU SUDAH COBA MEMBANGUNKANMU, TAPI KAU TIDUR SEPERTI BERUANG HIBERNASI. AKU DAN MARTHA BERANGKAT DULUAN.
-DARA-
Aku mengerang saat membaca memo Dara dan segera menyiapkan diriku dengan terburu-buru. Membayangkan Huddwake mungkin akan terlambat lagi seperti kemarin, gerakanku jadi agak melambat. Kuurungkan niatku untuk tidak sarapan. Tidak rugi, roti lapis telur buatan koki Roxy Café sangat enak. Mungkin aku akan memesannya lagi untuk makan siangku nanti.
Setelah memastikan dompet beserta kartu ID sudah kumasukkan ke dalam tas kecilku, aku berangkat menuju pertigaan asrama, tempat yang kusepakati bersama Huddwake. Begitu keluar dari pintu asrama putri aku bisa melihat Huddwake, berdiri tegak tepat di tengah-tengah pertemuan tiga koridor asrama. Aku menelan ludah, ternyata aku salah perkiraan. Kulirik jam tangan, beberapa detik lagi sudah pukul setengah sembilan tepat. Aku terlambat setengah jam dari jadwal.
Gawat.