Rheachel Alber Clayton, adalah seorang putri dari Raja Alber dan Ratu Rossaline, yang berita kecantikannya tersebar ke seluruh penjuru negeri Horryzon. Melewati perbatasan dan sungai-sungai besar dari para pedagang dan tukang ekspedisi barang-barang perbarteran antar negeri, dari mulut ke mulut itu, hingga seluruh negeri adidaya atau negeri berkembang telah mendengar lebih dulu gambaran kecantikannya daripada melihat secara langsung.
Langkahnya seperti angin sepoi-sepoi yang menggoyang sanubari setiap jiwa lelaki, melemaskan otot-otot kaki mereka sehingga kesulitan berdiri untuk menghadapi kecantikannya. Putri Rhaechel, seindah bunga langka di tepi jurang yang diterangi rembulan purnama, atau secantik lukisan seniman tua yang melihat serabut sutera dan menggambarnya dengan teliti. Banyak yang mengatakan kecantikannya dalam berbagai versi, terserah mereka ingin berkhayal bagaimana, tapi kecantikan itu tidak pernah ditolak siapa pun yang melihatnya.
Senyumnya akan membuat bibir setiap orang merasa bersalah jika tidak membalas hal serupa, matanya membakar kalbu dan bersinar-sinar layaknya minyak zaitun disiram cahaya senja, hijau kekuningan. Rambutnya begitu halus dan terawat, mudah terkibas dengan angin kecil, lebat dan kecokelatan. Kulitnya seputih salju, pipinya merona, wanginya membuat hati pria terlena.
Yah, sepanjang itu mereka mengarang tentangku, terkadang beberapa pelayan tersenyum-senyum menghampiriku cuma untuk mengatakan, "Penyanyi bersuara merdu di kota ini memuji kalau Putri Rhea mempunyai mata seperti manik kelereng, tapi yang terbuat dari berlian langka."
Aku tidak bisa menyangkal sesuatu yang baik, Mama bilang lebih baik tersenyum dan mengucapkan "terima kasih" atau "aku harap itu benar". Tapi sebenarnya itu sangat berlebihan, dan aku masih tidak boleh menolak saat seorang penyair mengatakan napasku seharum kayu cendana dan kayu manis. Maksudku... aku bahkan belum tahu bagaimana baunya jika kedua kayu itu bersatu?
"Sebentar lagi musim dingin, aku khawatir akan ada badai salju lagi di pinggiran utara Horryzon," kata Papa. Ia berjalan seperti detik jam beraturan, di atas balok-balok paving, sepatu pantofelnya menciptakan suara "tak" yang penuh wibawa.
Tapi yang menarik perhatianku adalah pria di sampingnya, kakakku, Rafael Alber Clayton, yang selalu ramah pada siapa pun itu dalam keadaan apa pun. Anehnya, Kak Rafael tidak begitu kalau padaku. Dan tidak ada yang percaya kalau aku mengatakannya. Dia selalu berbeda saat kami hanya berdua, jarang bicara, tidak menganggapku ada. Dia hanya bicara untuk sesuatu yang penting jika denganku, atau jika di depan khalayak.
Apa yang disembunyikannya? Alasan apa yang membuatnya membedakan aku dengan semua orang?
Sekarang saja, aku melangkah lebih lebar menyeret gaun besarku, mendekati Papa, atau sebenarnya mendekati Kak Rafael. "Papa," sapaku ceria, di pagi hari yang indah dan sejuk ini. "Selamat pagi, Papa? Sudah mencoba selai apel buatan Mama?"
"Hm?" Papa menelengkan kepalanya, ia mendaratkan tangan mengusap rambutku. "Sudah," jawabnya tersenyum.
"Sangat lezat, bukan? Mama mau mengajariku cara membuatnya. Aku harap Papa mau mencoba versiku nanti," kataku lagi.
"Tentu, papa tidak akan menolaknya, kapan pun itu."
Aku melempar mata ke sebelah Papa, Kak Rafael berdiri tegap seolah akan menghadapi perang besar, wajahnya mengeluarkan aura dingin, padahal musim salju masih sepekan lagi kira-kira. "Kak Ael mau mencobanya juga, bukan?" tanyaku memancing. Jika tidak ada orang lain, dia akan memilih pergi tanpa sepatah kata pun. Makanya aku menghadangnya saat bersama Papa, atau Papa akan menegurnya supaya tidak mengabaikan adik satu-satunya ini.
