webnovel

Klub Siswa

"Serina Gray.." Huddwake membuka mulut tepat ketika aku menginjak satu tegel lantai di depannya. "Apa aku harus mengorbankan orientasi mahasiswaku hari ini hanya untuk menunggumu datang?"

"Maaf, aku kesiangan."

"Apa itu salahku?"

Aku mengangkat kepalaku, menatap Huddwake. "Apa kau benar-benar bertanya?"

Huddwake menggigit sudut bibirnya. Aku benar-benar tidak mengerti kenapa dia hanya diam. Apa Huddwake benar-benar bertanya? Kupikir ia hanya bermaksud mengejekku tadi.

"Ini hari terakhir." Huddwake mengganti topik. "Aku akan mengantarmu berkeliling seluruh sekolah dan keluar daerah sekitar pusat Birmingham."

"Kita akan keluar?" tanyaku antusias.

"Ya. Aku akan menunjukkan tempat-tempet yang sekiranya penting untuk membantu keperluanmu." Huddwake mengangguk.

"Bagaimana dengan orientasi universitasmu?"

"Bukankah sudah kubilang aku mengorbankannya hari ini?"

Aku terdiam. Kupikir tadi Huddwake tidak serius. Aku jadi merasa bersalah.

"Butuh waktu yang lama untuk berkeliling. Lagipula ini sudah tugasku menjadi pembimbing," tambah Huddwake. Aku mengangguk-angguk. "Bisakah kita berangkat sekarang?" Huddwake mulai agak rikuh karena sudah tiga putaran dia berbicara sendirian tanpa kubalas.

"Oke," jawabku. Kami mulai berjalan. "Ah, bisa kau antar aku ke lantai LG2 dulu?" usulku.

Huddwake mengernyit.

"Aku sudah pernah melihat arena kompetisi adu kekuatan bersama temanku. Aku ingin tahu apa yang ada di cabang koridor lainnya."

"Bagaimana kau tahu itu arena kompetisi?"

"Aku hanya mengira-ngira dari apa yang ada di dalamnya."

Aku dan Huddwake menaiki lift nomor tiga di ruang administrasi, menuju lantai LG2. Beberapa murid bersama kami di dalam lift menyapa Huddwake. Aku mulai terbiasa dengan itu. Huddwake dan Sergei sama-sama populer, tetapi aku tak tahu pasti sebab kepopuleran Huddwake. Kalau saja karena fisiknya, rasanya tak mungkin murid cowok juga menyapanya dengan pandangan mata berbinar.

Namun jika kuamati, selain tatapan kagum ada juga tatapan tak suka. Kadang-kadang ada yang berbisik sambil menatap Huddwake dengan tatapan yang tidak menyenangkan—seperti saat ini, ketika kami melintasi lorong bulat dan berpapasan dengan para senior. Huddwake tidak menghiraukannya. Aku jadi teringat perkataan Allen: semakin populer seseorang, semakin bertambah juga orang yang membencinya.

"Huddwake," aku menyeletuk, memanggil Huddwake yang dari tadi diam seribu bahasa. Huddwake hanya menoleh padaku tanpa menjawab.

"Kau pernah mengikuti kompetisi?"

Huddwake terdiam. Aku jadi takut salah bertanya.

"Yeah."

"Ya?"

"Aku mengikutinya tiap tahun sejak tahun pertamaku di Roxalen High."

Aku ber-wow pelan. "Lalu?"

Huddwake mengangkat alis, tidak paham akan arah pertanyaanku. Kami berbelok ke koridor sebelah kanan.

"Apa kau memenangkannya?" tanyaku memperjelas.

"Kau bertanya seperti anak kecil." Huddwake menatapku aneh.

Aku sebal, tapi kata-kata Sergei semalam terngiang. Sebisa mungkin aku tidak boleh menunjukkan emosiku di depan Huddwake, jadi aku menahannya. "Jawab saja pertanyaanku."

Huddwake melengos. "Ya, kecuali di tahun ketiga."

"Jadi kau menang dua kali? Bahkan di tahun pertamamu?" Aku mendelik takjub.

"Apa aku perlu menulis kronologinya agar kau bisa membacanya secara detail?" Huddwake menggeram kesal. Aku meringis.

"Ada apa di tahun ketiga?" tanyaku lagi. "Apa lawanmu sangat hebat?"

Huddwake berhenti mendadak. Aku menabrak punggungnya, hidungku sempurna menabrak tulang punggungnya. Aku mengaduh kesakitan.

"Kau benar-benar ingin tahu?" Huddwake menatapku dingin.

Aku tertegun menatap mata abu-abunya dan mengangguk tanpa sadar.

"Aku lengah," bisiknya. "Musuhku tahu kelemahanku."

Aku menatap Huddwake nyaris tanpa berkedip. Entah dia sedang merasuki pikiranku atau tidak, aku benar-benar tak bisa mengalihkan mata darinya.

"Mungkin kau bisa mengambil pelajaran dari itu." Huddwake membalik badan dan berjalan lagi.

Aku terkesiap dan segera mengikutinya lagi. Huddwake sepertinya menyimpan sesuatu dan aku malah menjadi semakin penasaran. Orang ini seperti memiliki daya magnet yang misterius. Namun, rasa penasaranku pada Huddwake menyisakan sedikit rasa was-was. Aku tak tahu orang ini benar-benar berbahaya atau tidak.

"Sentral klub." Huddwake berkata tiba-tiba. Kami sudah tiba di depan pintu besi dan ia menyodorkan kartu IDnya ke depan mesin pemindai. "Disini ruangan-ruangan klub siswa Roxalen High."

Aku membulatkan bibir, mengucapkan huruf O.

Begitu pintu terbuka, suara teriakan langsung menyerbu kami. Aku bisa melihat Huddwake tersentak kaget, pemandangan langka yang sungguh konyol.

"Selamat datang! Selamat datang!" Orang yang berteriak tadi langsung menyalamiku. Seorang cowok keriting pirang berkacamata tebal, dengan bintik-bintik coklat di wajahnya. "Kau murid baru, bukan? Bisa kulihat dari seragammu dan ah, Sam Huddwake…" Cowok itu ganti menyalami Huddwake sambil membetulkan letak kacamatanya yang melorot.

"Lukas Barnhook. Apa kabar?"

"Oh, kau mengingatku? Sungguh suatu kehormatan…" Barnhook berbicara dengan nada yang dibuat-buat. Aku tak tahu bahasa apa yang ia gunakan, jadi aku tak bisa menebak asalnya.

"Tentu saja." Huddwake memasukkan tangan ke dalam saku celana, mengambil posisi berdiri yang santai. "Sudah tiga tahun aku menjadi bahan tulisan koranmu, bukan?"

Barnhook terkekeh. "Tentu, kau membuat rating pembaca koranku meningkat, Bung. Apalagi pada tahun ketiga, sungguh suatu kehormatan aku bisa menjadikanmu sebagai berita utama. Bahkan aku mendapat kesempatan untuk mencetak fotomu sebesar setengah halaman. Aku ingat kau sedang berjerawat di dekat hidung di foto itu…"

"Bagaimana dengan penjualannya?" tanya Huddwake datar.

"Meningkat dua kali lipat, luar biasa." Barnhook mendesis sambil membelalakkan mata. Bahkan ia mengacungkan dua jarinya tepat di depan hidung Huddwake. "Kau tahu, Huddwake… aku turut menyayangkan kekalahanmu di final kemarin. Harusnya kau bisa menutup tahun terakhirmu di Roxalen High dengan kemenangan gemilang…"

"Kau tak terlihat menyayangkannya, Barnhook." Huddwake tertawa.

Ow, dia menyindir.

Barnhook ikut tertawa.

Gila, orang ini tidak peka sama sekali.

"Bagaimana kabarmu dengan Martinez?"

"Kau tak perlu menulis tentangku lagi Barnhook, aku bukan siswa Roxalen High lagi."

"Martinez sungguh… oh, dia sempurna untuk mengisi satu rubrik di koranku." Barnhook menampilkan tampang penuh obsesi yang mengerikan.

"Oke, kurasa cukup Barnhook." Huddwake terlihat mulai jengkel. "Aku harus mengantar murid baru berkeliling."

Barnhook beralih padaku lagi. Aku mundur selangkah.

"Oh, ya… ya... tentu saja. Siapa namamu manis?"

"Serina Gray." Aku bergidik ngeri.

"Baiklah, Gray. Ini kartu namaku, Lukas Barnhook, ketua umum Harian Roxalen. Mungkin kau berminat untuk bergabung. Klub kami adalah satu-satunya klub berpenghasilan di Roxalen High, tidakkah itu menarik minatmu?"

Aku nyengir dan agak tersinggung sedikit. Apa di mata Barnhook aku terlihat memiliki mata seperti kepingan dolar? Berengsek.

"Aku undur diri dahulu." Barnhook mengedipkan mata pada Huddwake.

Huddwake mengumpat tidak jelas.

"Itu tadi ketua klub berita alias ketua Harian Roxalen." Huddwake kembali lagi ke tugasnya membimbingku. "Kantornya yang paling dekat pintu, karena klubnya dianggap paling aktif dan membuat banyak kemajuan. Berminat?"

"Tidak."

"Huh?"

"Dia menyebalkan," terangku. "Aku tidak membelamu Huddwake, hanya saja aku tidak suka caranya menyudutkan orang lain."

Huddwake tersenyum simpul. "Baiklah kalau begitu. Kita lihat klub yang lain."