"Ya, Rhea," jawabnya menatapku tegas sampai aku mau menyembuhkan tawa kencang kalau saja tidak ingat ada Papa. Aku suka melihat wajah kesalnya yang terkesan benci kalau harus menjawab setiap kalimatku. "Pa, aku rasa kita bisa membicarakan daerah pinggiran utara di ruang kerja. Setidaknya memperhitungkan berapa jatah pangan mereka."
Papa mengangguk, Papa tidak tahu saja kalau Kak Rafael sedang menghindariku, memakai daerah pinggiran utara sebagai alasan. "Rhea," kata Papa padaku berpamitan.
"Ya, Papa. Selamat jalan." Aku membungkuk kecil, melipat lutut ke depan, mengangkat secubit gaun, seanggun mungkin tanpa rasa dosa. Hanya untuk tatapan tajam Kak Rafael sebagai bayarannya.
"Mari, Putri," kata seorang pelayan mengajakku kembali jalan-jalan setelah punggung Papa dan Kak Rafael tak terlihat.
"Apa aku bisa memiliki bunga ini di balkon kamarku?" tanyaku. Bunga berwarna ungu yang menjalar di pinggiran beton, di sebelah pojok taman. Sepertinya bagus untuk ditanam di pot lalu digantung di atap balkon, menemani bunga pukul sembilan di pinggiran pembatas balkon kamarku.
"Tentu Putri."
"Terima kasih. Tapi jangan diambil sekarang, sebentar lagi musim dingin. Biar di sini saja dulu sampai musim dingin selesai dan bunga-bunga yang baru nanti mekar, baru ambil dan gantung di atap balkon kamarku."
Sore itu Mama mengajariku membuat selain apel, mulai dari diparut lalu disangrai dengan api kecil. Rasanya senang membawa hasil karyaku untuk Papa, juga membawakan helai-helai roti tawar juga teh dingin. Katanya semua itu membuat Papa rileks.
"Rhea, sudah kau siapkan untuk Rafael?" tanya Mama. "Kakakmu tidak terlihat sejak tadi," gumamnya.
"Di perpustakaan," sambar Papa menelan suapan besarnya. Mama terkekeh kecil, menepuk lengan Papa supaya Papa makan lebih perlahan.
"Kalau begitu biar aku bawa untuknya," kataku menyiapkan stoples kecil (sama dengan genggaman tanganku) selai apel. Dua helai roti tawar dan secangkir teh. "Biar aku sendiri," kataku lagi saat dua pelayan mau mengikuti.
Di meja penjaga, bapak tua berkumis tebal mengangguk dan tersenyum padaku. Aku masuk di antara celah-celah rak besar, memakan langkah lebar untuk mempersingkat waktu yang membuatku tak sabar. Lalu di rak paling akhir, aku melihat Kak Rafael membuka sebuah buku besar, wajahnya terfokus di buku itu membuatku iri. Aku yang adiknya saja jarang diperhatikan. Kenapa dia tidak mengangkat buku itu jadi adik adopsi saja kalau begitu?
"Kak Ael," panggilku seraya mendekat. Bagaimana pun itu, aku tetap menyayanginya, sangat. Kak Rafael menutup buku tebalnya secara kasar, menaruhnya dalam posisi tertidur di atas deretan buku lain di rak. Dia berniat pergi tanpa membalas apa pun. "Kak Ael sudah janji mau mencoba selai buatanku di depan Papa tadi," ucapku menahannya.
Bugh!
Aku hilang kendali karena dia terlalu mendadak menyeret kaki mendekatiku, matanya tajam, marah. Aku membeku dan masih mencoba menggenggam telinga baki agar stoples selai, dua helai roti tawar, dan secangkir teh dingin itu tidak terjatuh tercecer di karpet perpustakaan.
"Kau sangat kekanakan, Rhea!" tegasnya padaku mengintimidasi. "Aku sudah bilang aku tidak suka berbicara denganmu, jangan memancingku di depan Papa atau siapa pun itu. Kau membuatku tidak bisa fokus bekerja!" Dia menusuk mata tajamnya di hatiku yang penuh kasih sayang terhadapnya. Tentu sakit hati, tapi memang begini sejak kami kecil. Dia tidak pernah bisa menyayangiku sebagaimana aku menyayanginya.
Katanya aku sangat mengganggunya, aku adalah hal yang tidak diinginkannya untuk hadir di keluarga ini. Aku adalah anggota yang tidak seharusnya berada di sini, sebaiknya aku adalah putri dari raja di salah satu negara-negara tetangga saja. Begitu katanya, terdengar sadis dan kejam memang. Tapi menghadapi semua ketidaksukaannya padaku selama ini bukannya membuatku lantas membenci, justru dia yang paling kuharapkan perhatian, kasih sayang, dan cintanya selama ini.